paduanberita.com

SOAL timbang menimbang kali pertama muncul manakala sejumlah pedagang hendak mengetahui besaran komoditi yang dijualnya. Perlu sebuah alat untuk memastikan apakah produk jualnya sesuai dengan keinginan pembeli. Timbang menimbang pun berlangsung untuk melancarkan usaha. Dan perdagangan sebagai basis usaha masyarakat pun kian berkesinambungan dengan keberadaan alat timbang.

Pada timbangan politik lain lagi alat timbangnya. Ia bisa bernama kinerja keberhasilan atau kegagalan, ia bisa bernama tolok ukur rencana dan realisasi. Dan bisa juga bernama ketakpastian. Ketiganya saling bertaut sehingga alat timbang itu pun berfungsi untuk mengabarkan kepada publik mengenai objek yang ditimbang.

Menimbang Jokowi yang belum setahun menjabat Presiden RI, ternyata alat timbang yang kerap muncul adalah ketakpastian.

Uncertainity, sebagaimana pernah dikatakan Prof. Soejatmiko ketika menilai pemerintahan Soeharto ~ternyata berlanjut pada pemerintahan Jokowi JK. Berbagai kasus yang tak selesai atau beberapa kasus yang tidak jelas penyelesaiannya, menjadi pertimbangan ketidakpastian itu. Sebut saja Kartu Sehat yang belum terealisasi serempak. Sementara program Kartu Sehat ini pun belum sepenuhnya dipahami masyarakat. tampaknya saling tumpang tindih dalam hal upaya pengobatan murah bagi masyarakat umum.

Sejak adanya Katrtu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Kartu Gakin (Golongan Miskin), Kartu BPJS dan entah apa lagi namanya nanti ~kesehatan sebagai bagian penting manusia, selalu menjadi objek kebijakakan yang berujung pada pelibatan masyakarat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang prima. Namun praktek di lapangan sering kali berlangsung ketakpastian. Misalnya seorang pasien yang hendak berobat ke rumah sakit dengan menyodorkan kartu miskin (dengan berkali perubahan istilah kartu), petugas kesehatan dan para medis di rumah sakit memandang dengan sebelah mata. Seolah kehadiran pasien miskin akan merepotkan.

Saya pernah mendengar langsung ucapan seorang dokter menanggapi katru BPJS. Bagi dokter, kata dia, BPJS tidak memberikan masukan berupa uang, dokter hanya petugas sosial untuk melayani pasien secara baik sesuai tugasnya. Berbeda dengan pasien yang tidak menggunakan kartu BPJS, dokter akan kebagian uang dalam jumlah tertentu. Maka jika seorang dokter ditelepon staf rumah sakit untuk melakukan operasi terhadap pasien BPJS, biasanya ia agak ogah-ogahan menerimanya. Sebisanya ia berkelit agar operasi tersebut ditangani oleh dokter lain. Kalau pun akhirnya harus menerima tugas itu, tetap saja ada gerutu yang meluncur dari bibirnya.

Di tingkat dokter terjadi hal itu. Di petugas kesehatan rumah sakit pun pasien BPJS kerap dipingpong dengan harapan sang pasien urung berobat. Misalnya dengan mengatakan kamar penuh dan rumah sakit tidak bisa menampungnya, padahal setelah dicari oleh keluarga pasien, ternyata ada kamar kosong di rumah sakit itu. Pasien pengguna BPJS yang belum membayar iuran selama 3 (tiga) bulan sebelum masuk ke kamar inap rumah sakit harus menyelesaikan dulu pembayaran BPJS selama tiga bulan. Bagi orang miskin Rp25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) kali sekian orang sekeluarga kemudian kali 3 bulan cukup memberatkan. Terlebih ketika kepala keluarga berada dalam posisi sakit dan butuh pengobatan segera.

Salah seorang pengkritik Jokwi dari kubu KMP Fadli Zon menulis puisi berjudul Raisoopoopo (tidak bisa apa-apa), puisi yang menjelaskan ketidakmampuan Jokowi mempimpin Indonesia. Dalam puisi tersebut Fadli menuliskan seseorang yang diibaratkan tidak bisa apa-apa. Seseorang tersebut bagaikan sebuah wayang yang hanya digerakkan seorang dalang.

Di bawah ini adalah kutipan puisi Raisoopoopo:

"Aku raisopopo
seperti wayang digerakkan dalang
cerita sejuta harapan
menjual mimpi tanpa kenyataan
berselimut citra fatamorgana
dan kau terkesima,"

Tak hanya itu, dalam puisi itu juga diceritakan bagaimana seseorang yang berjalan dari gang hingga comberan. Seseorang tersebut itu gemar blusukan.

"berjalan dari gang hingga comberan
menabuh genderang blusukan
kadang menumpang bus karatan
diantara banjir dan kemacetan
semua jadi liputan
menyihir dunia maya
dan kau terkesima,"

Ketidakpastian Jokowi memimpin negeri di batas khatulistiwa ini sepertinya menyihir sebagian besar masyarakat untuk tetap percaya bahwa ia mampu memimpin. Selama KMP masih kuat, KMP di sini ialah Kalla-Mega-Paloh, selama itu pula Jokowi masih memperoleh dukungan lantaran kekuatan media yang telah dikuasai sejak masa kampanye capres tahun lalu. Namun selama kapasitas kelayakan seorang presiden hanya diukur oleh kekuatan media (termasuk media sosial) maka selama itu pula Jokowi tak lain adalah presiden maya. Ia tidak menyentuh tanah. Tidak menyentuh kehidupan rakyat secara langsung. Presiden yang hanya ada dalam bayangan. Dan ia ada sepanjang masih ada yang membayangkannya.

Menimbang Jokowi dengan kata lain menimbang ketidakpastian. Ketidakpastian atas masa depan rakyat Indonesia menghadapi tantangan fora internasional, utamanya dalam hal perjanjian bisnis menyangkut sumber daya alam Indonesia yang telah puluhan tahun dikuasai asing. Ketidakpastian itu terus menguat sehingga kontrak karya selalu sebanding dengan kekalahan diplomasi bisnis dan diplomasi politik dengan pihak mana pun.

Sampai kapan ketakpastian Jokowi itu sirna? Apakah sampai melemahnya Kalla Mega Paloh? Wallahu `alam bishshowab.***

(rr/DK)