www.lintas.me

WACANA yang digulirkan Mendagri Tjahjo Kumolo bahwa setiap partai politik akan memperoleh suntikan dana (sangat segar) senilai Rp1 Triliun, serempak diamini oleh seluruh politisi. Beralasan untuk menghentikan praktik korupsi karena parpol telah memiliki uang cukup, juga ditopang alasan bahwa negara Indonesia ini kaya raya sehingga wajar dan mampu mengeluarkan dana Rp1 Trilyun bagi perkembangan partai politik di Indonesia, maupun dilandasi asumsi pentingnya kekuatan keuangan parpol untuk meredam korupsi para aktivisnya. Berbagai alasan di atas pun ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dinegara lain pun partai politik memperoleh bantuan dana cukup besar setiap tahun dari pemerintahnya.

Memperbincangkan partai politik sepertinya tak jauh dari masalah uang negara. Sejak sistem parlementer kian kokoh sejak itulah parpol bagai sosok penting dalam proses demokrasi. Lantaran sosoknya yang aduhai hebat itu maka mekanismenya memerlukan uang besar yang bersumber dari keuangan negara alias keuangan rakyat. Uang yang dikumpulkan dari pos pajak, retribusi dan keuntungan finansial negara. Katakanlah uang yang bersumber dari keringat rakyat miskin.

Mari kita bermain angka. Saat ini di Indonesia terdapat 34 parpol, 10 di antaranya mengikuti pemilu 2014. Jika 34 dikalikan Rp1 Triliun maka negara harus mengeluarkan uang Rp34 Triliun tiap tahun bagi seluruh partai politik. Dalam R-APBN 2015, pendapatan negara mencapai Rp1.762,29 triliun, maka  Rp34 triliun  mencapai sekitar 1,19% pendapatan negara. 1,19% pendapatan negara dalam setahun apabila diberikan begitu saja kepada partai politik, akan memicu permintaan serupa dari organisasi non politik. Logikanya, jika parpol saja memperoleh bantuan sangat besar dari pemerintah maka organisasi non politik pun memiliki hak memperoleh alokasi dana dari APBN.

Bandingkan dengan APBD Kota Cirebon tahun 2015 yang mencapai Rp1,253 triliun; angka Rp34 triliun bisa membiayai pembangunan puluhan kota/ kabupaten di Indonesia selama setahun. Parpol dengan “kepemilikan” Rp1 triliun per tahun setara dengan APBD Kota Cirebon. Bandingkan pula dengan Kementrian Pertanian yang mengalokasikan anggaran untuk cadangan beras pemerintah hanya sebesar Rp1,5 triliun, cadangan stabilisasi pangan hanya Rp2 triliun dan tidak ada alokasi anggaran untuk cadangan stabilitas pangan.

Hingga kini parpol belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dari APBN. Penggunaan bantuan keuangan parpol biasanya tidak transparan dan tidak akuntabel setiap tahunnya. Hal itu disebabkan karena bendahara parpol biasanya hanya berfungsi sebagai “kasir” mengingat tanpa pencatatan keuangan yang jelas, laporan penggunaan keuangan dari APBN tidak sesuai dengan peruntukan, pencatatan keuangan parpol masih bersifat tradisional seperti “Tukang Sate” dan belum sesuai standar Permendagri atau Kantor Akuntan Publik. Bantuan Rp1 Triliun pun membuat parpol malas bekerja untuk rakyat.  Setiap tahun mendapat alokasi anggaran dari APBN. Hal ini juga akan memicu lahirnya partai baru yang lebih pragmatis hanya sebagai penadah bantuan keuangan parpol dari APBN.

Wacana Mendagri ini sangat menyakitkan rakyat. Sebab, saat ini masyarakat tengah menderita dengan krisis pangan dan tingginya harga kebutuhan seperti beras. Juga akan akan memancing pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang sama dengan menaikan anggaran bantuan sehingga semakin memiskinkan keuangan daerah. Ditambah dengan lemahnya kinerja parpol dan ketiadaan pencatatan aliran keuangan di parpol serta mekanisme audit internal, wacana Rp1 Triliun untuk tiap parpol justru mencederai perasaan publik. Rakyat msikin yang bekerja hingga berdarah-darah lantas membayar pajak, namun keringat dan darah orang miskin itu diberikan kepada partai politik.

