www.anneahira.com

HINGAR bingar perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama (Ahok) yang beradu kegenitan dengan para politisi DPR DKI Jakarta, barangkali telah meruakkkan dan membuka mata publik tentang carut marut penataan anggaran di daerah, tidak hanya di DKI Jakarta, sinyalemen adanya anggaran siluman yang diteriakkan Ahok dan dukungan publik terhadap Ahok menjadi tranding topic media yang tidak berakhir dalam hitungan minggu. Dan Ahok seperti telah menjadikan politik sebagai “seni yang mungkin’ (the art of the possible) seperti yang pernah diteriakkan oleh Edmund Burke yang nota bene adalah seorang champion dengan spirit konservatif dalam pemikiran politik, terlepas dari gaya temperamental yang ditampilkaan Ahok, ia juga seolah bisa menjadi oase dari kegersangan argumentasi para kepala daerah untuk menyiasati superioritas para politisi parlemen dan rendahnya posisi tawar mereka untuk sekadar menampilkan program yang layak dan tidak layak bagi kepentingan masyarakat yang sesungguhnya. Bukan kepentingan siluman yang bersungguh sungguh mengambil momentum “mengutip dan mengambil” kesempatan diantara kesempitan ruang pemberantasan korupsi dan diantara para koruptor dan calon-calon koruptor baru yang menyeringai tertawa riang untuk merencanakan dan yang telah menghisap darah dan air mata rakyatnya.

Aksi politik Ahok juga sama persis dengan sinyalemen yang mungkin dilakukannya untuk menentang ekstrim kiri atau ekstrim kanan, ia tidak melihat dirinya sebagai pembasmi kekuasaan kegelapan (the power of darkness) karena terlihat bahwa ia juga mengakui relativitas dan isu-isu politik yang muncul dibalik panggung perseteruannya yang tersajikan ke panggung politik depan itu. Meski sedikit kontras misalnya bagaimana ia tidak mencoba menbangun keseimbangan yang bisa diterima diantara berbagai kepentingan dengan cara kompromi , atau bahkan penyesuaian dan akomodasi, padahal kebajikan politik sebenarnya terletak pada kebijaksanaan solusi atas masalah sosial politik yang termuat dalam perseteruan itu, yang dilakukan dengan pendekatan yaang masuk akal dan moderat.

Ahok seperti ingin menjadikan negeri ini melalui pemerintahannya sebagai rumah pembetulan (house of correction), tujuannya seolah ingin menjinakkan naluri manusia yang jahat, tetapi Ahok lupa bahwa Rousseau pernah mengingatkan, manusia pada dasarnya baik dan peradabanlah yang telah merusak manusia. Barangkali juga kesuksesan para koruptor mengeruk uang negara dan sekaligus uang rakyat yang kemudian pelakunya seolah  tidak tersentuh oleh hukum, menjadikan Ahok meriang dan ia tidak ingin memberikan alam kebebasan bagi para koruptor atau calon koruptor baru untuk hadir ditengah upaya pemberantasan korupsi serta revolusi mental yang ingin diterapkan oleh Presiden Jokowi yang menjadi idolanya. Karenanya Ahok memantik simpati masyarakat untuk membuka “aib” anggaran itu agar masyarakat menjadi juri paling adil bagi syahwat korupsi ditengah birokrasi dan kekuasaan politik yang jamak terjadi hampir diseluruh Indonesia, dimana kepala daerahnya seolah setali tiga uang dengan parlemen untuk “diam” menggerakkan persekongkolan korupsi itu menjadi rutinitas setip kali anggaran daerah digelontorkan. Alam kebebasan itulah yang menurut Ahok harus diselaraskan dengan keinginan masyarakat untuk melihat negeri ini dipimpin dan dikelola oleh mereka yang jauh dari pikiran korup dan menjadikan korupsi sebagai imbalan atas cost politik yang telah dikeluarkannya baik dalam pencalonan dilegislatif maupun di pencalonan kepala daerah. Bonald menamakannya istilah ini dengan nous sommes mauvais partikular nature bons partikular la societe ( kita jahat karena alam, baik karena masyarakat).

