Ilustrasi/ riaumandiri.co

TAHUN 2004 – 2009 tercatat sebagai tahun paling sering memekarkan wilayah di Indonesia. Entah itu provinsi baru maupun kota/ kabupaten di Indonesia. Beberapa pegiat politik menerima berkah atas pemekaran wilayah, setidaknya ada perubahan status (misalnya dari anggota DPRD kota/ kabupaten menjadi anggota DPRD provinsi), ada pemilihan kepala daerah. Demikian pula pemekaran wilayah memberi berkah kepada pengusaha yang membangun struktur/ infrastruktur di daerah baru.

Namun benarkah pemekaran wilayah selalu identik kemajuan masyarakatnya? Tersiar kabar Kemendagri akan menghentikan pemekaran daerah apabila dinilai stagnan dan tidak memberikan kemajuan berarti bagi masyarakatnya. Kabar itu menyiratkan kesungguhan Kemendagri memantau daerah pemekaran sehingga pemekaran diharapkan memberikan efek kesejahteraan untuk seluruh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Sebaliknya jika gagal maka daerah “baru” itu akan kembali ke induknya. Yang jadi pertanyaan, apakah ukuran untuk menentukan keberhasilan/ kegagalan daerah yang baru dibentuk, serta siapa sajakah yang berhak menilainya?

Pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Rekonstruksi pembentukan daerah otonom haruslah dilakukan melalui konsep community development, yaitu to improve the economic, social and cultural condition of communities, to integrate these communities into the life of nation, and to enable them to cotribute fully to national progress.

Meminjam Zulkarnain Lubis (Tabloid Rakyat Madani), beberapa alasan kenapa pemekaran wilayah dapat dianggap sebagai salah satu pendekatan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintah daerah dan peningkatan publik, yaitu: Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang terbatas / terukur, mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal, dan penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan.

Kenyataan politik seperti ini juga mendapat dukungan yang besar dari masyarakat sipil dan dunia usaha, karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah. Pembentukan daerah otonom memang ditujukan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan dengan suatu lingkungan kerja yang ideal dalam berbagai dimensinya. Daerah otonom yang memiliki otonomi luas dan utuh diperuntukkan guna menciptakan pemerintahan daerah yang lebih mampu mengoptimalkan pelayanan publik dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal dalam skala yang lebih luas. Oleh karena itu, pemekaran daerah seharusnya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan obyektif yang bertujuan untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kesejahteraan Masyarakat

Secara lebih rinci, pada umumnya pemekaran (tentu juga penghapusan dan penggabungan) daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; percepatan pengelolan potensi daerah; peningkatan keamanan dan keterlibatan; serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan darah.

Pemekaran daerah harus mendorong pemerintahan daerah yang memiliki daya tanggap dalam merumuskan kebutuhan dan potensi daerah. Hal ini dapat terlihat dari rencana strategis, program dan implementasi program-program pembangunan. Jika tidak terdapat rencana strategis, program dan implementasi program yang inovatif, maka pemekaran daerah tidak menumbuhkan daya tanggap daerah terhadap potensi dan kebutuhan daerah.

Akan tetapi menjadi pertanyaan apakah benar alasan normatif itu merupakan motif pokok menguatnya tuntutan pemekaran di beberapa daerah, dan ternyata, jawaban mayoritas adalah tidak. Dalam kenyataan di lapangan mayoritas penggerak pemekaran memiliki agenda personal. Dalam praktiknya, tak jarang pemekaran lebih dimotivasi oleh obsesi daerah mengejar kucuran dana dari pusat yang ujung-ujungnya merangsang korupsi. Tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat seolah hanya menjadi jargon-jargon semu yang sulit didefinisikan masyarakat di sejumlah daerah. Di samping itu, pembentukan daerah-daerah otonom baru, membuat elite politik di daerah memanfaatkannya untuk kepentingan politik mereka, diantaranya adalah perebutan posisi-posisi strategis dengan tujuan penguatan eksistensi kepentingan kelompok yang dipikulnya. Ada lagi alasan yang sering tidak diungkap yaitu upaya untuk bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal. Akibatnya, dengan berbagai cara pula berupaya memekarkan daerah sehingga bisa memperoleh jabatan atau kekuasaan di daerah baru itu. Apalagi bagi mereka yang sudah berjasa dalam memperjuangkan daerah pemekaran, sudah memosisikan diri sebagai pihak yang harus dapat bagian jatah kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di daerah baru itu.

Jadi sangat wajar jika selama beberapa tahun periode otonomi daerah, dilema pemekaran tak kunjung tuntas. Proses pemekaran daerah yang berlangsung sejak tahun 1999 bergulir tak terkendali. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2004 telah lahir tujuh provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota yang baru. Informasi terakhir menunjukkan bahwa sampai tahun 2007 jumlah kabupaten baru telah mencapai 158 buah, dan diperkirakan lebih dari 100 lokalitas sedang dalam proses pemekaran menjadi kabupaten baru.

Jika diamati secara sepintas, kondisi ini disatu pihak menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan pendekatan pelayanan publik kepada masyarakat yang diharapkan akan mensejahterakan penduduk di wilayah yang baru dimekarkan. Namun di lain pihak perkembangan ini juga menimbulkan kekhawatiran karena beban APBN untuk membiayai daerah otonom baru akan semakin berat. Lebih dari itu, pemekaran yang marak ini belum tentu akan lebih mengefisiensikan kinerja pemerintahan, mendekatkan pelayanan publik dan belum tentu pada akhirnya akan mensejahterakan rakyat seperti yang dikemukakan oleh para pemrakarsanya.

Jika pemekaran daerah harus dilakukan maka hal paling penting adalah kesungguhan seluruh pengggasnya untuk berusaha memakmuran/ menyejahterakan masyarakat di daerah baru. Apabila pemekaran wilayah hanya dilatari oleh menguatnya keinginan politik demi dan untuk memperoleh keuntungan finansial sekelompok pegiat politik, maka lebih baik kemendagri dan DPR RI tidak meluluskan keinginan pemekaran wilayah baru. Jika pemekaran akhirnya terus membebani pemerintah pusat maka ini menjadi tengara bahwa pemekaran wilayah baru hanya berpotensi memunculkan praktik korupsi yang dilakukan para pejabat di daerah pemekaran baru itu.

Menurut Ryaas, ide pemekaran sebuah wilayah seharusnya diprakarsai oleh Pemerintah Pusat. Mestinya pemekaran design pemerintah pusat dan bukan diprakarsai oleh masyarakat daerah. Ryaas mengatakan Pemerintah Pusat harusnya merancang berapa kebutuhan Pemerintah Daerah (Pemda). Misalnya untuk memperlancar pelayanan publik, memacu perkembangan ekonomi, membuka daerah terisolasi, mendorong pembangunan daerah yang potensial tapi terhambat. Sementara itu guru besar Fisip UI Eko Prasodjo menilai dalam revisi UU No. 32/2004 sendiri sedang bergulir wacana untuk memungkinkan Pemerintah Pusat membuat usul pemekaran wilayah tanpa adanya usul dari daerah. Hanya saja, usulan itu dibatasi pada hal-hal yang sifatnya strategis, misalnya daerah perbatasan.

Dengan demikian pemekaran wilayah bukanlah hal main-main. Ia perlu dilengkapi dengan kekuatan/ potensi daerah yang dimekarkan agar mampu berdiri sendiri.***

(rr/DK)