banglanews24.com

Sepuluh tahun setelah Aceh diluluhlantakkan oleh tsunami yang dahsyat, Nepal dihantam gempa yang tidak kalah dahsyatnya. Tercatat hingga hari kedelapan pasca gempa 6.621 orang tewas akibat gempa yang berkekuatan 7,9 Skala Richter dengan kedalaman 15 Kilometer tersebut. Alam selalu menghadirkan kejutan yang kadang tidak selalu sesuai dengan harapan manusia. Ketika kemajuan teknologi dan pencapaian intelektual manusia dianggap telah mampu memprediksi bahkan mengendalikan gejala-gejala alam, justru pada saat yang sama, alam berbicara dalam bahasa yang lain, menyisakan duka dan trauma yang terus membekas bagi manusia.

Banyak negara terlibat dalam memberi bantuan kepada para korban. Indonesia pun tidak mau ketinggalan mengulurkan tangan untuk setidaknya membantu meringankan beban derita yang dialami warga Nepal. Bukankah kita pun pernah mengalami uluran tangan yang sama ketika bergelut keluar dari penderitaan pasca tsunami Aceh dan aneka bencana lain yang mendera negeri ini?

Setiap bencana selalu menghadirkan sisi tragis yang membuat kita kembali bertanya tentang penderitaan yang tertinggal dari wajah para korban. Kita mungkin bertanya, mengapa harus terjadi sesuatu yang mengerikan dan menimpa mereka yang bahkan tidak siap untuk menerimanya? Apakah setiap bencana selalu mengandung sisi misteri yang membuat manusia bungkam, jatuh dalam kebisuan, sebab setiap kata seakan kehilangan makna di hadapan horor yang menakutkan itu. Bila demikian, apakah ada makna yang dapat ditarik dari balik penderitaan yang menimpa manusia?

Wajah Korban dalam Tirani Fotografi
Mengalami penderitaan secara langsung tentu berbeda dengan menyaksikan penderitaan itu dari jauh. Itulah yang terjadi dalam dunia modern dewasa ini. Kemajuan teknologi memungkinkan kita mengetahui dan menyaksikan momen derita yang dialami manusia di tempat lain nun jauh di sana. Lewat media massa kita dapat menyaksikan dengan cepat potret para korban bencana yang dihadirkan tepat di depan mata kita oleh pencapaian manusia yang bernama fotografi.

Potret yang dihasilkan lewat fotografi seakan merepresentasikan penderitaan ke hadapan mata kita. Namun, terlampau banyak potret yang dihadirkan membuat penderitaan dan korban yang ditampilkan tidak lagi memiliki keunikan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Memotret para korban tidak lain ialah menjadikan mereka objek bagi sebuah karya fotografi. Ada objektivikasi yang terjadi dalam sebuah karya fotografi, yang dilanjutkan dengan kegiatan seleksi untuk menentukan apa yang layak dan tidak layak ditampilkan di hadapan pemirsa. Kamera menjadi alat yang mewakili kuasa tatapan mata serentak wewenang untuk menentukan mana yang mesti dan tidak mesti ditampilkan. Ada ambivalensi yang terjadi lewat kamera yang membidik, antara menolong dengan meneruskan penglihatan atau mengintip penderitaan orang lain (Budi Hardiman, 2010).

Korban kembali menjadi objek bukan saja untuk sebuah karya fotografi itu sendiri, melainkan untuk tatapan mata khalayak di berbagai belahan dunia. Penderitaan para korban mesti direpresentasikan sebagai sesuatu yang indah dalam pandangan khalayak. Wajah para korban ditampilkan untuk memenuhi “nafsu mata” khalayak, yakni keingintahuan khalayak akan apa yang terjadi lewat aksi melihat potret para korban. Korban dan penderitaan ditampilkan semata-mata sebagai informasi, dan lebih jauh sebagai sesuatu yang bisa dinikmati oleh pandangan mata orang lain.