Perdebatan konstitusi yang dijadikan alasan pembenar dalam ruang kisruh antara Ahok dan DPR DKI Jakarta itu, mengingatkan kita pada apa yang pernah disinyalir oleh De Maistre, bahwa kelemahan konstitusi sebenarnyaa berkaitan dengan jumlah pasal yang tertulis, sehingga para pemimpin, penguasa dan orang orang terhormat dalam suatu negara, di suatu daerah seharusnya menjadi pembawa dan penjaga panji kebenaran sejati yang “harus” mengajarkan kebenaran dan keselaraasan dalam tuntunan moral dan spiritual kepada rakyat, termasuk kepada orang lain yang tidak mempunyai hak. Disini Ahok menyadari bahwa ia memiliki legitimasi etis, sebab jika yang diperdebatkan adalah Ahok dengan gaya temperamentalnya seolah tidak mempunyai etika politik, itu juga sebenarnya masih perlu diperdebatkan. karena Etika Politik justru menuntut agar kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), karena ia disyahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral).

Nah,... saksikanlah bagaimana ricuh itu kemudian berkembang di rapat mediasi yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri untuk menyiasati perseteruan Ahok dan DPR DKI itu.betapa sumpah serapah berseliweran memekakkan telinga publik dan memanaskan hati dan pikiran rakyat. Dan bagaimana kemudian kita menyaksikan para pemimpin itu yang seharusnya menghadirkan kebaikan justru mempercundangi panggung kekuasaan dengan alibi dan tingkah pola perilaku politik yang memuakkan.

Plato dan Aristoteles pernah berbeda pendapat menyoal pemikiran tentang negera dan pemimpin yang baik. Tetapi keduanya memberikan lukisan terbaik untuk melihat perbedaan tentang negara mana yang sebenarnya paling sesuai dengan kepentingan masyarakat. Sebab kekuasaan adalah realitas “adiduniawi” yang menjadi tanggung jawab manusia, karena itu pula menurut mereka legitimasi etis kadangkala tidak dapat dituntut. Plato berpendapat, negera yang baik adalah negara yang merealisasikan keadilan, artinya yang ditata secara selaras dan seimbang dan dipimpin pada idea metafisik kebaikan, maka negara semacam itu paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi Aristoteles justru menolak ide tentang idea metafisik, tujuan negara adalah menunjang kebahagiaan, maka negara yang paling baik adalah negara yang organisasinya sesuai dengan fungsinya dan  fungsi itu dipimpin oleh orang yang berpengalaman dan memiliki keutamaan yang diperlukan.

Keutamaan itu seharusnya melebihi dan melampui, yang dalam istilah Yunani dikenal dengan “mataetika” jadi, yang dibahas dalam kepemimpinan itu baik di eksekutif maupun legislatif bukanlah moralitas secara langsung melainkan ucapan kita dibidang moralitas, maka ia bergerak lebih tinggi dari sekedar perilaku etis yakni pada taraf berbahasa etis. Dan pada tahap ini, saksikanlah pula bagaimana fenomena berbahasa etis menjadi perjuangan Ahok untuk menunjukkan rivalitas yang menyeruak ditengah upayanya yang dikatakannya  membangun pemerintahan yang anti korupsi dan perilaku politik yang menyasar dan bisa mengakibatkaan terjadinya korupsi, ia seolah menjadi bising bising antara pekarjaan para koruptor dan  elit berbaju politik.

