news.okezone.com

Membangun sebuah negara berarti membangun utopia realistis, demikian dimaklumkan Sir Thomas More beberapa abad silam. Jadilah Indonesia sebuah utopia, ketika masyarakat adil makmur yang dicita-citakan para pendiri negara ini ternyata belum atau bahkan tidak akan pernah mampu diwujudkan. Namun, siapa yang peduli pada cita-cita luhur para pendiri negara ketika logika pasar lebih dominan mengendalikan arah pembangunan kita? Bukankah kita memang perlu menetapkan sebuah cita-cita meski kita tahu tidak mungkin dapat mencapainya? Sebagaimana Jokowi menyerukan sebuah tatanan dunia yang lebih adil tanpa IMF dan Bank Dunia meski Indonesia ternyata baru saja meminjam uang lagi dari IMF. Sekalipun hidup dalam sebuah utopia tetapi kita memang perlu realistis tentang situasi dimana kita sedang berada.

Kalau mau realistis, ekspektasi tinggi yang dimiliki sebagian besar rakyat Indonesia ketika mengantar Joko Widodo menduduki kursi presiden Republik Indonesia kini seakan berubah menjadi utopia. Namun sekali lagi kita perlu realistis mengakui bahwa presiden kita mungkin berada pada posisi lemah, dan tidak sekuat bayangan kita tentang Soekarno atau Soeharto. Bukan hanya rakyat, beberapa kader internal PDIP, partai pengusung utama Jokowi pun konon mulai menunjukkan sikap kehilangan harapan terhadap Jokowi. Rieke Dyah Pitaloka, anggota DPR yang juga kader PDIP terakhir menyatakan penyesalannya telah mengajak rakyat untuk memilih Jokowi dalam pilpres kemarin.

Selain persoalan internal PDIP, kisruh dua institusi penegak hukum; KPK dan Polri, cukup menguras tingkat kepercayaan rakyat terhadap Jokowi. Tidak sampai di situ, polemik soal penerapan hukuman mati dan manuver yang dilakukan Polri dalam kasus penangkapan Novel Baswedan pada dini hari Jumat (1/5) seakan makin menunjukkan lemahnya posisi Jokowi sebagai presiden. Meski Polri menyatakan bahwa kasus Novel bukanlah konflik institusi melainkan kasus perorangan, logika publik terlanjur menghubungkan kejadian ini dengan kisruh KPK-Polri yang terjadi belum lama berselang. Apalagi presiden Jokowi sempat menyerukan agar Wakapolri tidak membuat hal-hal yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Semua fenomena ini membuat publik bertanya-tanya, apakah memang Jokowi adalah the real president bagi lebih dari dua ratus juta rakyat Indonesia? Atau jangan sampai sindiran kubu Prabowo-Hatta mengenai pemimpin boneka pada masa kampanye lalu kini mulai terpenuhi dalam kenyataan? Jika Jokowi adalah the real president, mengapa pada kongres PDIP di Bali ia hadir tanpa memberi sambutan layaknya seorang presiden pada kongres partai politik manapun? Lalu, mengapa perintahnya terkait kasus Novel Baswedan dijawab dengan alasan tidak tahu adanya perintah oleh Polri? Bisa jadi ada sosok lain yang bertindak seolah-olah the real president di balik sosok Joko Widodo.

Di luar semua itu, belum genap setahun usia pemerintahan Jokowi-JK, rakyat dibuat sedikit bingung dengan pola naik turun harga BBM yang berimbas pada perubahan harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Harapan rakyat pada janji kampanye Jokowi dan kabinet kerja yang ingin kembali ke semangat kerakyatan ala Soekarno kelihatan belum sepenuhnya diwujudkan, kalau tidak mau dibilang jauh panggang dari api. Semangat Soekarno yang hendak ditunjukkan Jokowi dalam pidatonya di Konferensi Asia Afrika pun menuai aneka kritik bahkan cibiran karena sebelumnya Indonesia ternyata baru saja meminjam lagi uang pada IMF.

