Muhammad Sholich Mubarok - BeningPost

Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS) dinilai Anggota DPD Farouk Muhammad belum diperlukan di Indonesia. Pasalnya, penanganan konflik sosial bukan akibat ada atau tidaknya regulasi yang mengatur. Namun lebih kepada penanganan akar konflik yang belum optimal. 

"Bukan karena tidak atau ada UU PKS. Tapi karena ada soal mendasar, rakyat baku tembak bukan enggak kedengaran. Sumbernya ketidakadilan, ketimpangan, sosial, pengangguran," cetusnya, dalam rapat paripurna DPD RI, di Jakarta, Jumat (28/10). 

Sehingga, pihaknya menolak draft usulan RUU tersebut. Permasalahannya, terletak pada ketiadaan rumusan penanganan konflik sosial yang komprehensif di Tanah Air. Hal itu pun kemudian menjadi putusan pleno DPD. "Ada disharmoni. Seharusnya perbaiki dulu akar masalahnya," jelas Farouk. 

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menegaskan, Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial belum darurat untuk digolkan di Badan Legislasi DPR. Pasalnya, penanganan konflik sosial di Indonesia seharusnya lebih dititikberatkan pada profesionalisme aparat. Bukan kehadiran Undang-undang. 

"Penanganan konflik memang urgen (mendesak), tetapi UU ini enggak urgen," cetusnya. 

Menurutnya, berdasarkan beberapa kasus yang ditangani Kontras, aparat selama ini masih bermain di pusaran konflik. Baik itu berupa kedekatan dan keberpihakan kepada salah satu pihak, atau bahkan menjadi pemicu.

"Di Poso, Sampit, Ambon, jelas ada keterlibatan aparat. Seharusnya mereka netral. Tetapi kebanyakan tidak, (akibat) dasarnya agama, etnis, dan bisnis," sindir Haris.