www.digplanet.com

Buku berjudul ‘Tokoh-Tokoh Tak Terlupakan’ karya Retno Suffatni yang diterbitkan Pustaka Populer (kelompok Penerbit LKIS) menuturkan bahwa April 1982 sebuah artikel di Korea Herlad suatu Koran harian yang didirikan pada 1953 di Seoul Korea Selatan, pernah melansir tulisan “Kim Il-Sung’s Chosen (Koreanya Kim Il-Sung) kini merupakan wilayah ajaib yang tidak dapat disamakan dengan negeri manapun di dunia”. Artikel ini merupakan artikel yang menggambarkan roda pemerintahan Korea Utara dibawah kepemimpinan Kim Il-Sung. Dikatakan wilayah ajaib karena memang kita tidak akan menemukan suatu kondisi peradaban modern yang demikian ajaib kecuali di Korea Utara.

Lim Un sebuah nama samaran yang menulis buku Secret of the North Korea Dynasty: True Biography of Kim Il-Sung mengatakan di Korea Utara kini tidak bisa lagi ditemukan seorang Kristen atau Budhis, semua penduduk menggunakan pakaian dari bahan warna yang sama, buatan sebuah pabrik yang ditunjuk negara, kaum perumpuan hanya dibolehkan menata rambutnya dalam satu gaya dan ukuran panjang rambut pria juga sudah ditetapkan negara.

Dalam buku terbitan Pustaka Populer tersbut juga disampaikan bahwa sumber-sumber pemberitaan menyebutkan bahwa Korea Utara merupakan negara tanpa adanya kekuasaan yang terbelah karena kekuasaan hanya ada di tangan Kim Il-Sung pada waktu itu. Hal ini diperkuat dengan model kepemimpinan diktator yang diterapkan oleh Kim, pasalnya Kim mengatur seluruh urusan negara sangat rinci mulai dari ukuran rambut, warna serta bahan pakaian dan bahkan karya senipun tidak dizinkan menampilkan pujian-pujian ke manusia manapun kecuali kepada Kim. 

Anthony Paul dalam tulisannya di majalah Reader’s Digest Maret 1982 menuturkan pada usia Kim Il-Sung yang sudah melewati 70 Tahun dan didera berbagai penyakit, Ia menunjuk puteranya, Kim Jong-il sebagai pewaris tahta, sampai-sampai dikalangan pengamat asing ada sebuah lelucon yang mengatakan “Penduduk negeri ini tadinya sudah sabar menerima monarki. Kini mereka bakal mendapat dinasti.” Anthony paul sendiri menamakan Korea Utara “Monarki Marxis yang pertama di dunia.”

Narasi di atas merupakan kondisi faktual yang pernah terjadi pada suatu belahan bumi terkait kehidupan bernegara model Monarki-Dinasti dengan tidak diberikannya celah kekuatan lain memiliki andil kuasa dalam pemerintahan. Konsep Trias Politica sesungguhnya lahir dari latar kondisi peradaban yang demikian. Masyarakat mengetahui bahwa perkembangan perdaban dimulai dari konsep kehidupan sederhana di mana masyarakat cenderung masih sedikit dan proses interaksi sosialnya belum begitu kompleks. Pemimpin pada waktu itu cenderung berisfat dominan dan bahkan cenderung sewenang-wenang dalam beberapa kasus. Tidak ada pembagian kekuasaan yang dapat saling kontrol antar kekuasaan dan model transisi kepemimpinan umumnya masih dijalur kekerabatan. 

Pada perkembangannya konsep Trias Politica dianggap mampu menjawab tantangan zaman dengan ide dasar tidak adanya kekuasaan yang absolut pada satu struktur politik dan terciptanya lembaga negara lain yang memiliki peran saling berkaitan.

