foto: Bettmann/CORBIS

“Ada saatnya dalam hidupmu,
engkau ingin sendirian saja bersama angin,
menceritakan seluruh rahasia lalu meneteskan air mata”
(Bung Karno, 1933) 

Setelah Ken Arok menggulingkan Tunggul Ametung dengan menimpakan seluruh kesalahan pada Kebo Ijo, untuk pertama kalinya Ken Dedes membiarkan air matanya berlinang. Ia menangis, bukan lantaran kehilangan Tunggul Ametung, ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Ia sedang menangisi kekuasaannya sebagai Pramesywari Tumapel yang kini sudah tidak lagi utuh. Ken Arok ternyata bukan miliknya seorang. Ada Ken Umang, wanita yang juga sedang mengandung anak Ken Arok. Saat itulah Ken Dedes sadar, anak yang ia kandung dari musuh Ken Arok itu bukan lagi satu-satunya calon pemimpin Tumapel. Apalagi ayah anak dalam kandungannya telah dikalahkan oleh ayah dari anak yang ada dalam kandungan Ken Umang.      

Ken Dedes mungkin tidak bisa lari dari kenyataan, meski tidak pernah mencintai Tunggul Ametung, ia toh menikmati kekuasaan yang diberikan kepadanya sebagai isteri seorang akuwu di Tumapel. Malah ia menjalankan kekuasaan itu lebih baik dari sang akuwu sendiri, sebab ia berpengetahuan. Ia menguasai pengetahuan yang diturunkan ayahnya, Mpu Parwa, bukan saja dalam bahasa Jawa, tetapi juga bahasa Sansekerta. Pengetahuan itulah yang membuat dia lebih leluasa menunjukkan sikap memberontak terhadap suaminya, yang tidak bisa baca tulis, apalagi berbahasa Sansekerta.

Dengan pengetahuan itu pula, ia menjalankan niat menjatuhkan suaminya. Diam-diam ia menjalin kerja sama dengan Ken Arok yang berpengetahuan melebihi dirinya. Ia terpesona pada sosok yang oleh Sang Guru Dang Hyang Lohgawe dianggap sebagai titisan dewa itu. Ia tahu apa yang ditiupkan sang guru kepada khalayak Tumapel hanyalah sebuah mitos belaka. Namun, bukankah seorang pemimpin memang memerlukan mitos untuk memberinya legitimasi bagi kekuasaan yang hendak diembannya? Apalagi pemimpin yang dimitoskan itu adalah jaminan baginya untuk menuntaskan dendam pribadinya terhadap suaminya sendiri.

Namun, setelah dendamnya terbalaskan, apakah ia masih akan memiliki kekuasaan? Bagi Ken Dedes yang merasa telah turut berjasa dalam keberhasilan Ken Arok menyingkirkan Tunggul Ametung, kehadiran Ken Umang dan massa yang turun dari desa-desa di Tumapel ibarat kaum oportunis yang memanfaatkan kesempatan untuk menyalip di tikungan akhir agar turut merasakan kekuasaan. Persoalannya, ia tidak rela bila harus berbagi kekuasaan dengan mereka yang tidak pernah dikenalnya.

Barangkali karena Ken Dedes seorang perempuan, maka ia mengalami kegoncangan yang demikian. Tetapi apakah hasrat kekuasaan mengenal jenis kelamin? Bukankah Ken Arok pun mempunyai hasrat yang sama, dan memuaskannya dengan sebuah intrik yang lalu dicontoh oleh banyak penguasa yang muncul kemudian? Apakah ia mesti disalahkan ketika menolak kehadiran yang lain untuk berbagi kekuasaan yang selama ini digenggamnya sebagai ratu di Tumapel? Ia tidak saja takut berbagi Ken Arok, ia tidak siap kehilangan kendali atas para prajurit Tumapel yang selama ini tunduk di bawah kekuasaannya, meski tidak semuanya.

