sidomi.com

PERBINCANGAN Pancasila sudah selesai. Tidak perlu dibicarakan lagi, melainkan dilaksanakan dalam keseharian. Sebagai falsafah dan dasar negara, temuan Pancasila menjadi menarik dan tak terbantah. Dasar pemikiran menjadikannya sebagai nilai-nilai kebangsaan telah teruji dan dibahas bersama. Betul bahwa Soekarno yang mempresentasikan Pancasila di hadapan founding fathers. Terdapat pula asumsi pemahaman yang berbeda-beda bahkan menggariskan semacam dikotomi atas tafsir otentik Pancasila. Pancasila 1 Juni masih dianggap sebagai Pancasila-nya Kaum Nasionalis. Sementara Pancasila 22 Juni diasosiasikan dengan Pancasila-nya Golongan Islam dan Pancasila 18 Agustus dianggap identik dengan Pancasila milik Orde Baru. Perbedaan dan dikotomi ini seolah- olah menggambarkan pertentangan di antara versi-versi Pancasila di atas. Namun, ketika MPR Periode 2009–2014 melalui kesepakatan kolektif dari semua fraksi-fraksi dan Kelompok Anggota mengeluarkan buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, perbedaan dan dikotomi tersebut dianggap selesai.

Betul pula asal usul Pancasila pada awalnya berawal dari rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada sekitar bulan Mei-Juni 1945, dalam hal itu Bung Hatta menuturkan  pada buku “Bung Hatta Menjawab” ,“Dalam hal ini ada baiknya saya ungkapkan sedikit mengenai perumusan isi Pancasila yang diminta kepada kami Panitia 5. Yang penting bagi pendidikan ialah mengetahui proses terbentuknya Pancasila itu dulu, sampai menjadi perumusan yang sekarang. Dengan mengetahui itu akan terasa makna dan tujuannya. Perlu ditelaah secara mendalam apa maksud daripada Pancasila itu. Waktu membuat Undang-Undang Dasar kita tahun 1945, Dr. Radjiman, Ketua Badan Penyelidik usaha-usaha Kemerdekaan mengemukakan bahwa kalau kita akan mendirikan negara merdeka apa dasarnya. Banyak orang waktu itu menentang dengan alasan bahwa kalau kita bicara tentang dasar, itu telah menyangkut filosofi. Dan kalau kita bicara tentang filosofi, akan pasti lambat bekerjanya dan kita tidak akan sudah-sudahnya berdebat tentang filosofi.

Disaat itu saya mengatakan, bahwa kalau kita mendirikan negara merdeka jangan disamakan saja dasar-dasarnya dengan negara-negara di Eropa dan kita tak usah mengulangi lagi sejarah negara-negara di sana. Jangan lagi kita tiru-tiru sejarah negara-negara Barat yang mengalami pertentangan antara agama dan negara. Mulanya gereja menguasai segala-galanya termasuk negara, kemudian negara memprotes sampai akhirnya berbagi tugas, dunia diurus negara, akhirat diurus gereja. Bagi kita di sini tidak ada yang demikian itu. Kita harus mempunyai dasar sendiri sesuai dengan sifat dan pertumbuhan sejarah masyarakat dan pandangan hidup bangsa kita. Mendengar pendapat-pendapat itu, Bung Karno menjawab persoalan yang dikemukakan itu dengan pidato beliau yang merupakan permulaan lahirnya dasar-dasar perumusan Pancasila.”

Kini 69 tahun usia penetapan Pancasila sebagai dasar negara. Lima butir penting pemersatu sekian suku bangsa di gugusan pulau-pulau yang terpisah laut dan selat. Lima asas penting yang pada masanya pernah disalahmaknakan lantaran kepentingan pertahanan sebuah rezim kekuasaan yang begitu pandai mengolah Pancasila berdasar deskripsi sejumlah pakar keilmuan. Lalu Pancasila menjadi “trade mark “ hampir di seluruh jargon pemerintah. Ada demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, sistem hukum Pancasila, hingga Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). 

Seorang aktivis partai politik suatu saat bercerita bahwa ia kerap diundang ke kantor Sospol di kotanya lantaran ia selalu menjawab pertanyaan tanggal kelahiran Pancasila bukan 18 Agustus 1945, melainkan 1 Juni 1945. Tentu saja ia pun bertutur tentang kerasnya wajah sang penanya, pun bahasa tubuh ketika “pemeriksaan” berlangsung. Kawan yang lain lagi bercerita bahwa ia dilarang bertanya di manakah Pancasila manakala untuk sementara waktu dianggap sebagai salah seorang yang menyebarkan paham baru keagamaan atau dianggap ekstrimis oleh aparat berwajib. Pancasila tak pelak menjadi multitafsir dan digunakan sesuai kepentingan. Pihak yang menguasai seakan menjadi subjek yang menentukan.

Pancasila yang pasti hadir pada upacara bendera sebenarnya mengingatkan pentingnya bangsa Indonesia menanamkan Pancasila sebagai nilai dasar utama yang membentengi persatuan atas dasar ketuhanan yang Mahaesa. Pembacaan Pancasila yang diikuti seluruh peserta upacara bendera merupakan perlambang pentingnya melaksanakan Pancasila, hingga tak ada lagi inkonsistensi tugas dan profesi. Dalam relasi ini Pancasila menempati kedudukan istimewa dan terekomendasi untuk dilaksanakan.

