kringnews.com

Belum usai perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), masyarakat kembali diberi kejutan dengan pelantikan “diam-diam” Komjen Budi Gunawan sebagai Wakapolri. Efek kejutnya bukan saja pada pelantikan yang dibuat secara internal, tetapi juga pada kabar yang berhembus bahwa Presiden Joko Widodo tidak tahu soal pelantikan itu. Kapolri sendiri mengakui kalau telah melakukan konsultasi dengan presiden sebelum Wanjakti menggelar sidang pemilihan Wakapolri. Presiden tidak mengajukan nama tertentu untuk posisi Wakapolri, dan mengembalikan seluruh mekanismenya kepada Wanjakti (Kompas.com, 24/4).  

Keputusan Wanjakti inilah yang tidak dikonsultasikan lagi dengan presiden, tetapi langsung dieksekusi menjadi upacara pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala Polri. Wajar kalau akhirnya presiden tidak mengetahui ihwal pelantikan itu, sebab beliau sedang sibuk dengan agenda Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Hal yang menarik dari pelantikan Komjen Budi adalah sikap Kapolri atas arahan presiden yang mengembalikan semua urusan ke mekanisme Wanjakti dalam institusi kepolisian. Bisa jadi Kapolri menerjemahkan petunjuk presiden ini sebagai lampu hijau untuk bisa bergerak maju dengan leluasa. Sebab presiden toh tidak membatasi secara tegas siapa yang boleh atau tidak boleh diseleksi menduduki jabatan Wakapolri. Ruang gerak ini memungkinkan Wanjakti untuk meloloskan Komjen Budi Gunawan meski sosok ini masih belum benar-benar bersih dari kontroversi. Ruang ini pula yang kemudian dimanfaatkan secara maksimal oleh Kapolri dan Wanjakti untuk bergerak cepat dan melakukan pelantikan Wakapolri secara internal. Apalagi, bila semuanya dilakukan dengan dasar sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku dalam tubuh Polri. Selesailah semuanya.

Siapa Dilecehkan?

Banyak kalangan memprotes pelantikan Komjen Budi Gunawan, termasuk memberi penilaian bahwa presiden terlalu lemah untuk bisa mengatasi kisruh yang terjadi di dalam lembaga-lembaga yang seharusnya berada di bawah kendalinya. Sebab, persoalan ini menjadi kejadian kedua “ketidaktahuan presiden” setelah sebelumnya presiden mengaku tidak mengetahui kenaikan uang muka mobil pejabat. Bahkan ada yang menilai presiden telah dilecehkan oleh Polri ketika pelantikan Wakapolri dilakukan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan presiden.

Sebetulnya, bila jabatan presiden dilihat sebagai sebuah amanat yang diberikan rakyat, maka yang sesungguhnya dilecehkan adalah seluruh rakyat Indonesia. Apalagi kalau mau jujur, kembali tampilnya Komjen Budi Gunawan di tampuk tertinggi institusi Polri bertentangan dengan ekspektasi masyarakat terkait kepolisian sebagai institusi penegak hukum yang bersih dan berwibawa. Alasan bahwa BG bersih dan segalanya telah dilaksanakan sesuai mekanisme dan prosedur tetap tidak akan memuaskan rakyat, sebab rakyat memang sudah berada pada taraf jenuh dan sungguh-sungguh muak terhadap segala hal yang berbau korupsi, gratifikasi dan sejenisnya.

Meski Kapolri mengklaim telah berkonsultasi dengan presiden, rakyat sebetulnya masih berharap bahwa keputusan Wanjakti terkait jabatan Kapolri sedikit banyak akan sesuai dengan semangat yang dimiliki rakyat. Ternyata justru sebaliknya.

Ironisnya, ketika Budi Gunawan dinyatakan bersih dan dilantik menjadi Wakapolri, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang sempat menjadi ikon pemberantasan korupsi di Indonesia justru terjungkal dari posisi mereka di KPK. Terlepas dari konflik di antara kedua institusi ini, tingkat kepercayaan rakyat kepada KPK masih lebih tinggi dibanding Polri dalam hal pemberantasan korupsi. Itu sebabnya, setiap langkah yang diambil Polri ketika menghadapi KPK akan langsung dilihat sebagai upaya pelemahan KPK. Rakyat pun belajar dari sejarah dan telah cukup cerdas untuk melihat bahwa institusi kepolisian masih perlu membenahi diri terkait praktik korupsi yang terjadi di dalamnya.

