penulispro.net

Menurut sudut pandang bahasa, aurat itu berasal dari kata ‘aaro-ya’uuru-‘auron wa ‘aurotan. Artinya, mencela atau tercela. Sedangkan di beberapa literatur kitab kuning, aurat sering diartikan sebagai ma harroma nadruha, apa-apa yang diharamkan, yang tidak boleh atau tidak layak untuk dilihat. Maksudnya, ada bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia yang tidak pantas untuk diperlihatkan ke orang lain dan hanya boleh untuk ditunjukkan ke orang-orang terdekat yang punya ikatan darah. 

Karena tidak pantas untuk dipertontonkan, maka bagian-bagian tubuh yang masuk kategori aurat harus ditutupi atau disembunyikan. Bila tidak, maka yang bersangkutan akan tercela. Nama alat atau benda untuk menutupi aurat (khusus perempuan) biasanya dikenal dengan istilah hijab, kerudung atau jilbab. Sedangkan bentuknya bisa berupa kain, kertas, daun, kulit pohon, plastik dan yang lainnya.

Pada tataran praktis di level syariat, wilayah aurat termasuk dalam ruang lingkup perdebatan yang sarat dengan penafsiran. Aurat perempuan misalnya. Ada ulama A yang mengatakan aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuh selain telapak tangan dan wajah. Tapi, ada pula ulama B yang meyakini kalau hanya telapak tangan saja yang boleh diperlihatkan. Bahkan ada ulama C yang berbeda pendapatnya dengan kedua ulama tersebut. 

Karena wilayah aurat berada di ruang penafsiran, maka wajar bila dalam kenyataan sehari-hari banyak dijumpai beragam bentuk cara menutupi aurat. Ada perempuan yang meyakini hanya bagian telapak tangannya saja yang boleh diperlihatkan ke publik sehingga perempuan ini akan memakai pakaian yang menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya. 

Ada perempuan yang percaya kalau auratnya, selain wajah dan telapak tangan sehingga dalam berpakaian yang ditampakkan hanyalah dua bagian itu saja. Tapi, ada juga perempuan-perempuan modern yang kalau berpakaian malah memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya yang paling tersembunyi. Ini barangkali disebabkan karena wilayah aurat perempuan menurutnya hanyalah bagian dada dan selangkangan paha bagian atas. Selain itu boleh diperlihatkan kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja.

Aurat Sosial?

Aurat dalam arti fisik biologis berada di wilayah kajian fiqh. Namun bila aurat ditelisik pada dimensi hakikat, maka ia berada di wilayah akhlak. Artinya, bila seseorang sudah menutupi bagian-bagian tubuhnya yang masuk kategori aurat berdasarkan keyakinannya, maka menurut syariat ia sudah berhijab. Akan tetapi, karena manusia hidup pada suatu pola hubungan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka sekadar menutupi aurat fisik biologisnya saja tidaklah cukup. Manusia perlu juga untuk menutupi aurat-aurat lain di berbagai dimensi hidupnya. Satu diantaranya adalah aurat sosial.

Aurat sosial berada di wilayah akhlak. Ia bagian terpenting dari moralitas seseorang yang akhir-akhir ini sudah tidak diperhitungkan lagi dalam ruang interaksi sosial. Padahal, harus disadari bahwa tidak semua hal dalam diri seseorang pantas untuk dipublikasikan. Ada hal-hal tertentu yang menurut perhitungan etika, kondisi psikologis dan kesopanan pergaulan lebih baik untuk disembunyikan ketimbang ditampakkan. Kekayaan, kepandaian, tingkat pendidikan, penghargaan, jabatan, prestasi dan jenis-jenis unsur eksistensi diri yang lain, adakalanya pada waktu plus situasi tertentu justru lebih baik disimpan di hati saja dari pada disebarluaskan.

Tidak etis rasanya jika ada seseorang yang dengan bangganya memamerkan jumlah kendaraan mewahnya berapa di saat ada orang lain yang rumah gedeg saja ia tak punya. Tidak pantas rasanya bila seseorang menceritakan penghasilannya yang ratusan juta per bulan dikala ada orang lain yang untuk bisa makan teratur dua kali sehari saja kesulitan. Tidak nyaman rasanya hati ini kalau ada orang yang dengan gagah berani mengatakan harga sepatunya puluhan juta ketika ada tetangga sebelah rumahnya yang hanya mampu membeli baju bekas setiap lebaran.

Namun yang sering kita saksikan di televisi khususnya pada tayangan-tayangan model talk show justru sebaliknya. Banyak orang malah memilih memamerkan aurat sosial yang semestinya disembunyikan. Aurat sosial sebaiknya memang tidak untuk dipertontonkan. Sebabnya sederhana. Di negeri ini, sudah terlalu banyak rakyat kecil di pedesaan dan pinggiran kota yang bisa bertahan hidup saja sudah untung. Jangan lagi mereka masih disiksa secara psikologis oleh acara-acara televisi macam itu.

Kekayaan dan “saudara-saudaranya” pada hakikatnya ia adalah aurat sosial yang bagi manusia modern malah dibangga-banggakan, dipamerkan, dipertontonkan, dipublikasikan dan dimaknai sebagai unsur pembentuk eksistensi kemanusiaannya. Sebagai susunan “batu bata” bangunan siapa dirinya maka wajar bila banyak manusia modern yang kemudian khusuk berlomba-lomba menunjukkan siapa dirinya dengan cara memamerkan apa saja yang sudah dimiliki.

Padahal, kata orang sufi, manusia itu ada karena diadakan bukan karena mengada. Manusia ada bukan karena ia lahir sendiri tapi karena diciptakan. Tak ada manusia yang lahir ke dunia karena keinginannya sendiri tapi karena diinginkan oleh Tuhan. Maka, manusia itu sebenarnya berasal dari Tuhan dan sudah pasti akan kembali pada Tuhan. Dalam Al-Qur’an konsep ini dikenal dengan istilah innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. 

Perjalanan menuju dan menyatu dengan Tuhan itu bernama tauhid. Satu-satunya tariqat untuk bisa menyatu denganNya hanya dengan cara meremehkan dan menomorduakan selain Tuhan, termasuk unsur-unsur pembentuk eksistensi diri. Fokus perhatian yang berlebihan pada selain Tuhan apalagi sampai menganggap lebih penting dari Tuhan, inilah yang namanya “pelanggaran teologis”. Dalam Islam, banyak ulama menyebut pelanggaran ini dengan istilah syirik. Dan syirik adalah penghalang utama menuju Tuhan. Ternyata, benih-benih kesyirikan bisa bermula dari hal-hal yang sangat sederhana. Hanya berasal dari desiran keinginan untuk menampakkan sesuatu yang oleh moralitas sosial seharusnya disembunyikan. []

 

(rr/AF)