sp.beritasatu.com

INGAT Konferensi Asia Afrika ingat sebuah pergerakan internasional. Pergerakan bangsa-bangsa (terjajah) untuk lepas dari cengkeraman kekuatan asing yang menindas dan mengisap. Betapa kekayaan dan sumber daya alam negara-negara di Asia Afrika selama ratusan tahun diambil paksa oleh kekuasaan dan kesewenangan orang asing. Di sisi lain pemilik kekayaan alam itu tidak menikmati apa-apa kecuali dijadikan budak (tenaga kasar tanpa upah) untuk mengumpulkan di gudang penyimpanan (loji) lalu orang asing itu mengirim hasil jarahannya ke negeri mereka atau menjual ke negeri lain.

Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 itu begitu mencengangkan dunia. Eropa yang saat itu masih kuat bercokol di sebagian besar negara-negara Asia Afrika takut akan kehilangan kesempatan menikmati secara gratis kekayaan Asia Afrika. Tentu saja keberanian beberapa kepala negara pencetus gagasan KAA memperoleh sambutan luar biasa dari negeri-negeri terjajah. Ada rasa ingin mengolah sendiri hasil kekayaan alamnya untuk kemudian dibagikan kepada rakyatnya sendiri.

Patut diingat pula keberanian para pemimpin negara (Dunia Ketiga) menyelenggarakan pertemuan politik internasional yang dihadiri oleh 6 negara Afrika dan 18 negara meliputi Asia (Filipina, Thailand, Kamboja, Laos, RRC, Jepang, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Nepal, Afghanistan, Iran, Irak, Saudi Arabia, Syria (Suriah), Yordania, Lebanon, Turki, Yaman), dan Afrika (Mesir, Sudan, Etiopia, Liberia, Libya, dan Pantai Emas/Gold Coast). Di sisi lain dalam upaya meredakan ketegangan dan untuk mewujudkan perdamaian dunia, pemerintah Indonesia memprakarsai dan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Usaha ini mendapat dukungan dari negara-negara di Asia dan Afrika. Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada umumnya pernah menderita karena penindasan imperialis Barat. Persamaan nasib itu menimbulkan rasa setia kawan.

Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara di Asia dan Afrika yang berhasil mencapai kemerdekaan, di antaranya adalah India, Indonesia, Filipina, Pakistan, Burma (Myanmar), Sri Lanka, Vietnam, dan Libia. Sementara itu, masih banyak pula negara yang berada di kawasan Asia dan Afrika belum dapat mencapai kemerdekaan. Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang telah merdeka tidak melupakan masa lampaunya. Mereka tetap merasa senasib dan sependeritaan. Lebih-lebih apabila mengingat masih banyak negara di Asia dan Afrika yang belum merdeka. Rasa setia kawan itu dicetuskan dalam

Konferensi Asia Afrika. Sebagai cetusan rasa setia kawan dan sebagai usaha untuk menjaga perdamaian dunia, pelaksanaan Konferensi Asia Afrika mempunyai arti penting, baik bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada khususnya maupun dunia pada umumnya. Prakarsa untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika dikemukakan pertama kali oleh Perdana Menteri RI Ali Sastroamijoyo yang kemudian mendapat dukungan dari negara India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar) dalam Konferensi Colombo tahun 1954. Dan dilatarbelakangi oleh tujuan memajukan kerja sama bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan, memberantas diskriminasi ras dan kolonialisme, memperbesar peranan bangsa Asia dan Afrika di dunia dan ikut serta mengusahakan perdamaian dunia dan kerja sama internasional, bekerja sama dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya, serta membicarakan masalah-masalah khusus yang menyangkut kepentingan bersama seperti kedaulatan negara, rasionalisme, dan kolonialisme.

Lalu Apa?