Dulu di rumah-rumah tua, lambang Garuda Pancasila bertengger gagah di dindingnya. Tak sedikit yang membuat sendiri dengan media tripleks dan cat kayu. Ada kebanggaan saat menempelkan lambang negara itu di dinding rumahnya. Logo Indonesia sepertinya hendak dikenalkan kepada anak-anaknya. Dahulu pula banyak atap rumah warga bertuliskan Gerakan Hidup Ber-Pancasila (GHBP). Genteng rumah dicat putih dengan empat huruf besar itu, GHBP, dan mudah terlihat dari kendaraan bermotor yang melintas di depannya. Pancasila yang disematkan pada ruang privat dan ruang publik akhirnya cukup berhasil mengambil hati masyarakat Indonesia.

Sekadar mengingatkan, blogger yang menamakan dirinya skylovers, menulis demikian: Lalu dalam buku yang berjudul “Untuk Bangsaku: Sebuah Otobiografi”, Bung Hatta menulis, “Hanya Sukarno yang menjawab pertanyaan Ketua Radjiman Widyodiningrat. Pada hari keempat pada tanggal 1 Juni 1945, ia berpidato panjang lebar yang lamanya kira—kira 1 jam yang berpokok pada Panca Sila, lima dasar. Pidato itu disambut hampir sernua anggota dengan tepuk—tangan yang riuh. Tepuk-tangan yang riuh itu dianggap sebagai suatu persetujuan. Sebelum selesai sidang hari itu, Ketua Radjiman Widyodiningrat mengangkat suatu panitia kecil yang di dalamnya duduk semua aliran, Islam, Kristen, dan mereka yang dianggap ahli konstitusi, untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Sukarno itu. Panitia kecil itu menunjuk sembilan orang di antara mereka untuk merumuskan kembali pidato Sukarno yang kemudian diberi nama Pancasila.

Dengan demikian bukan saatnya lagi membicarkan Pancasila. Akan tetapi menerimanya dengan teguh serta melaksanakan ajarannya sesuai dengan tugas dan profesi kita sehari-hari. Tak heran apabila kerap muncul bahasa dan yel-yel, Pancasila Harga Mati atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam berbagai kesempatan dan aktivitas warga. Kecintaan kepada Pancasila bukan tanpa dasar, demikian pula keinginan mempertahankannya merupakan karya bagus yang patut diapresiasi. Berpegang pada kenyataan itulah Pancasila harus tumbuh subur, terutama di kalangan generasi penerus yang harus tahu seluk beluk kelahiran Pancasila. Tak ada niat menjadikan sekulerisme Indonesia. Bapak bangsa yang mulia dan terhormat itu merumuskan Pancasila setelah berkelana ke hampir seluruh penjuru Nusantara dan mempresentasikannya di hadapan sidang paripurna BPUPKI.

Menyitir Pidato Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri dalam acara Peringatan Pidato Lahirnya Pancasila tahun 2011 dikatakan, “Penerimaan atas pidato 1 Juni 1945 oleh keseluruhan anggota BPUPKI sangat mudah dimengerti. Hal ini bukan saja karena intisari dari substansi yang dirumuskan Bung Karno memiliki akar yang kuat dalam sejarah panjang Indonesia, tapi nilai-nilai yang melekat di dalamnya melewati sekat-sekat subyektivitas dari sebuah peradaban dan waktu. Oleh karenanya, Pancasila dengan spirit kelahirannya pada 1 Juni 1945 bukan hanya sekadar konsep ideologis, tetapi sekaligus menjadi konsep etis”. Oleh karenanya, menjadi suatu hal yang positif ketika MPR-RI memperingati Hari Lahirnya Pancasila sebagai pesan ideologis bahwa kita anak bangsa, bukan hanya jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, tetapi turut meluruskan sejarah Pancasila (kompas.com).

Pasal 27 huruf (a) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila”. Faktanya, banyak kepala daerah yang menafsir Pancasila sebagai tirani mayoritas terhadap minoritas. Contohnya, kasus-kasus pelanggaran hak-hak beribadah kaum minoritas. Begitu juga halnya dengan lembaga negara. Semisal Pasal 77 UU No 39 tentang HAM yang berbunyi “Komnas HAM berasaskan Pancasila”. Faktanya, para Komisioner Komnas HAM mungkin menafsir sila Keadilan Sosial sebagai rebutan jabatan dan fasilitas. Memaknai kembali Pancasila dalam keseharian akhirnya memperlihatkan  proses lahirnya Pancasila hingga ditetapkan menjadi dasar negara, merupakan rangkaian sejarah dan dinamika bangsa Indonesia.

70 tahun sudah usia Pancasila. Pada usia renta itu seharusnya Pancasila tidak sebatas retorika pada sajian diskusi panas yang digelar di beberapa tempat. Dengan kata lain harus terealisasi dalam keindonesiaan yang majemuk ini. ***

 

(rr/DK)