www.albarnation.com

Seorang sopir tembak angkutan kota di Jakarta ditangkap polisi ketika sedang bersama anak dan istrinya. Ia ditangkap lantaran telah melakukan pemerkosaan terhadap satu-satunya penumpang yang menggunakan jasa angkot yang ia kemudikan malam sebelumnya. Korbannya adalah seorang karyawati, yang baru pulang kerja. Meski telah ditawari harta benda yang dimiliki korban saat itu agar tidak diperkosa, pelaku tetap melakukan niatnya untuk memperkosa tanpa mengambil satu pun harta benda yang ditawarkan.

Kejadian pada malam minggu, 20 Juni itu, tentu saja menjadi suguhan di halaman-halaman surat kabar, entah versi cetak maupun versi online pada keesokan harinya. Persitiwa ini terjadi di tengah perdebatan panjang tentang siapa sebenarnya pelaku pembunuh Angeline, yang kasusnya masih secara intensif ditangani pihak kepolisian, sekaligus mengundang aneka keprihatinan dari banyak kalangan.

Dua kasus di atas, ditambah berbagai kasus kejahatan serupa seakan menunjukkan bahwa kekerasan mungkin telah menjadi sesuatu yang “biasa” dalam masyarakat kita. Kasus-kasus kekerasan dengan mudah dijumpai di halaman-halaman media cetak, layar televisi atau perangkat yang terhubung dengan media online. Pelaku kejahatan pun bukan lagi mereka yang dibayangkan berwajah seram atau bertampang sangar. Pelaku kejahatan saat ini adalah orang-orang biasa yang jauh dari gambaran pelaku kejahatan dalam dongeng-dongeng masa lalu.

“Baik dan jahat memiliki wajah yang sama; semua tergantung kapan mereka melintasi kehidupan seorang manusia,” tulis Paulo Coelho dalam novel Iblis dan Miss Prym. Sangat mungkin kejahatan memang terjadi bukan semata-mata karena niat jahat pelaku, tetapi karena adanya kesempatan. Namun, bagaimana kita dapat memberikan penilaian terhadap kasus-kasus kejahatan yang ternyata dilakukan oleh orang-orang biasa yang tidak pernah kita duga bisa menjadi pelaku tindak kejahatan?

Hannah Arendt, filsuf wanita yang mendalami kasus pengadilan salah satu pelaku kekejaman Nazi, Adolf Eichmann di Yerusalem, memberi sebuah pandangan bahwa orang-orang biasa bisa terseret menjadi pelaku kejahatan bukan karena mereka tidak mampu berpikir atau tidak mampu menilai tindakan mereka. Masalahnya ialah orang-orang baik ini tidak mau berpikir. Ketika seseorang berhenti berpikir, ia membiarkan dirinya mengikuti dorongan-dorongan yang entah berasal dari dalam dirinya atau berasal dari luar untuk melakukan sesuatu.

Arendt juga menyodorkan imajinasi sebagai sebuah instrumen dalam memberi penilaian. Imajinasi memungkinkan orang untuk menempatkan diri bukan pada posisinya saat ini. Sebagai misal, pelaku pembunuhan Angeline dapat membuat penilaian atas tindakannya dengan berimajinasi dan memosisikan diri sebagai Angeline atau orangtua kandung Angeline. Demikian pula seorang pelaku pemerkosaan dapat berimajinasi untuk merasakan bagaimana penderitaan korban tindakan yang telah ia lakukan. Dengan berimajinasi demikian, ia bisa melihat kembali apakah tindakan pembunuhan atau pemerkosaan yang hendak atau telah ia lakukan itu merupakan sesuatu yang pantas atau tidak.

Bahkan, seorang yang tidak berpendidikan tinggi pun hemat saya bisa menggunakan imajinasinya untuk melihat kembali tindakan yang pernah ia lakukan. Bila aktivitas berpikir kritis tidak mungkin dilakukan orang biasa yang oleh satu dan lain hal tidak bisa memperoleh pendidikan, maka ia bisa memanfaatkan imajinasinya. Imajinasi memunginkan orang untuk bisa berdialog dengan diri sendiri dan melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa diwujudkan dalam tindakan.