Indonesia dalam pusaran Trias Politica 

Indonesia merupakan salah satu negara besar yang sering mendapatkan apresiasi masyarakat internasional terkait pelaksanaan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara pascamomentum tumbangnya rezim orde baru 1998 yang silam. Indonesia dianggap negara yang mampu beradaptasi dan menerima dengan baik unsur-unsur keragaman, hal ini dimungkinkan karena corak budaya dasar Indonesia yang terdiri dari ratusan ragam budaya yang membentang di sepanjang wilayah negaranya.

Lembaga-lembaga negara yang ada menganut konsep dan ide dasar Trias Politica dengan pembagian kekuasaan di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Aturan perundang-undangan kian tumbuh pesat setiap tahunnya, hal ini dibuktikan dengan amandemen UUD negara Indonesia yang terjadi beberapa kali, belum lagi perubahan dan perbaikan UU serta aturan-aturan hukum dibawahnya, menandakan Indonesia berkembang menjadi negara muda yang siap dengan kehidupan keadaban dibawah norma-norma Hukum yang disepakati bersama. 

Angin reformasi yang berhembus ternyata juga membawa remah-remah Liberalisme masuk bersama partikel lain dalam hembusan tersebut. Diantaranya adalah kebebasan pers, kebebasan individu dalam berekspresi, liberalisme dan kapitalisme. Pada masa orde baru yang bercirikan otoriter lembaga-lembaga negara lainnya hanyalah syarat normatif sekedar ada agar mendapatkan legitimasi negara demokrasi dan modern yang pada kenyataannya tidak memiliki kekuatan apapun untuk mengimbangi dominasi kekuatan eksekutif. Kebebasan individu juga terkungkung jikapun ada yang nekat biasanya berkahir pada kurungan atau karung pembuangan. Kini keadaan berubah, segala tindak-tanduk aparatur pemerintahan akan mampu dengan mudah terhukumi publik apabila terjadi penyimpangan walaupun banyak kasus luput dari hukuman Undang-undang.

Indonesia masuk babak baru sebagai negara berlandaskan hukum dengan sharing power yang terdistribusi ke beberapa lembaga negara. Dalam kondisi ini sebenarnya belum tentu asas hidup berkeadilan mudah tercapai, karena prinsip penindasan selalu muncul dari konsentrasi kekuatan. Jika dahulu konsentrasi kekuatan pada hal fisik maka kezholiman terjadi pada ranah fisik, namun saat kini kekuatan terfokus pada hukum maka kezholiman akan muncul dari akar yang bernama peraturan perundang-undangan sebagai legal formal kekuatan hukum dan tentu saja kepada para pembuat undang-undang sebagai subjek pembuat hukum yaitu anggota dewan.

Politik Prabayar Anggota Dewan 

Transisi kezholiman kini berpotensi tumbuh di sekitar hukum perundangan dan juga jelas anggota dewan selaku unsur utama dalam menghasilkan produk hukum. Kualitas produk hukum suatu negara setidaknya ditentukan juga oleh kualitas para legislatornya. Semakin baik kapasitas legislator dalam memahami kondisi permasalahan negaranya maka semakin tepat pula produk hukum yang dihasilkan. Semakin baik integritas legislator suatu negara maka semakin banyak pula kepentingan masyarakat yang terselamatkan serta terwujudkan. Namun akan berbeda kondisinya jika ternyata para zombie kapitalisme menemukan celah untuk mendulang kekuatan melalui gedung parlemen. Para kapitalis ini hanya perlu mengikuti program politik prabayar yang ditawarkan legislator busuk lalu akan menerima layanan untuk bebas jelajah kawasan nusantara dan punya kesempatan mengeruk kue anggaran.