Pertanyaannya, masih adakah tempat bagi aspirasi dan kehendak rakyat saat ini? Sebab dalam kenyataan, presiden sebagai representasi kehendak rakyat pun tidak diberi tempat untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung, setelah ia memberi wewenang penuh kepada Polri untuk melakukan seleksi Wakapolri sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku. Pola peminggiran semacam ini bukan sesuatu yang baru terjadi dalam sejarah Indonesia. Pola ini pernah dipakai oleh Suharto ketika menerima mandat dari Sukarno dalam rupa surat perintah yang kemudian dikenal dengan nama Supersemar. Pelimpahan kewenangan ditafsirkan sebagai keleluasaan untuk bisa melakukan hal-hal yang dianggap sesuai dengan prosedur dan mekanisme meski dalam kenyataan justru bertolak belakang dengan keinginan besar yang hidup dalam hati rakyat.

Ketiadaan Empati

Bila ternyata apa yang dilakukan dalam institusi kepolisian kita tidak sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat, maka masalahnya adalah apakah sosok-sosok dalam institusi ini memang tidak tahu apa yang diharapkan rakyat? Ketidaktahuan akan harapan rakyat jelas sesuatu yang mustahil di zaman yang serba terbuka ini. Belum lagi bila melihat gejolak yang terjadi ketika Budi Gunawan dicalonkan sebagai Kapolri beberapa waktu lalu, institusi kepolisian harusnya cukup peka untuk melihat bahwa simpati rakyat terhadap Budi Gunawan sedang menurun, bahkan hampir tidak ada sama sekali. Yang justru menguat ialah kecurigaan rakyat akan adanya permainan kepentingan dalam tubuh Polri yang melibatkan tidak saja tokoh-tokoh internal tetapi juga eksternal Polri.

Keputusan melantik Budi Gunawan sebagai Wakapolri menunjukkan bahwa Polri tidak memiliki empati terhadap keinginan dan aspirasi jutaan rakyat Indonesia. Pelantikan ini akan semakin mengikis kepercayaan rakyat terhadap wacana reformasi dan pemberantasan korupsi dalam tubuh Polri yang sebelumnya dikumandangkan Kapolri Badrodin Haiti.

Akan sangat sulit bagi Polri untuk mengembalikan tingkat kepercayaan rakyat. Sebab dalam carut marutnya sistem peradilan di Indonesia yang konon tajam ke bawah dan tumpul ke atas, rakyat yang sudah terlanjur kecewa akan sulit untuk kembali percaya pada Budi Gunawan, meski seandainya ia memang tidak bersalah dan bersih dari setiap masalah yang dituduhkan kepadanya.

Pada sisi lain, rakyat yang sudah jenuh dengan perselisihan lembaga-lembaga penegak hukum seperti Polri dan KPK mendambakan hadirnya sosok lain yang tidak punya keterlibatan langsung dengan perselisihan itu. Namun, Polri membuat seolah-olah tidak ada lagi sosok lain selain Budi Gunawan yang paling pantas untuk duduk sebagai Wakapolri. Ini juga mengejutkan, sebab institusi sebesar Polri terkesan hanya memiliki sosok yang “itu-itu saja” untuk duduk di tampuk kepemimpinan. Repotnya, sosok yang dimaksud pernah terkait secara langsung dalam perselisihan dengan lembaga penegak hukum lain.  

Ketidakpekaan terhadap semangat yang hidup di hati rakyat saat ini, cepat atau lambat akan menjadi bumerang buat Polri sendiri. Mungkin sebaiknya disadari bahwa selain pertimbangan internal, Polri dan institusi-institusi lain yang terkait dengan hukum perlu mempertimbangkan aspek rasa keadilan masyarakat. Jangan sampai sebuah keputusan justru mencederai rasa keadilan dan semangat positif yang sedang tumbuh di kalangan rakyat. Bila institusi-institusi pemerintah tidak menunjukkan empati kepada rakyat, jangan heran bila pada akhirnya rakyat juga tidak punya empati, bahkan tidak akan punya kepercayaan terhadap isntitusi-institusi pemerintah. Segala kewenangan dan kedaulatan ada pada rakyat, selebihnya hanyalah pemegang mandat yang sepantasnya menjalankan mandat tanpa mengkhianati apalagi meminggirkan sang pemberi mandat.***

(rr/AF)