Persoalannya, sejauh mana orang dilatih untuk memanfaatkan imajinasinya? Apakah institusi pendidikan kita sejak tingkat dasar sudah membiasakan anak-anak kita untuk memanfaatkan imajinasinya, atau mereka justru dijadikan objek yang mesti secara pasif menerima transfer pengetahuan dari para pendidik, demi memenuhi tuntutan kurikulum belaka? Orang hanya dipaksa untuk menjadi yang terbaik, yang tercepat, yang tertinggi dan mencapai prestasi puncak, tetapi tidak disiapkan untuk menerima kenyataan yang sebaliknya. Tidak heran bahwa orang menjadi individualis dan tidak lagi punya empati terhadap mereka yang dianggap gagal atau tidak mampu meraih prestasi.

Pada level yang lebih tinggi dapat dilihat dalam aneka keputusan yang diambil baik oleh para pejabat eksekutif maupun legislatif kita. Sangat sering apa yang diputuskan terasa melecehkan akal sehat atau rasa keadilan publik, tetapi tetap tidak dihiraukan. Bisa jadi para pejabat kita juga sudah kehilangan daya imajinasi untuk sejenak membayangkan bagaimana bila mereka berada pada posisi publik yang terkena dampak keputusan yang mereka ambil. Kengototan anggota DPR di senayan untuk memperoleh dana aspirasi sambil merevisi Undang-Undang KPK dapat dijadikan contoh bagaimana para wakil rakyat ini tidak lagi memiliki imajinasi mengenai rakyat.

Kita tidak saja kehilangan imajinasi, tetapi juga empati. Kasus-kasus kejahatan mulai kriminalitas di jalanan hingga korupsi, kolusi dan nepotisme di tingkat elit menunjukkan bahwa orang gagal menggunakan imajinasinya untuk menumbuhkan empati pada yang lain. Orang bisa saja sangat cerdas, tetapi ketika ia tidak mau berpikir atau tidak mau menggunakan pikirannya untuk melihat kenyataan secara menyeluruh maka ia akan dengan gampang melakukan tindakan jahat demi mencapai keinginan pribadinya semata.

Paulo Coelho dalam novel Iblis dan Miss Prym menampilkan sebuah percakapan menarik antara Ahab, seorang yang terkenal karena kekejamannya dengan Savin, seorang yang dianggap suci.  

Coelho menulis: “Jika malam ini pelacur tercantik di desa ini datang kemari, apakah kau akan sanggup memandangnya dan menganggapnya tidak cantik dan tidak menggoda? tanya Ahab.

Tidak. Tapi aku akan mengendalikan diriku,” sahut si orang suci

“Dan, jika aku menawarimu setumpuk kepingan uang emas, agar kau meninggalkan guamu di gunung dan bergabung dengan kami, sanggupkah kau memandang emas itu dan menganggapnya batu kerikil?”

“Tidak, tapi aku akan bisa mengendalikan diriku.”

Setiap manusia memiliki dalam dirinya kebaikan dan kejahatan, bedanya, ada manusia yang dengan penuh keberanian mengendalikan diri untuk mengatasi dorongan-dorongan jahat, sementara manusia lain membiarkan diri dikuasai oleh dorongan itu dan bertindak menurutinya. Imajinasi menjadi salah satu instrumen yang dapat mengarahkan orang untuk bisa mengendalikan diri. Kita tidak harus bisa berani keluar dari bayangan diri sendiri dan mengambil posisi orang lain.

Orang harus bisa melihat sesamanya sebagai manusia. Imajinasi membantu orang menggunakan pikirannya untuk membayangkan perasaan dan akibat tindakan yang bakal dialami orang lain, terutama mereka yang menjadi korban tindakannya. Hanya dengan membayangkan perasaan, ketakutan dan luka yang bakal dialami korban, orang diajak untuk bisa melihat kembali kepantasan tindakannya sendiri. Imajinasi melahirkan empati dan pengendalian diri.

Imajinasi juga diperlukan untuk membantu para pelaku kejahatan melihat kembali tindakan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Dalam banyak kasus terkadang pelaku kejahatan seakan kehilangan rasa bersalah, karena tidak mampu melihat tindakannya sebagai sebuah kesalahan. Orang begitu terpaku pada diri dan tindakannya sehingga gagal memahami mereka yang telah menjadi korban tindakan jahat yang pernah ia lakukan. Akibatnya orang jadi begitu sulit mengakui kesalahan dan tetap merasa diri benar meski telah terbukti bersalah.

Di sinilah pentingnya mengembangkan kemampuan berimajinasi yang dalam konteks kehidupan masyarakat kita, cukup tepat bila dipahami sebagai kemampuan bela rasa. Mungkin konsep pendidikan karakter yang didengung-dengungkan pemerintah saat ini, memberi harapan baru bagi pengembangan kemampuan berbela rasa untuk generasi-generasi kita ke depan []

 

(rr/AF)