news.metrotvnews.com

Indonesia bukanlah “rumah” yang nyaman bagi anak-anak. Barangkali, rumah besar ini lebih nyaman bagi kemiskinan dan kematian. Begitu lekatnya kemiskinan dengan negeri ini, sehingga pada titik tertentu, kemiskinan itu dipandang sebagai sebuah kesalahan yang untuknya orang perlu memohonkan ampun dari Yang Kuasa. Joko Pinurbo (Jokpin) dalam baris terakhir puisinya “Harga Duit Turun Lagi” menulis: “berilah kami rejeki pada hari ini/ dan ampunilah kemiskinan kami”. Apakah kemiskinan memang sebuah kesalahan yang membutuhkan ampunan? Mungkin hanya Jokpin dan Tuhan yang tahu jawabannya.

Namun, pada tahun 2007, sebuah klinik bersalin di kawasan Kuta Utara menjadi saksi bisu bagaimana kemiskinan ekonomi yang membelit telah membuat sepasang suami istri, Ahmad Rosidi dan Hamida, menyerahkan putri mereka kepada seorang wanita bernama Margriet yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Anak yang baru lahir itu mereka serahkan, setelah si wanita menebus semua biaya kesehatan dan persalinan Hamida.

Demikianlah, pada usianya yang baru tiga hari, bayi perempuan itu diambil oleh Margriet. Konon, hari itu adalah hari terakhir pasangan Rosidi dan Hamida melihat putri mereka. Selanjutnya adalah pertemuan antara Rosidi dan Margriet untuk mengurus akta pengakuan pengangkatan anak, di kantor seorang notaris. Meski akta itu bukan akta adopsi, sang anak tetap tinggal bersama Margriet, sedang Rosidi dan Hamida terikat kesepakatan untuk tidak mengungkapkan jati diri mereka, hingga sang anak dewasa.

Mei 2015, Angeline, tiba-tiba dinyatakan hilang. Margriet sang ibu angkat bersama dua saudara angkat Angeline melakukan berbagai upaya demi menemukan Angeline yang mereka nyatakan hilang. Siapa sangka, Angeline ternyata telah menjadi korban pembunuhan disertai tindak kekerasan seksual, dan dikubur di bawah kandang ayam, di belakang rumah Margriet sendiri. Angeline telah menyelesaikan hidupnya yang begitu singkat. Kematian memang tidak pernah mengenal usia. Bahkan, seorang bayi pun sudah cukup tua untuk mati, kata Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman itu.

Indonesia seolah menangisi apa yang dialami Angeline. Namun, apa yang sejatinya sedang ditangisi? Kematiannya kah? Atau kemiskinan yang mendera orang tua kandungnya? Setiap orang tentu memiliki alasannya sendiri untuk menitikkan air mata atau merapal doa buat Angeline. Orang mungkin menyesali pasangan Rosidi dan Halima yang telah menyerahkan Angeline ke tangan Margriet. Orang juga dapat dengan mudah melayangkan kutuk kepada mereka yang diduga telah menjadi pembunuh Angeline. Semua membaur menjadi satu dalam suguhan media massa yang tidak henti-henti memberitakan nasib malang Angeline.

Angeline telah memberi pelajaran berharga buat bangsa ini bahwa anak-anak ternyata masih belum sepenuhnya aman dari kekerasan dan pelecehan. Kasus sebagaimana dialami Angeline ternyata memang meruak di negeri ini dari waktu ke waktu. Data Komisi Perlindungan Anak menunjukkan bahwa telah terjadi 7.650 kasus kekerasan terhadap anak Indonesia dalam rentang 2011 hingga 2013. Celakanya, 30,1 persen atau 2.132 kasus dari jumlah tersebut adalah kasus kekerasan seksual.

Apresiasi patut diberikan kepada KPAI yang telah melakukan berbagai hal untuk melindungi anak-anak Indonesia dari tindak kekerasan, dan mengupayakan terwujudnya kota layak anak. Namun, bila diibaratkan dengan permainan sepak bola, komisi ini bagai penyerang yang berlari dan berjuang sendirian untuk mencetak gol. Lini pertahanan tidak mendukung kinerja para penyerang sehingga meski mencetak gol, kita lebih banyak kebobolan. Meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak seakan membuktikan bahwa masyarakat masih belum sepenuhnya mengambil peran dalam melakukan perlindungan anak.

Dalam kasus Angeline, jelas terlihat bahwa baik pasangan Rosidi dan Hamida maupun Margriet dan suaminya yang warga negara asing itu, tidak mematuhi aturan tertulis mengenai tata cara adopsi anak. Ada beberapa poin dalam PP No. 52 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Tahun 2007 yang tidak dipatuhi kedua belah pihak ketika proses penyerahan Angeline terjadi. Namun, apakah masalahnya hanya terletak pada kelalaian ini saja? Atau ada hal lain yang memang perlu dilihat sebagai akar persoalan?

