www.indobolanews.com

Seorang anak menangis. Padang gurun Jazirah Arab saat itu lengang. Tangis anak yang terisak itu terdengar oleh junjungan mulia Rasulullah Muhammad saw. Terpanggil oleh kebeningan hati, rasul mendekat sang anak, lalu bertanya, ”Kenapa engkau menangis nak?”.  Anak itu terperanjat dan tidak mengira isak tangisnya terdengar. Ia pun menjawab, “Aku tidak lagi mempunyai ayah dan ibu. Keduanya sudah meninggalkan dunia ketika aku masih kecil. Aku teringat kepada mereka. Aku sedih ketika di malam kegembiraan ini ternyata aku masih sendiri," jawabnya.

Dengan senyum khas Nabi merengkuh anak itu. “Sudahlah nak, jangan menangis”. “Sekarang sampaikan apa keinginanmu?”, sambung Nabi. “Aku ingin punya orang tua. Aku rindu belai kasih saying orang tua”, katanya mengiba. Rasul pun melanjutkan, “Maukah engkau memiliki ayah seorang yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, dan seorang ibu yang bernama Siti Aisyah?”.

Tentu saja sang anak terperangah. Tidak sedikit pun ia menyangka akan diaku sebagai anak rasulullah tercinta. Dengan terharu ia menjawab, “Baiklah. Aku mau ya Rasul”.

Padang gurun Jazirah Arab pada malam Iedul Fitri itu meniupkan kesejukan. Tak hanya angin, melainkan rasa damai dalam dada seorang anak lelaki yatim piatu yang merindukan sosok ayah dan ibu dalam kehidupannya.

Kisah di atas kita dengar ketika guru agama di sekolah dasar dulu menceritakan tentang bagaimana dekatnya Sang Nabi kepada anak-anak miskin, terlantar, dan yatim/ piatu. Kedekatan yang kerap diibaratkan seperti pasangan jari. Selalu berdekatan dan tak terpisah; bahkan sampai ke surga nanti.

***

Ramadhan hampir selesai. Iedul Fitri 1436 Hijriyah sebentar lagi kita jelang. Tak hanya baju baru, sarung baru, kebaya baru, bahkan gincu dan bedak pun sudah terbeli. Tak hanya ketupat berisi beras tanak namun kue-kue pun tersedia. Iedul Fitri tahun ini sebagaimana Iedul Fitri tahun-tahun sebelumnya senantiasa menampilkan hal baru. Dan kita menyambutnya dengan hati yang baru.

Akan tetapi di balik kebaruan yang biasa kita alami setiap Iedul Fitri, adakah terbesit keinginan baru yang membarukan anak-anak miskin dan terlantar dari keterpurukannya? Adakah keinginan berbagi kasih sayang dalam bentuknya yang paling riil, yakni mengangat mereka sebagai bagian keluarga kita. Mengangkat anak untuk tinggal di rumah kita dan memperlakukan mereka sebagaimana terhadap anak kita sendiri. Disekolahkan dan dinikahkan pada saatnya nanti.

Mereka tidak butuh baju baru. Tak apa baju lama masih dikenakan di badan. Namun kerinduan memperoleh orang tua pengganti jauh lebih menyejukkan dan mendamaikan hati mereka. Dapat dibayangkan jika 10% kaum muslim Indonesia mengangkat seorang anak yatim/ piatu untuk dididik, disekolahkan dan seterusnya maka saya yakin sekali jumlah anak jalanan akan turun drastic (bila tidak dikatakan habis). Begitu pula rumah/ panti anak yatim pun berkurang lantaran mereka sudah diasuh dalam pelukan kasih sayang di rumah-rumah kaum muslim.

Sahabat saya di Cirebon agaknya patut dicontoh. Ekonominya pas-pasan. Rumah pun masih mengontrak. Tetapi di dalamnya ada 2 (dua) anak yatim/ piatu yang diasuh, disekolahkan hingga kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Padahal dia dikaruniai 3 (tiga) orang anak dan usahanya pun tidak tergolong maju. Namun demikian rizki ilahi selalu didapatnya. Order untuk pekerjaan selalu ada dan bisa membayar 5 (lima) orang karyawannya tiap hari Sabtu. 

Melihat kesederhanaan sikapnya, tentu saja teman-teman merasa iri karena belum bisa bersikap sebagaimana sahabat saya itu. Maka ia pun boleh dikata telah berhasil sebagai umat tuhan yang peduli serta memberikan kasih sayang kepada anak-anak miskin dan terlantar. Kasih sayang dalam bentuknya yang riil, yakni menjadikan anak-anak itu sebagai anaknya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda,“Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah SWT akan mendandani/menghiasinya pada hari kiamat. Allah SWT mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barang siapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.”  Ada lagi kisah seperti ini:  “Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakan bersama orang tuanya dengan bahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira. Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah SAW. Ia bertarung bersama Rasulullah SAW bahu-membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?" Singkat cerita Nabi mengangkat anak yatim piatu itu menjadi anaknya.

***

Hiruk pikuk Iedul Fitri tahun 2015 ini seharusnyalah membuat kita semakin mahfum pada permasalahan sosial politik yang mengepung Indonesia. Dari keterlambatan pertumbuhan ekonomi sejak kuartal pertama tahun ini, lonjakan harga kebutuhan pokok, rencana kenaikan tarif dasar listrik, harga gas alam yang terus melambung, atau gonjang-ganjing elit politik yang mendahulukan kepentingannya. Hiruk pikuk yang membuat pengap dan sesak di dada itu, sebaiknya kita sikapi dengan ketinggian nilai kemanusiaan kita. Antara lain ditunjukkan dengan kesiapan kita meraih anak-anak miskin dan terlantar ~baik itu anak dari saudara kita sendiri atau anak orang lain yang kita kenal~ untuk masuk ke dalam daftar anggota keluarga kita.

Menyelokahkan mereka secara layak, menyandangi dengan sandang dan papan seperti yang kita punya ~jauh lebih indah ketimbang misuh-misuh melihat ketidakjelasan arah politik Jokwi - Jusuf Kalla. Manakala kelembutan hati itu tertanam dan paska Ramadhan yang penuh berkah, ampunan serta kemuliaan ini; ada yang tergerak untuk meraih anak-anak miskin dan terlantar ke dalam rumah rumah kita: Saya haqqul yakin, dialah yang memperoleh lailatul qadar, dialah yang disitir ayat memperoleh la`alakum tattaquun. Takwa dalam pengertiannya yang optimal.

Iedul Fitri 1436 Hijriyyah ini semoga kiranya menuntun kita untuk lebih peduli bagi sesama. Untuk lebih mendamaikan hati-hati yang lain. Hati yang terluka karena ketidakmampuan ekonomi menghadapi tantangan dan kompetisi zaman yang serba boleh.

Selamat merayakan Iedul Fitri. Taqaballahu mina wa minkum. Selamat merayakan hati yang bening.***

(rr/DK)