Pramoedya Ananta Toer melukiskan kegelisahan serentak kegamangan akan kekuasaan yang terpatri dalam lubuk hati Ken Dedes ini dalam bagian paling akhir dari novelnya, Arok Dedes. Dengan amat halus tapi tegas Pram menunjukkan bagaimana seorang yang berkuasa takut kehilangan kekuasaannya. Sebab, kenikmatan dari kekuasaan ialah ketika ia bisa dimiliki sendiri. Mungkin itu sebabnya banyak orang dengan berbagai cara mencoba mempraktikkan kekuasaan sekecil apapun yang dimilikinya.  

Pengalaman Ken Dedes seperti dilukiskan Pram barangkali menjadi representasi apa yang tengah dialami banyak orang saat ini. Seandainya kekuasaan itu bukan sesuatu yang memberi kenikmatan, mungkin tidak akan ada kisruh berkepanjangan antara kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie dalam tubuh Partai Golkar atau kubu Djaan Faridz dan kubu Romahurmuziy dalam tubuh PPP. Kekuasaan itu memberi kenikmatan sehingga ia menjadi incaran banyak orang yang merasa mampu mencapainya.

Kekuasaan itu rapuh sehingga perlu dilindungi agar tidak dihancurkan pihak lain. Ia perlu dijaga dan kalau mungkin dipertahankan dengan segala daya dan cara agar tetap dimiliki sendiri. Untuk yang satu ini, Soeharto dan rezim Orde Barunya mungkin menjadi contoh yang nyaris sempurna, bagaimana kekuasaan dipertahankan dengan memanfaatkan segala perangkat termasuk militer dan partai politik.

Pada sisi lain, Pram hendak menghadirkan pergulatan hati Ken Dedes sebagai gambaran orang-orang yang tersisih dari kekuasaan yang telah dengan susah payah diperjuangkan lewat sebuah revolusi berdarah. Ia tersisih lantaran revolusi menghadirkan sebuah era baru yang masih penuh teka-teki. Era baru yang tidak akan memberi tempat pada segala yang berasal dari era lama, malah kalau perlu segala yang dari era lama mesti dibinasakan, termasuk segala mitos yang menyertainya.

Apakah revolusi memang selalu mengorbankan anak kandungnya sendiri? Kita masih ingat bagaimana Bung Karno terasing dari rakyat setelah Soeharto memulai sebuah era baru lewat peristiwa berdarah tahun 1965. Bung Karno yang tidak lain adalah penyambung lidah rakyat Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi dan Bapak Bangsa itu harus menyingkir agar muluslah jalan bagi hadirnya kekuatan baru yang digadang-gadang akan membawa negara ini mencapai kemakmuran lahir dan bathin.

Bung Karno tidak sendirian. Ia ditemani hampir setengah juta rakyat yang dibantai dan dihilangkan nyawanya sebagai tumbal sebuah era yang baru saja akan dimulai. Sejarah bisa saja berulang dalam bentuk yang lain. Bung Karno yang tersisih adalah Bung Karno yang dirindukan hampir sebagian besar rakyat Indonesia. Bung Karno telah menjelma menjadi mitos tentang kepemimpinan sejati yang saban hari tanpa malu-malu dijadikan rujukan para konstentan pemilihan kepala negara.

Maka, mengenang Juni sebagai bulan kelahiran Bung Karno adalah mengenang berjuta rakyat yang selama sekian tahun tersisih oleh gerak maju sejarah. Sebab sejarah ditakdirkan untuk ditulis oleh para pemenang. Tidak ada tempat bagi yang kalah dalam sejarah kepunyaan para pemenang. Seperti Kebo Ijo, mereka yang kalah adalah mereka yang salah memahami kemauan sejarah. Karenanya mereka dianggap layak dijadikan korban yang mesti dibungkam dan dihilangkan dari halaman-halaman sejarah. Apa yang tidak dikehendaki kekuasaan, itulah yang tidak dikehendaki sejarah, demikian logika para pemenang.

Namun, apakah Bung Karno pernah menyesali kekuasaan yang hilang dari tangannya seperti yang ditunjukkan Ken Dedes dalam interpretasi Pram? Jauh sebelumnya, pada tahun 1933, Bung Karno sudah menulis: “ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendirian saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia lalu meneteskan air mata”. Selamat merefleksikan Bung Karno di bulan lahirnya []

(rr)