Ironi Kemiskinan

Bila dirunut ke belakang, salah satu penyebab adalah kemiskinan. Tentu kemiskinan di sini adalah kemiskinan dalam arti luas, dan mencakup banyak aspek seperti kemiskinan ekonomi, kemiskinan pengetahuan, kemiskinan informasi, dan kemiskinan lainnya. Kemiskinan ekonomi telah medorong Rosidi dan Hamida menyerahkan Angeline kepada keluarga Margriet, tetapi yang lebih fatal ialah keduanya juga menderita kemiskinan pengetahuan dan informasi mengenai aturan pengangkatan anak.

Sebagaimana kemiskinan ekonomi disebabkan oleh ketimpangan distribusi pendapatan (ekonomi), demikian pula kemiskinan pengetahuan dapat dilihat sebagai imbas tidak meratanya distribusi pengetahuan dan informasi. Sosialisasi berbagai aturan pemerintah terkait hak dan kewajiban warga negara masih belum merata dan belum menyentuh seluruh masyarakat. Aturan masih dijadikan alat yang menjerat, bukan yang membebaskan.

Setelah sebuah pelanggaran terjadi, barulah aparat membeberkan sederet aturan, dengan menyebut berbagai macam pasal dan ayat dari kitab hukum, yang sebagian besarnya tidak pernah diketahui masyarakat. Lebih jauh, aparat kemudian dengan enteng akan menyebut bahwa masyarakat belum sadar hukum. Bagaimana masyarakat bisa sadar kalau hukum itu tidak pernah disosialisasikan oleh aparat yang seharusnya menjalankan lebih dahulu fungsi pencegahan, alih-alih menunggu untuk menangani kasus yang telah terlanjur terjadi.

Artinya, aturan tidak ditaruh di depan sebagai sarana yang membebaskan dan mencegah orang melakukan pelanggaran, tetapi ditaruh di belakang sebagai alat untuk menghukum dengan pengandaian akan menimbulkan efek jera. Mungkin itu sebabnya, dalam banyak hal, kita sering mendengar kata “hukum” disandingkan dengan kata “jerat”. Hukum (aturan) digunakan untuk menjerat mereka yang melakukan pelanggaran. Siapapun maklum, jerat adalah semacam alat rahasia yang digunakan untuk melumpuhkan mereka yang dijadikan sasaran. Sebagai rahasia, jerat memang dibuat untuk tidak diketahui orang. Maka, kalau hukum (aturan) digunakan untuk menjerat, hukum itu memang sengaja disembunyikan dari pengetahuan masyarakat.

Pada sisi lain, hal ini juga sebuah ironi di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi yang membuka ruang lebih luas bagi akses pengetahuan oleh warga negara. Ironi ini menjadi sebuah cermin bagi media massa termasuk media-media online untuk melihat kembali muatan berita yang setiap saat disodorkan ke hadapan publik. Apakah memang media telah secara serius menjalankan fungsi edukasi bagi masyarakat, atau lebih mengutamakan hal-hal remeh seputar kehidupan para selebriti guna meraih keuntungan ekonomi semata? Sebab, sering kali media juga menjadikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat sebagai “jualan” yang laris manis di pasar pemberitaan.

Terima Kasih, Angeline

Angeline, bukan yang pertama, dan sangat mungkin bukan yang terakhir sebagai korban kekerasan yang menimpa anak-anak kita. Kasus Angeline sepatutnya menjadi pelajaran yang amat berharga buat seluruh masyarakat bangsa ini untuk kembali bertanya tentang tanggung jawab dan perhatian terhadap anak-anak. Masa depan bangsa ini ada di tangan anak-anak. Bagaimana anak-anak ini dibentuk dan diperlakukan akan menentukan bagaimana nasib bangsa ini di masa depan.

Kematian Angeline juga membuka mata kita untuk sadar bahwa kemiskinan pengetahuan ternyata tidak kalah berbahaya dari kemiskinan ekonomi. Inilah saatnya mereka yang memegang kunci-kunci pengetahuan membuka ruang untuk mendistribusikan secara merata pengetahuan kepada seluruh masyarakat untuk segera sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajiban orang tua dan anak-anak. Orang tua bukan yang paling berkuasa dan bisa melakukan apa saja termasuk menyerahkan anak kepada pihak lain, atau memperlakukan anak-anak secara semena-mena.

Terima kasih Angeline, engkau membantu kami untuk melihat bahwa kami semua turut bersalah kepada anak-anak kami, kepada masa depan bangsa ini. Mungkin selain terima kasih kita juga perlu memohon ampunan atas kemiskinan kita dalam memberi perhatian kepada anak-anak yang sedang terancam menjadi korban kekerasan dan pelecehan sebagaimana dialami Angeline. Ampunilah kemiskinan kami []

(rr/AF)