www.rancahpost.co.id

Akhir Oktober 2014, seorang perempuan bernama Susi Pudjiastuti tiba-tiba menjadi pusat perhatian dan topik perbincangan rakyat Indonesia. Susi yang “hanya” bermodal ijazah SMP ini diangkat Presiden Joko Widodo menjadi salah satu menteri dalam kabinet kerja, bersama tiga puluh tiga sosok lain yang memegang ijazah S1, S2, S3 bahkan ada yang bergelar profesor. Sebagian publik yang mempersoalkan Susi boleh jadi beranggapan bahwa ada hubungan antara ijazah yang digenggam seseorang dengan kemampuan mengemban tugas tertentu. Sebab, ijazah yang dimiliki memang berhubungan dengan tingkat pendidikan orang yang bersangkutan. Wajar bila ada yang khawatir bahwa Susi akan kesulitan mengemban tugas sebagai pimpinan tertinggi di sebuah departemen pemerintah ketika sebagian besar bawahannya justru memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.

Susi kemudian menjawab semua penilaian dan kekhawatiran itu dengan melakukan gebrakan-gebrakan yang membuatnya menuai apresiasi publik. Toh, sebelum duduk di kursi menteri, Susi sudah lebih dahulu membuktikan diri sebagai pengusaha yang memiliki sebuah perusahaan eksportir hasil-hasil perikanan, serta sebuah perusahaan penerbangan bernama  PT ASI Pudjiastuti Aviation. Susi mencapai semuanya dengan “hanya” menggenggam dua ijazah, SD dan SMP.

Bukan Jaminan

Bercermin dari sosok Susi kita bisa kembali bertanya, apalah arti sebuah ijazah? Sehelai kertas yang mengharuskan orang menghabiskan waktu bertahun-tahun demi meraihnya. Bayangkan, untuk memperoleh ijazah Sekolah Dasar saja anak-anak kita mesti merelakan waktu bermain mereka dipotong selama enam tahun ditambah setumpuk pekerjaan yang diberikan di sekolah untuk dikerjakan di rumah. Sementara pada saat yang sama, pekerjaan dari rumah tidak bisa dibawa untuk dikerjakan di sekolah, mencuci pakaian misalnya. Begitu seterusnya, hingga tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Kalau dibilang segala pengorbanan sejak masa kanak-kanak hingga masa dewasa ini dilakukan hanya demi meraih ijazah, tentu akan menuai komplain dari sekian banyak pakar dan praktisi pendidikan yang ada di seantero negeri ini. Argumentasi yang mungkin diberikan ialah bahwa tujuan pendidikan bukan untuk mengoleksi sebanyak mungkin ijazah, tetapi untuk memperoleh sebanyak mungkin ilmu pengetahuan yang dapat berguna bagi masa depan pribadi atau kemaslahatan masyarakat. Untuk argumentasi jenis ini, Susi Pudjiatuti mungkin akan disebut sebagai contoh yang bisa memberi inspirasi.

Secara sederhana, ijazah adalah sehelai kertas yang menjadi bukti bahwa seseorang telah menyelesaikan level pendidikan tertentu, atau bukti tertulis yang menunjukkan pencapaian seseorang dalam menekuni bidang keahlian tertentu, sehingga yang bersangkutan boleh menggunakan gelar akademis sesuai bidang keahlian yang dikuasainya tersebut. Jadi, tidak ada yang salah dengan ijazah ketika ia diperoleh lewat serangkaian proses yang telah ditentukan oleh pihak berwenang dan dijalankan di dalam institusi-institusi pendidikan yang diakui pemerintah.

Nah, cara meraih ijazah inilah yang kemudian menjadi masalah setelah terkuak adanya praktik jual beli yang melibatkan oknum yang membutuhkan ijazah dan institusi yang memberi ijazah. Ijazah tidak lagi diperoleh melalui rangkaian proses yang ditetapkan, tetapi lewat jalur pintas dengan mengandalkan uang. Artinya, tujuan yang hendak dikejar ialah ijazah dan nilai yang (mungkin) telah digenjot habis-habisan, tentu dengan bantuan uang juga.

Kenyataan ini membalikkan seluruh idealisme yang terkandung dalam pendidikan sebagai sebuah proses pembentukan manusia yang berkelanjutan dan tidak pernah selesai. Keseluruhan proses ini telah secara keliru direduksi hanya pada sehelai kertas bernama ijazah yang dianggap sebagai jaminan bagi kesukesan memperoleh pekerjaan atau meraih jabatan tertentu. Padahal, ijazah tidak selalu menjadi patokan yang menggambarkan kualitas seseorang.