60 tahun KAA berlalu. 60 tahun bangsa-bangsa tertindas itu bangkit membangun negerinya masing-masing. Kerjasama internasional pun terbangung. Tetapi Barat tetap tidak rela begitu saja menyerah kepada keinginan negeri-negeri yang pernah mereka jajah. Berbagai cara pun ditempuh untuk melemahkan kembali solidaritas bangsa-bangsa Asia Afrika. Upaya itu antara lain penanaman ideologi yang bertolak belakang dengan bangsa-bangsa Asia Afrika, misalnya individualisme, kompetisi ekonomi yang tidak sehat, hegemoni, infiltrasi politik, serta pola kontrak karya. Sebagai pengganti bentuk penjajahan fisik, Barat melakukan model penjajahan baru dengan desain besar mengambil kembali kekayaan alam bangsa-bangsa Asia Afrika untuk menjadi miliknya lagi.

Lihat saja, Indonesia yang tercatat sebagai pencetus gagasan KAA 1955 tidak kuasa atas Free Port di Papua, Blok Cepu, Natuna, dan sejumlah kontrak karya yang hanya menguntungkan orang/ bangsa lain. Malaysia, Singapura dan Hong Kong  yang masih ada dalam bayang-bayang Inggris dan cukup dihibur dengan istilah persemakmuran/ British Commenwealth. Myanmar yang digoyang masalah HAM dengan menghadirkan sosok Aung San Suu Kyi untuk terus berontak kepada pemerintahnya sendiri. Sejumlah negara Arab dan Timur Tengah pemilik minyak bumi yang tak kuasa menentukan harga jual minyak/ barel. Kekayaan emas Afrika Selatan yang terus diboyong ke Inggris. Negara-negara Afrika Utara yang diguncang prahara terorisme dan atau ide sosialisme garis keras sehingga timbul konflik antar anak bangsa sendiri. Korea Selatan sekali pun boleh dikata maju secara ekonomi dan teknologi, tetap saja tidak mampu lepas dari ketergantungan diam-diam kepada Amerika Serikat.

Mungkin hanya Jepang dan China yang berani mengeksplorasi kemampuan pengolahan negerinya sendiri. Bahkan kebangkitan China menjadikan beberapa Negara Barat dan AS terancam. Kuasa ekonomi asing sepertinya tidak begitu berpengaruh bagi China. Dengan kepiawaiannya menjalankan roda ekonomi, produk-produk China masuk ke berbagai Negara Asia Afrika, juga Eropa dan Amerika.

Sudah saatnya KAA yang akan diperingati di Bandung 18 -24 April 2015 ini memberi porsi yang besar kepada China untuk merepresentasikan kebangkitan bangsa dan negerinya. Memberi kesempatan kepada China/ RRC untuk memimpin bangsa-bangsa Asia Afrika, khususnya di bidang ekonomi. Sehingga KAA yang akan digelar itu tidak berakhir sebatas seremonial dan hiburan atas masa lalu sejarah ketika konferensi itu diadakan 60 tahun silam. KAA di Bandung itu juga bukan hanya diisi oleh perjanjian-perjanjian bisnis bilateral atau multilateral belaka, melainkan menggagas sistem ekonomi yang diharapkan segera memulihkan bangsa-bangsa Asia Afrika baik secara ekonomi maupun teknologi.

Jikalau 60 Tahun KAA di Bandung tahun ini hanya berisi pidato dan maklumat tanpa greget, untuk apa ia diperingati. Jika 60 Tahun KAA hanya merupakan ajang kongkow tanpa konsep jelas bagi kemakmuran bangsa-bangsa Asia Afrika, untuk apa acara tersebut dikenang. Lebih celaka lagi apabila 60 Tahun KAA hanya dijadikan ajang selfie untuk media sosial.

Yang patut dicatat ialah butir kedua Dasa Sila Bandung 60 tahun silam: Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Dan diperjelas oleh butir keempat: Tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam persoalan-persoalan dalam negera-negara lain. Dua butir penting yang menunjukkan eksistensi bangsa-bangsa Asia Afrika.***

(rr/DK)