Kenyataan ini sudah sejak lama diantisipasi oleh Walter Benjamin, ketika ia menulis tentang pudarnya aura akibat reproduksi massal karya seni. Penderitaan dan korban dalam berbagai peristiwa entah di Nepal maupun di Palestina memang kehilangan auranya bukan saja di hadapan fotografi tetapi dalam jebakan media massa. Tidak heran bahwa setelah sebuah peristiwa kelam, muncul begitu banyak meme yang tanpa malu-malu mereproduksi gambar-gambar yang sebelumnya ditampilkan oleh media massa. Artinya, momen penderitaan yang sempat diabadikan kamera fotografi tidak lagi ditempatkan sebagai pengalaman eksistensial manusia berhadapan dengan keterbatasannya, melainkan diubah menjadi komoditi yang bisa dikomodifikasi dan direproduksi untuk memenuhi hasrat kenikmatan pandangan mata. Momen-momen derita para korban ditaruh pada situasi yang lain sama sekali sehingga menimbulkan potensi pemaknaan baru yang tidak lagi terkait dengan kekhasan peristiwa itu sebagai sesuatu yang unik dan tidak terulang. 

Mata yang Mendengarkan
Pertanyaannya kini, apakah ada solidaritas dan rasa turut menderita yang dihasilkan dari sebuah potret korban yang hadir di hadapan mata kita? Ketika berhadapan dengan wajah yang menderita, mata mesti berhenti menikmati apalagi menginspeksi penderitaan yang tampil, dan belajar untuk mendengarkan suara yang terkandung dalam kebungkaman wajah yang menderita. Artinya, wajah korban dibiarkan untuk membahasakan penderitaannya. Kita tidak hanya menatap potret korban sebagai sebuah informasi semata-mata, tetapi kita melatih mata untuk mendengarkan apa yang terjadi di balik wajah korban bencana dahsyat di Nepal atau anak-anak Palestina, yang tampil di hadapan mata kita dalam kebungkaman.

Mata yang mendengarkan ialah mata yang menatap bukan untuk menikmati tetapi untuk melihat melampaui apa yang ada di balik wajah korban. Dengannya kita bisa membangun solidaritas atas para korban tanpa maksud menjadikannya objek bagi kenikmatan mata kita. Potret korban dipandang sebagai representasi subjek yang hendak menyuarakan penderitaannya dan kita hadir untuk mendengarkannya, lalu menjawab suara itu dengan solidaritas “ada bersama” atau “turut merasakan” apa yang tengah dialami sang korban.

Solidaritas hanya mungkin dibangun dalam semangat turut merasakan apa yang dirasakan orang lain, terutama para korban. Solidaritas inilah yang menggerakkan sekian banyak orang untuk peduli dan mengulurkan tangan kepada para korban bencana dimanapun bencana itu terjadi. Semua mungkin berutang informasi kepada media massa, tetapi apa yang disajikan media massa lewat potret para korban selayaknya ditatap dengan mata yang ingin menegaskan kehadiran kita di antara para korban, bukan mata yang melahap apalagi mengobjektivikasi para korban.

Penderitaan para korban gempa bumi di Nepal adalah juga penderitaan yang bisa menimpa kita kapan saja. Bukankah kita pun berada dalam kawasan yang cukup akrab dengan bencana alam? Artinya kita pun harus siap untuk sewaktu-waktu menjadi korban, sebagaimana pernah dialami sesama kita di Aceh, Yogyakarta, atau Sinabung.

Bencana alam adalah juga momen di mana manusia berhadapan dengan situasi batas. Dalam situasi batas seperti ini kehadiran dan uluran tangan yang lain akan terasa sangat meneguhkan, bahkan memberi daya yang bisa melahirkan harapan-harapan baru. Mungkin itu sebabnya banyak bangsa berbondong-bondong datang ke Nepal, mengulurkan tangan mencari para korban, dengan harapan akan lebih banyak yang ditemukan di balik puing-puing reruntuhan. Bila hidup tidak bisa diselamatkan, setidaknya jasad masih dapat dikebumikan secara lebih layak dan manusiawi.***

(rr/AF)