nasional.inilah.com

FEBRUARI tahun 2015 ini mahasiswa UI, IPB dan Unpad melakukan demo atas kepemimpinan Presiden Jokowi. Mereka antara lain menuntut penurunan harga kebutuhan pokok yang tidak dapat dikendalikan pemerintah. Menurut demonstran, Jokowi gagal menerapkan sistem ekonomi kerakyatan yang berpedoman pada Nawa Cita.

Sejak menjadi Presiden RI, lelaki kurus asal Solo itu kerap dikritik tajam oleh Efendi Simbolon, kawan separtai di PDIP. Dari fluktuasi harga BBM, kasus KPK vs Polri (BG),  hingga ketakmampuan menyelesaikan berbagai kasus politik yang terus bergulir. Jokowi dinilai Efendi Simbolon sebagai presiden prematur yang tidak banyak mengetahui persoalan lapangan.

Pengamat ekonomi UGM, Ichsanuddin Noersy pun menilai kegagalan Jokowi dalam hal ekonomi. Katanya tidak ada kemajuan ekonomi sedikit pun sejak Jokowi dilantik. Lebih jauh seorang dosen Universitas Paramadina mengatakan Jokowi kurang memiliki leadership sehingga muncul olok-olok KMP (Kalla Mega Paloh). Artinya Jokowi ada dalam bayang-bayang KMP tersebut serta tidak mampu menampilkan eksistensinya. Terlebih menteri-menteri kabinetnya dikategorikan sebagai kw2.

Pada bulan yang sama Jokowi pernah menyampaikan ketidaktahuannya menyoal harga beras yang mahal. Ia menyatakan harga beras sudah turun, padahal di pasaran harga besar ditentukan oleh spekulan sehingga terasa membebani masyarakat (bawah khususnya). Jokowi lantas melemparkan masalah ini kepada Kabulog. Uniknya ia mengomentari swasembada garam pada tahun 2015 ini. Mestinya selesaikan dulu harga beras, buktikan dulu swasembada beras di negeri agraris ini sehingga tidak perlu tergantung kepada impor beras dari Vietnam dan lain-lain.

Mengenai beras terbukti berlangsung praktik kecurangan yang dilakukan pedagang. Beras yang dioplos dengan campuran yang membahayakan kesehatan konsumen pun merebak di pasar Bekasi. Sang pedagang beralasan untuk menurunkan harga beras manakala keluhan warga terus berlangsung mengenai mahalnya harga beras. Meski pun akhirnya tertangkap namun beras oplosan itu menjadi tanda ketidakmampuan pemerintahan Jokowi menyelesaikan swasembada beras di tanah air.

Kita hanya dihibur bahwa pemerintah akan membangun ratusan waduk bagi sistem pengairan sawah sehingga padi akan tumbuh subur dan lekas panen. Masalahnya adalah siapa pun presidennya pasti bisa membangun waduk atau sistem irigasi model mana pun, akan tetapi kemampuan pemerintah mengendalikan harga beras jauh lebih penting dibanding penyediaan waduk dan model irigasi mana pun.

Kita juga dikejutkan dengan adanya bazar beras murah yang dilaksanakan oleh TNI dan institusi pemerintah. Bazar dengan sponsor utama Bulog ini memperjelas ketidakmampuan pengendalian harga. Bazar ini tak lain adalah upaya permintaan maaf tentang mahalnya harga beras. Tapi setelah bazar berakhir harga beras kembali mahal. Dan masyarakat harus menerima kenyataan ini.   

Bicara beras mengingatkan adanya program beras murah yang berlangsung sekitar tahun 2010 –  2014 yang dilakukan di seluruh kelurahan. Dari kelurahan beras murah itu didistribusikan ke RW-RW lantas diteruskan ke RT-RT untuk dibagikan kepada warga yang terdaftar. Tahun 2010 harga beras murah sejumlah 15 kg dipatok seharga Rp12.000,00 (dua belas ribu rupiah) dari kelurahan. Tahun 2014 harganya menjadi Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah).

Dengan kata lain pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono telah secara langsung melaksanakan program beras murah kepada masyarakat tidak mampu. Meski sebulan hanya sekali beras murah itu diperoleh namun membantu meringankan beban masyarakat. Meski ada saja ulah nakal sebagian orang perihal beras murah ini, setidaknya masyarakat terbantu.

Terlupakan

Kini permasalahan beras sepertinya kalah keren oleh peristiwa politik di tingkat pusat. Ical vs Agung Laksono, KPK Polri yang belum selesai, atau di tingkat propinsi DKI yakni Ahok vs DPRD. Beras akhirnya terlupakan meski tiap hari masyarakat mengonsumsinya.

Apa sajakah yang dibutuhkan agar program swasembada beras di tanah air benar-benar terjadi dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat? November 2014 Presiden Jokowi mengatakan,  "Ketergantungan ke negara lain besar, menteri saya sampaikan tiga tahun harus bisa swasembada, terutama untuk beras, jagung, kedelai. Sementara swasembada gula agak mundur sampai 5 tahun”.

Ia juga menegaskan arti penting swasembada pangan bagi Indonesia. Sehingga tidak akan segan mengganti menteri yang tidak bisa mewujudkan swasembada pangan tersebut. Beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk menuju swasembada pangan adalah memperbaiki irigasi pertanian, menugaskan Bulog untuk menyerap produksi petani serta memproduksi produk pangan turunan dari beras.

Swasembada dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan. Pengan adalah bahan-bahan makanan yang didalamnya terdapat hasil pertanian,perkebunan dan lain-lain. Jadi swasembada pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bahan makanan sendiri tanpa perlu mendatangkan dari pihak luar. Tak terkecuali beras sebagai bahan makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Kesungguhan pemerintah merealisasikan swasembada beras harus terbukti sesuai dengan waktu yang direncanakan. Artinya jika hingga 5 tahun ke depan Indonesia masih mengimpor beras Vietnam maka semua strategi dan konsep ketahanan pangan dapat dikatakan gagal total.

Bulog yang ditugaskan menyerap produksi petani juga harus memberi harga yang tidak merugikan petani. Ada pun produk pangan turunan dari beras dapat dilakukan sebagaimana di era Orde Baru, pada saat pemerintah bercita-cita mewujudkan swasembada pangan, pengembangan rekayasa genetika sungguh sangat membantu untuk mewujudkannya. Bulog dalam hal ini tidak berperilaku sebagai tengkulak yang bebas menentukan harga gabah. Di sisi lain pemerintah pun (dalam hal ini menteri pertanian) harus mampu memformulasi tingkat agresivitas pertumbuhan padi di Indonesia. Bila selama ini panen hanya berlangsung dua kali setahun, diupayakan agar bisa menjadi tiga kali dalam setahun.***

(rr/DK)