Main-main Uang Rakyat

Ketika pemilu pertama era reformasi (1999) akan digelar di beberapa kota/ kabupaten terdapat banyak upaya main-main keuangan yang dilakukan oleh parpol. Misalnya saya menjadi ketua sebuah parpol di tingkat kota/ kabupaten, maka istri saya berstatus sekretaris parpol, dan anak saya menjadi bendahara. Bantuan dana puluhan juta rupiah dari pemerintah daerah bagi parpol yang saya pimpin akhirnya menjadi milik keluarga saya. Mendirikan parpol atau menjadi perpanjangan parpol di tingkat kota/ kabupaten karena hanya ingin memperoleh bantuan APBD setempat sama dan sebangun dengan meruntuhkan demokrasi. Lihatlah sekretariat parpol yang tidak representatif mencerminkan ketidaksungguhan membangun iklim demokrasi. Sudah begitu, sekretariat pun hanya menyewa ke pihak lain. Kondisi ini makin parah dengan kenyataan rumah partai (sekretariat) yang tidak memenuhi syarat, misalnya hanya rumah petak di daerah yang sesak dan padat penduduk.

Uang rakyat harusnya untuk membangun rakyat. Bukan untuk dibagikan kepada partai politik. Pemerintah daerah jika berani sebaiknya bersikap menyetop bantuan dana bagi partai politik. Ingatlah masih banyak sektor lain yang butuh dana yang diserap dari setoran masyarakat yang dikumpulkan di kantor dinas pendapatan daerah.

Wacana satu triliun untuk parpol dalam hemat saya semacam jokes yang tidak cerdas. Bahkan menyakitkan. Mendagri tampaknya ingin menambah pundi-pundi parpol agar ia dikatakan sebagai maling ‘budiman’ yang bertindak membagi-bagi uang ke seluruh parpol. Alasan mengurangi praktik korupsi samasekali tidak berdasar. Justru dengan uang Rp1 Trilyun itu peluang korupsi akan terjadi di kalangan pengurus parpol.

Seharusnya  wacana yang menyenangkan bagi parpol ini ditolak oleh pemerintah. Biarlah ia hanya bergulir jadi wancana yang dianggap ampuh untuk menyelesaikan sengketa dua kubu di DPR yakni KIH dan KMP. Kedua kubu seketika bersatu manakala wacana  membagi Rp1 Triliun untuk setiap parpol dikemukakan Mendagri Tjahjo Kumolo. Sungguh saya tak habis mengerti mengapa begitu mudah para politisi di DPR dibuai “angin surga” yang entah kapan dirasakan.

Jikalau wacana ini terbukti jangan heran apabila di tahun 2015 hingga 2018 akan muncul beberapa partai politik baru. Mereka mendirikan parpol baru bukan demi pembangunan demokrasi, melainkan hanya untuk memperoleh uang Rp1 Triliun per tahun. Dengan demikian para penganggur, petualang politik,  organisatoris, kutu loncat dan sebagainya akan berhimpun membentuk parpol baru.

Sebagai mendagri sebaiknya lebih fokus mengurus hal lain yang lebih subtil ketimbang mengungkap wacana yang absurd. Misalnya pemutakhiran database penduduk di seluruh Indonesia. Tidak ada warga negara yang memiliki KTP ganda. Komputerisasi di tingkat RW seluruh Indonesia yang terintegrasi seccara online ke kemendagri, Biro Pusat Statistik, dan kantor-kantor dinas di kota/ kabupaten jauh lebih penting daripada membagi-bagikan uang dalam jumlah besar ke seluruh partai politik.

Lihat saja dalam banyak hal masyarakat tidak percaya atas kinerja partai politik. Masyarakat hanya tahu politisi itu sama dan sebanding dengan koruptor. Dan masyarakat Indonesia saat ini butuh ketegasan pemerintah pusat mematok harga eceran terendah untuk beras. Sejatinya wacana Rp 1 Trilyun itu dihentikan saja dan cukup berakhir hingga di sini.***

(rr)