www.flickr.com

Pembunuhan itu dilakukannya dengan cepat, tanpa diketahui seorang pun. Bukankah ia telah merencanakan semuanya dengan matang? Meski kejadiannya tak persis sesuai dengan apa yang ia rencanakan, tetapi ia tahu, tidak seorang pun mengetahui pembunuhan yang telah dilakukannya. Hanya ia, satu-satunya sosok yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Andaikan korbannya masih hidup, tentu ia tidak sendirian mengetahui kebenaran itu. Namun, korbannya telah meninggal membawa kebenaran kisah itu berlalu. Maka tidak ada lagi hal yang perlu ia khawatirkan.

Aksi pembunuhan yang ia lakukan tampaknya tidak akan terbongkar sebab ada orang lain yang telah mengaku sebagai pelaku pembunuhan ketika diinterogasi polisi. Tetapi, sampai kapan ia mesti menyembunyikan kebenaran yang ternyata sangat menyiksa batinnya? Kalau pun nanti ia mengaku, apakah orang-orang akan mempercayai pengakuannya? Bagaimana ia bisa membuktikan kebenaran bahwa dirinyalah sesuangguhnya pelaku pembunuhan itu?

Pemuda itu, Rodion Raskolnikov, akhirnya mengakui pembunuhan yang telah dilakukannya terhadap dua wanita bersaudara, Alyona dan Lizaveta Ivanovna. Ketika kebenaran itu akhirnya terkuak, Raskolnikov mesti menerima hukuman atas apa yang telah ia lakukan. Namun, ia bukanlah seorang yang kalah, sebab ia telah memenangi pertarungan melawan dirinya sendiri untuk mengungkapkan kebenaran. Ia berani melepaskan peluang dirinya untuk lolos dari jerat hukum.

Dalam novel “Kejahatan dan Hukuman (Crime and Punishment)” Fyodor Dostoevsky, penulis besar Rusia itu melukiskan dengan sangat apik pergulatan batin sang pemuda Raskolnikov. Dostoevsky menyodorkan kepada kita sebuah pertarungan klasik yang kadang merupakan pertarungan paling berat bagi umat manusia, yakni pertarungan melawan diri sendiri. Persoalannya bukan pada pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tetapi pada kejujuran mengakui dan keberanian menerima tanggung jawab atas pilihan itu.

Kejujuran, barangkali menjadi sikap yang semakin langka ditemui, sehingga mereka yang mempraktikkannya mesti disebut hebat. Sekali kejujuran dinodai kebohongan, akan sangat sulit untuk mencari tahu kebenaran. Mungkin itu sebabnya manusia kemudian menciptakan sebuah alat untuk medeteksi kejujuran dan kebohongan, yang kini dipakai kepolisian dalam upaya mengungkap kasus kematian Angeline.

Jujur atau tidaknya seseorang dalam bertindak menjadi sesuatu yang sulit ditentukan, sebab semuanya akan selalu kembali pada pribadi yang bersangkutan. Kita mungkin masih ingat dengan jelas, bagaimana Anas Urbaningrum bersumpah untuk digantung di Monas bila ia terbukti melakukan tindak korupsi. Sebuah sumpah yang berani dan terkesan heroik, yang bisa saja membuat mereka yang mencurigainya merasa gentar. Namun, Anas toh tidak pernah menggenapi sumpahnya, bahkan setelah divonis 14 tahun penjara oleh Mahkama Agung.

Di sinilah letak kesulitan menilai jujur atau tidaknya seseorang ketika berucap pun bersaksi. Apalagi ketika kejujuran itu sudah berkaitan dengan sosial yang terkait dengan banyak orang. Kejujuran bukan lagi menjadi persoalan yang sepenuhnya personal. Ia menjadi sesuatu yang bernilai sosial. Itulah mengapa saksi dan bukti diperlukan untuk mendukung dan mementahkan “kejujuran” yang diungkapkan seseorang.