Perjuangan untuk membangun negeri yang bebas dari korupsi bukanlah pekerjaan mudah, para koruptor dan calon calon koruptor baru seolah belajar mempresentasikan dirinya menjadi cendikiawan politik berkelas, mereka bebas dari shame culture dan guilt culture atau kebudayaan malu dan kebudayaan kebersalahan, shame culture  seluruhnya ditandai rasa malu dan disana tidak dikenal rasa bersalah, sedangkaan guild culture terdapat rasa bersalah. Tetapi drama politik yang tersajikan di dalam perseteruan antara  Ahok dan DPR DKI Jakarta yang bermuasal karena dugaan adanya anggaran siluman yang tiba-tiba muncul di APBD DKI Jakarta,  menampilkan akrobat politik yang dibaca jelas oleh publik, nyaris kebudayaan malu dibuang dan kebudayaan kebersalahan disingkirkan atas nama “kehormatan,” “reputasi,” “nama baik,’ “status,” dan “gengsi” padahal, seharusnya para elit itu membaca kehormatan, reputasi, nama baik, status dan gengsi itu justru harus dikembalikan kepada martabat politik mereka, yakni mereka harus  bisa menyandang fungsi keterwakilan dengan menjauhkan dan melepaskan diri dari niat untuk melakukan dan memberi ruang pelanggaran hukum dalam bentuk korupsi. Karena kejahatan korupsi itu bahkan jauh lebih kejam dari terorisme dan bahkan narkoba sekalipun. Tetapi seolah menjawab mengapa perjuangan anti korupsi itu begitu sulitnya, jawabnya karena bila orang atau kelompok melakukan kejahatan korupsi, mereka tidak menganggap hal yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang  buruk dan  jahat, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan dari orang lain. Maka tentu saja apa yang dilakukaan Ahok menyebabkan yang disembunyikan itu menjadi terbuka.dan bisa menyebabkan mereka kehilangan muka, dikutuk dan dicela.

Parahnya, nyaris tidak ada guild culture atau apa yang dinamakan dengan “dosa” (sin) dan “kebersalahan” (guild) itu dalam seteru politik antara Ahok dan para politisi itu, maka kemudian kita melihat perdebatan itu tidak lagi bergerak pada substansi kecurigaan Ahok tentang anggaran siluman  yang disinyalir mengandung muatan korupsi, pada guild culture itu tidak berasal dari orang lain, melainkan dari dalam diri sendiri, jadi sebenarnya mereka menjadi kurang tenang bukanlah karena  dicela atau dikutuk orang lain melainkan karena perbuatan itu sendiri, dalam diri batin mereka sendiri. Perbuatan yang dicurigai Ahok yang mengakibatkan persepsi publik menyasar kasar kepada mereka, tetapi apa boleh buat, Kebanyakan kebudayaan termasuk kebudayaan politik bergerak dalam shame culture dan bukan guild culture karenanya kita akan sulit menyaksikan bagaimana perubahan perilaku politik di negeri ini bergerak selaras dengan perjuangan anti korupsi, karena geliat para koruptor jauh lebih galak dari dimensi kepatutan hukum, moral, etika dan bahkan kehormatan politik mereka sendiri.alih alih atas nama status dan nama baik.

Kini, perseteruan itu telah menggelinding keruang politik dan hukum Ahok akan menghadapi gejolak politik parlemen dalam bentuh hak angket yang digerakkan atas semangat yang boleh jadi untuk membungkam kenyinyiran Ahok membuka borok anggaran siluman. Ruang hukum dibuka Ahok dan direspon balik oleh politisi dengan melaporkan Ahok ke kepolisian, tetapi apapun itu, Ahok mencatat sejarah baru tentang bagaimana seorang kepala Daerah yang mau berbagi informasi dan mengkomunikasikan segala kemungkinan yang akan terjadi andai kebijakan politik yang dilakukannya sebagai kepala daerah justru memberi ruang korupsi bagi orang atau kelompok lain.

Bagi kita masyarakat, mungkin ini adalah upaya Ahok untuk memantik ingatan koleganya di DPRD bahwa hati nurani adalah cermin berperilaku politik yang baik, yang melihat shame culture dan guild culture sebagai gelas kaca pembeda untuk benar benar menjalankan fungsi keterwakilan dengan segala hak yang melekat baik legislasi, anggaran maaupun pengawasan, maka seharusnya para wakil rakyat justru bisa membalik belanga sinyalemen Ahok, agar sebagai wakil rakyat merekalah yang seharusnya berjuang memberantas korupsi mulai dari diri mereka sendiri, bukan malah menjadi koruptor atau calon koruptor baru, sehingga kapanpun, dimanapun dan pada saat apapun mereka semua bisa tetap bersinar di media tetapi terus mengakar  kepublik, yang pasti, setiap lima tahun kedepan, mereka akan membutuhkan suara publik lagi untuk tetap membuat mereka bisa menyandang gelar sebagai orang yang “sangat terhormat” itu***

(rr/LA)