Ijazah Sejati, Ijazah Palsu

Pertanyaannya ialah, mengapa orang jadi begitu tergila-gila untuk memperoleh ijazah. Apakah semata-mata karena keinginan untuk mendapatkan tambahan modal kultural ataukah ada yang salah dengan sistem pendidikan kita yang menyebabkan orang menempuh jalan pintas? Sebab fenomena ini terkait dengan sistem pendidikan yang diterapkan di institusi-institusi pendidikan kita secara keseluruhan. Ia bukan fenomena yang berdiri sendiri.

Jangan-jangan ketika pertama kali menginjakkan kaki di bangku sekolah, peserta didik sudah diarahkan untuk menjadikan ijazah sebagai target yang mesti dicapai? Artinya, penyimpangan idealisme pendidikan itu terjadi di dalam intitusi pendidikan sendiri. Kasus ketidakjujuran dalam Ujian Nasional (UN) misalnya, dapat dilihat sebagai indikasi bagaimana institusi pendidikan sendiri lebih berorientasi pada hasil daripada proses.

Kecenderungan menjadikan ijazah sebagai tujuan dan alat ukur kualitas peserta didik akhirnya menghilangkan nilai yang sejatinya terkandung dalam iajazah itu sendiri. Sejatinya, ijazah, meski hanya sehelai kertas, mengandung di dalamnya gambaran tentang sebuah proses panjang yang telah dilalui seseorang sebelum berhasil meraihnya. Ijazah bukan sekedar bukti, tetapi simbol perjuangan tidak kenal lelah yang ditempuh dari waktu ke waktu, bahkan bertahun-tahun lamanya. Di sana juga terkandung kualitas yang dimiliki seseorang yang dibentuk pada masa-masa pendidikan yang ia tempuh. Bila demikian, maka ijazah adalah surat berharga yang tidak bisa diberikan begitu saja, bahkan tidak bisa diperjualbelikan secara gampang.

Nilai-nilai yang terkandung dalam ijazah ini akhirnya mengalami pendangkalan ketika ijazah dianggap hanya sebatas prasyarat untuk memenuhi formalitas tuntutan memperoleh pekerjaan atau meraih jabatan. Pada tahap ini ijazah berubah menjadi komoditi yang bisa ditukarkan dengan nilai jual tertentu. Namun, perlu pula diingat bahwa institusi-institusi pendidikan yang terlalu berorientasi pada hasil juga mempunyai andil dalam mendangkalkan nilai sejati sebuah ijazah.

Lebih jauh, pemerintah dan semua yang peduli pendidikan tidak hanya berperang melawan praktik jual beli ijazah, atau  penerbitan ijazah palsu, tetapi perlu melangkah lebih jauh untuk mengembalikan ijazah pada posisinya. Bukan bermaksud mendewa-dewakan ijazah, tetapi memposisikan ijazah sesuai nilai yang sejatinya terkandung di dalam ijazah itu, termasuk nilai kejujuran dan tanggung jawab akademis.

Nilai penting lain yang juga terkandung dalam sebuah ijazah ialah gambaran pengalaman yang dilalui selama masa pendidikan, atau selama bergelut melakukan riset dan penelitian di lapangan. Nilai semacam inilah yang tidak dikandung oleh sebuah ijazah palsu. Sebab pengalaman adalah sesuatu yang mungkin tidak bisa dibeli dengan apapun. Itu sebabnya selain ijazah, pengalaman kemudian dijadikan sebagai salah satu syarat yang dituntut dari para pelamar kerja. Pengalaman juga menjadi penentu kesuksesan seseorang dalam mengemban tanggung jawab tertentu.

Kandungan nilai-nilai dari sebuah ijazah (asli) ini yang tidak mungkin dimiliki oleh seseorang yang memegang ijazah palsu. Toh, pada akhirnya bukan lagi ijazah tetapi kandungan nilai-nilai ini yang akan ditunjukkan dalam mengemban tugas atau menjalankan profesi tertentu. Itu sebabnya mereka yang sudah menghidupi nilai-nilai itu tanpa ijazah tidak lagi peduli untuk membeli ijazah atau menempuh jalan pintas untuk meraihnya. Untuk yang satu ini, Susi Pudjiastuti dan Bob Sadino mungkin baik untuk dijadikan teladan. Nah...***

(rr/AF)