Dalam kasus Raskolnikov misalnya, meski ia sendiri mengungkapkan kejujuran tentang tindakan yang pernah ia lakukan, bukti-bukti justru menjurus kepada orang lain. Ironisnya, terkadang bukti-bukti itu sedemikian kuat dan tidak terbantahkan sehingga tertuduh tidak punya pilihan selain menerima kenyataan bahwa dialah pelaku tindakan tersebut. Hanya dengan kejujuran Raskolnikov untuk menceritakan ulang detil kejadian dan bagaimana bukti-bukti itu tanpa sengaja telah memojokkan si tertuduh, ia dapat mengambil alih seluruh tanggung jawab, serentak membebaskan si tertuduh dari tanggung jawab yang salah alamat tersebut.

Persoalannya ialah orang-orang macam Raskolnikov semakin langka ditemukan, malah yang lebih banyak muncul ialah mereka yang rela melakukan berbagai upaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, meski saksi dan bukti yang mengarah kepada mereka sudah tidak bisa dibantah lagi. Artinya, sudah terbukti bersalah saja orang masih tidak mau jujur, apalagi kalau tidak terbukti? Jangan harap orang akan bertindak seperti Raskolnikov, sebab Raskolnikov hanya ada dalam kepala Dostoevsky. 

Krisis Kejujuran, Krisis Rasa Bersalah

Waktu telah membawa manusia sampai pada zaman, yang ditandai memudarnya keutamaan-keutamaan moral seperti kejujuran dan rasa bersalah. Orang sudah kehilangan rasa bersalah dalam banyak hal. Salah satu bukti ialah tidak adanya penyesalan yang ditunjukkan oleh para pelaku kejahatan, termasuk para koruptor yang dengan santainya menampilkan wajah tidak bersalah ketika diliput media massa.

Salah satu kasus yang pernah menjadi sorotan masyarakat Indonesia ialah kematian Ade Sara. Almarhumah dibunuh oleh sepasang kekasih yang justru turut menyampaikan ucapan bela sungkawa lewat jejaring media sosial, sebelum keduanya dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan. Bahkan pasangan kekasih ini mengaku tidak menyesali tindak pembunuhan yang telah mereka lakukan terhadap Ade Sara.

Kasus yang terjadi setahun lalu ini hanya satu contoh dari sekian banyak kasus, termasuk kasus-kasus yang tercatat dalam sejarah panjang republik ini. Apakah pelaku pembantaian massal 1965/1966 pernah merasa bersalah dan menunjukkan penyesalan? Mungkin baik bila kita menengok film “The Act of Killing” untuk melihat bagaimana sang pelaku dengan santai memeragakan ulang bagaimana ia melakukan pembantaian dengan berbagai cara. Ia tertawa-tawa, seolah apa yang dilakukan pada masa lalu itu bukan suatu kejahatan melawan kemanusiaan. Bila situasi pada masa itu memang memungkinkan sang pelaku untuk bertindak demikian, apakah perasaan bersalah dan penyesalan pribadinya juga turut ia bunuh pada masa itu?

Sayangnya, apa yang terjadi sepanjang sejarah bangsa ini tidak pernah cukup menjadi bahan pelajaran bagi kita. Sebaliknya, jangan sampai kita sedang mereproduksi apa yang kita pelajari dari sejarah, tentang rezim yang selalu berhasil menciptakan alibi dan menimpakan kesalahan pada pihak lain? Suka atau tidak, itulah salah satu wajah yang sedang ditampakkan masyarakat kita saat ini. Kita memang berada dalam krisis kejujuran dan krisis rasa bersalah.

Seandainya kita cukup jujur tentu tidak akan terjadi kasus korupsi yang menyeret banyak pejabat maupun mantan pejabat negara, bahkan mereka yang di mata publik cukup dipercaya sebagai orang baik. Kejujuran memang selalu kembali menjadi urusan personal. Menampilkan diri sebagai orang baik saja belum menjamin apakah seseorang itu jujur atau tidak. Bukankah para pembohong selalu menampilkan diri sebagai bukan pembohong?

Apakah negara ini butuh lebih banyak orang jujur, ketimbang orang baik? Ya, sebab orang baik bisa terseret oleh arus negatif yang melanda, sebagaimana dialami Raskolikov dalam cerita Dostoevsky, tetapi orang jujur selalu akan dihantui rasa bersalah dan penyesalan untuk menyatakan kebenaran. Seperti pesan Dalai Lama: "Kau bisa lari dari kesalahanmu, tapi tidak dari penyesalanmuKau bisa bermain dengan dramamu, tapi tidak dengan karmamu" []

(rr/AF)