Apa yang terjadi di kalangan elit politik seakan menjadi sebuah dagelan yang tidak lucu tetapi justru membuat rakyat muak. Tidak heran bahwa di kalangan rakyat pun muncul aneka tindakan negatif yang makin marak, mulai dari begal motor, prostitusi online, peredaran narkoba, hingga pesta bikini anak-anak usia SMA.

Mengembalikan Jokowi atau Kartu Indonesia Sabar?

Jika merujuk konsep Rousseau tentang negara yang baik sebagai negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat, maka pertanyaannya ialah apakah sebagai rakyat kita memang masih berdaulat dalam arti yang sesungguhnya? Sebab dalam negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, hukum pun tidak kurang harus mencerminkan kehendak rakyat. Dalam kenyataan, banyak produk hukum kita ternyata masih melanjutkan apa yang dulu dihasilkan Belanda ketika menjadi penjajah negeri ini. Kalau kedaulatan rakyat dalam arti yang sebenarnya juga sebuah utopia, biarlah kita dengan realistis mengakui bahwa rakyat memang sudah lama kehilangan kedaulatannya dalam banyak aspek.

Menjadi rakyat di Indonesia memang bukan perkara mudah. Butuh lebih dari sekadar kesabaran untuk menghadapi penguasa yang terkadang menjadi pemberi harapan palsu. Ketika harapan akan perubahan terasa begitu jauh untuk bisa diwujudkan rakyat hendaknya bersabar, karena mengubah kondisi sebuah negara yang sudah dalam level kronis memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, sampai kapan rakyat mesti terus bersabar? Sebab saat ini, selain kesehatan dan pendidikan, kesabaran adalah sesuatu yang makin mahal di Indonesia. Lihat saja, belum setahun Jokowi –JK memimpin negeri ini sudah ada desakan beberapa kalangan agar beliau berdua mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan. Jelas, pemerintah butuh jalan keluar untuk mengatasi tingkat kesabaran masyarakat Indonesia yang kian menipis ini.

Namun perlu diingat bahwa untuk hidup, orang butuh kepastian, dan salah satu tugas pemerintah ialah memberi jaminan kepastian kepada rakyat. Rakyat sudah cukup bersabar untuk terus hidup dalam ketidakpastian yang diberikan pemerintah dari waktu ke waktu. Wajar bila pada titik tertentu, rakyat merasa jenuh menyaksikan tingkah pola para petinggi yang memainkan drama penuh intrik kepentingan dan hasrat kekuasaan.

Kalau kita kembali ke persoalan negara sebagai sebuah utopia realistis, maka yang bisa diperbaiki adalah hal-hal yang nyata, atau yang secara real dihadapi negara ini. Kita tidak hanya mencukupkan diri untuk sampai pada sikap realistis menerima keadaan, tetapi bagaimana kesadaran itu diubah menjadi semangat perubahan. Jokowi harus kembali didudukkan pada posisi sebenarnya sebagai the real president yang memegang amanat kedauatan rakyat. Sebab beliau duduk di kursi presiden atas restu sebagian besar rakyat Indonesia, bukan satu dua partai politik atau satu dua sosok tertentu saja. Maka, beliau tidak bisa direduksi hanya sebatas “petugas partai” atau perpanjangan tangan segelintir orang yang mempunyai kepentingan terselubung. Agak sulit bagi Jokowi bila pihak-pihak yang merasa berjasa ini terus bermanuver sebagai the invisible hand sementara Jokowi dibiarkan berada di depan dan menjadi sasaran berbagai kritik dan ketidakpuasan rakyat.

Hanya dengan mengembalikan Jokowi pada posisi sebagai the real president, ia bisa keluar dari jerat kepentingan dan dilema kekuasaan yang kini dialaminya. Ini cukup realistis untuk disadari dan dilakukan oleh Jokowi dengan dukungan rakyat. Kalau tidak, maka Jokowi hanya akan menjadi sebuah utopia yang tidak pernah benar-benar realistis bagi rakyat Indonesia. Kalau kesabaran rakyat terus-menerus digerus maka sebaiknya pemerintah mencari solusi untuk mengatasinya. Atau mungkin pemerintah akan menyediakan sebuah kartu sakti: Kartu Indonesia Sabar?***

 

(rr/AF)