id.techinasia.com

SIAPA suruh datang (ke) Jakarta. Demikian bunyi sebuah lagu lama yang menceritakan betapa kehidupan di kota metropolitan tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Meski bertolak belakang dengan niat Koes Plus: Ke Jakarta aku kan kembali, apa pun yang nanti kan terjadi  ~pada dasarnya Jakarta hanya ramah kepada mereka yang berkepemilikan. Dalam hal ini tentu saja finansial.

Lima tahun tinggal di Jakarta bagi saya lebih merupakan keharusan ekonomi daripada membangun diri, terlebih membangun bangsa. Sangat jauh lantaran keharusan ekonomi pun tetap saja tidak terpenuhi dengan menjadi “penduduk” musiman di Jakarta. Berstatus pegawai rendahan di tengah belukar Jakarta lebih kerap menjadi pengguna bus umum dan sesekali ojek motor jika terpaksa, ternyata lebih menyenangkan menjadi penduduk sebuah kota kecil di Jawa Barat.

Jakarta dengan sejuta impian yang memukau menjadi ajang pertarungan mencari penghidupan untuk seterusnya dibaktikan hanya untuk kepentingan keluarga. Jangankan bertegur sapa dengan sesama tetangga, berangkat ke tempat kerja ketika matahari belum tampak di langit dan pulang kerja setelah matahari terbenam. Sisa-sia tenaga yang letih itu sepertinya tidak punya jatah untuk sekadar ber say hallo kepada tetangga. Dan selebihnya secara tak sadar, para pegawai kecil di Jakarta itu dibentuk menjadi robopath, meminjam John Naisbith. Sekadar menjadi pelengkap sistem yang telah terbentuk.

Padahal menurut pihak kolonial VOC, tanah Batavia banyak rawa-rawa dan rentan teridap penyakit malaria sehingga  VOC mencari kota-kota lain seperti Bogor dan Semarang di Jawa Tengah untuk membangun korporasi bisnisnya. Itu sebabnya ada Lawang Sewu di Semarang yang sempat dijadikan kantor pusat jawatan kereta api pada masanya. Atau membangun Bandung yang berpusat di Gedung Sate dan sekitarnya dengan sejumlah kantor bergaya art deco.

Namun lantaran kantor gubernurmen alias gubernur jendral VOC berkedudukan di Batavia, maka kota yang sempat berjuluk fathan mubina (kemenangan yang dekat) ini tetap saja menjadi pusat perhatian. Dan begitulah kota terus terbentuk kendati kadang kurang menyediakan ruang kebersamaan berupa sosialisasi masyarakatnya.

Ditilik dari sejarahnya Jakarta kerap berpindah penguasa. Pernah menjadi imperium Kerajaan Pajajaran dengan nama Sunda Kalapa yang terkenal dengan pelabuhannya. Lalu berpindah ke tangan Portugis ketika gelombang penyeberangan samudra menjadi trade mark di Eropa paska aufklarung (pencerahan). Saat itu diputuskan Spanyol menjelajah ke Barat dan Portugis ke Timur supaya tidak berebut tanah pampas an.

Ketika Portugis menguasai Jakarta dan Kerajaan Pajajaran melemah, Islam masuk dan menamakan wilayah itu Fathan Mubina (menurut sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dari Unpad), lalu berganti menjadi Jayakarta dengan merujuk kepada nama Pangeran Jayakarta. Konon Pangeran Jayakarta mengislamkan masyarakatnya setelah Fatahilah atau Fadillah Khan atas perintah Sunan Gunung Jati Cirebon mengambil alih Sunda Kalapa dari Portugis pada 22 Juni 1527 Masehi. Peralihan kekuasaan dari VOC kepada Belanda mengubah Jayakarta menjadi Batavia. Dan pada masa menjelang kemerdekaan RI berubah menjadi Jakarta hingga sekarang.

Jakarta yang kerap berubah penguasa nampaknya menjadi ciri khas sepanjang sejarah. Itu dibuktikan dengan berkali pergantian gubernur dan presiden yang berdomisili di Jakarta. Artinya gubernur dan presiden yang memimpin sangat memiliki kepentingan atas Jakarta. Tidak peduli apakah semakin macet, kerap diterjang banjir, tuntutan masyarakat yang semakin cerdas, dan belum lagi beribu masalah sosial yang mengepung setiap saat.

Tanpa lelah Jakarta dibangun. Tanpa lelah pula jutaan orang masuk ke Jakarta menjadi “penduduk” musiman tanpa kepemilikan KTP Jakarta. Tanpa mesti selembar surat ijin dari lembaga mana pun untuk masuk ke Jakarta, tiap selesai lebaran ribuan orang masuk dan berdesakan di Jakarta yang makin sesak. Jakarta semakin terbuka, dan dengan demikian Jakarta semakin terluka.

Berkali pergantian gubernur dan presiden, persoalan sosial di Jakarta agaknya tidak pernah selesai. Tidak pernah ada space untuk benar-benar secara manusiawi menjadi penghuni Jakarta yang bersih mandiri berwibawa (BMW).  Semua dipacu dan berlomba mencapai serta menggapai harapan untuk kemudian capaian itu hanya diberikan bagi diri dan keluarganya.

Pertanyaannya kemudian beban Jakarta yang semakin berat, sangat mungkin menjadikan kota ini tidak lagi mampu menyediakan ruang yang nyaman bagi seluruh penduduknya yang diprediksi mencapai angka 12,5 juta jiwa. Sebagai kota paling dinamis di Indonesia, beragam persoalan Jakarta akhirnya menjadi persoalan nasional. Segala yang bermula dari Jakarta dinisbahkan sebagai Indonesia. Itu sebabnya Jakarta menjadi tujuan dan tumpuan merealisasikan segala gagasan.

Jika kembali ke Jakarta berarti Anda kembali membebani Jakarta dengan seabrek permasalahannya. Sebaliknya jika tidak kembali ke Jakarta maka seluruh harapan dan impinan seketika luruh. Jakarta akan menjadi milik penguasa baru yang demikian getol mempromosikan diri sebagai orang yang mampu membuat Jakarta menjadi manusiawi. Jakarta akan terus berganti pemimpin seiring perjalanan sejarahnya di masa lalu.

Dengan demikian ketika Anda yakin dan secara sadar menjadi penduduk Jakarta, membebani pemerintah daerah Jakarta (setidaknya dalam hal kepadatan penduduk), maka bersiaplah untuk selalu menyeleraskan Jakarta ke dalam desain kota besar yang mendunia, selain sebagai pusat admnistrasi dan pemerintahan Indonesia. Penyelerasan itu mau tidak mau berawal dari kekuatan diri yang secara profesional menjadikan Jakarta sebagai kota yang manis dan manusiawi sehingga penduduknya merasa betah dan tidak kesulitan mencari penghidupan.

Bukan dengan memindahkan ibu kota negara  ke luar Jakarta melainkan menjadikan Jakarta sebagai kiblat administrasi dan pemerintahan Indonesia. Dengan kata lain jikalau Jakarta kacau maka bolehlah dikatakan Indonesia kacau. Selamat Ulang Tahun Jakarta ke 487.***

(rr/DK)