Istilah prabayar populer pada industri bisnis, misalkan bisnis provider telekomunikasi. Istilah ini bercirikan konsumen membayar diawal lalu akan mendapatkan layanan setelahnya. Ironinya jika konsep ini juga berkembang biak masuk pada proses berlangsungnya roda pemerintahan. Para kapitalis yang haus kekuasaan dan kekayaan tidak perlu membayar mahal dengan mendirikan partai politik untuk dapat keuntungan dari proses pembuatan undnag-undang, namun cukup membeli suara dan layanan jasa pembuatan aturan perundangan melalui provider bernama partai politik dan agen khususnya bernama anggota dewan. 

Proses transaksi kotor ini dimulai pada saat proses pemilu legislatif berlangsung. Peraturan terkait ini tertuang dalam UU no 8 Tahun 2012 terkait pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD serta peraturan KPU no 17 tahun 2013 tentang pedoman pelaporan dana kampanye peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang terbit September 2013 yang silam. Hal yang perlu dicermati pada peraturan KPU tersebut adalah Caleg DPRD, DPD, dan DPRD diperkanankan mendapatkan dana bantuan kampanye baik dari perorangan maupun perusahaan sesuai pasal 6 ayat 3 dan dalam aturan tersebut hanya dua peserta pemilu saja yang dana kampanye dibatasi yaitu DPD dan Partai Politik sesuai pasal 11, 12 dan 13 Sedangkan untuk caleg DPR dan DPRD tidak ada ketentuan batasan penerimaan dana. Celahnya adalah diizinkan secara hokum sumbangan dana individu bahkan perusahaan, ini angin segar bagi yang ingin investasi. Celah kedua adalah posisi caleg DPR dan DPRD tidak ada batasan penerimaan dana ini juga peluang emas para petualang kapitalis investasi melalui Caleg DPR pusat dan Daerah.

Kalkulasi politiknya sangat unik, pengakuan salah seorang Politisi Partai Golkar, Tantowi Yahya dalam suatu media misalnya, beliau dikabarkan mempersipakan Rp1-1,5 miliar untuk pemilu 2014 yang silam. Bisa kita bayangkan jika tokoh sepopulis beliau saja harus merogoh kocek sebesar itu lalu bagaimana yang benar-benar memulai? Pada kenyataannya melebihi dari bilangan 1 miliar bahkan para Caleg punya kecenderungan tidak mengakui besaran dana kampanye sesungguhnya. 

Kemudian kita bandingkan dengan gaji yang didapat oleh anggota DPRD DKI menurut PP nomor 24 tahun 2004 tentang Hak Keuangan dan Protokoler DPRD, total hak yang diterima oleh Ketua DPRD sebesar Rp35,16 Juta, Wakil Ketua DPRD Rp45,16 juta, dan Anggota DPRD Rp30,29 juta. Matematika politiknya adalah, jika setiap anggota dewan dalam setiap bulan menerima 30,29 juta (kita hitung saja 30 juta guna memudahkan penghitungan) maka dalam setahun seorang anggota dewan akan mendapatkan 360 juta dan dalam 1 periode mendapatkan total 1,8 miliar. Besar kemungkinan beberapa anggota dewan akan defisit alias berhutang akibat tanggungan beban kampanye tersebut. Kondisi ini yang menjadi peluang program prabayar politik tersebut.

Pengusaha secara perorangan dan bahkan dapat payung hukum untuk menyumbang atau mendukung kegiatan kampanye suatu Caleg di Partai Politik tertentu, celakanya lagi mereka bebas mendukung dan investasi ke lebih dari satu caleg maupun partai. Mengingat watak kapitalis yang siap membeli appaun untuk melancarkan tujuannya maka bukan tidak mungkin mereka bermain dibanyak kaki untuk melancarkan usahanya, dalam konteks ini mereka bebas investasi ke beberapa caleg atau partai. Celakanya, kaidah No free Lunch (tak ada makan siang yang gratis) benar-benar terjadi. Karena sumbangan kapitalis ini bukan bersifat wakaf atau infak yang nirlaba, justru mereka menaruh harapan besar atau bahkan tidak tanggung-tanggung membeli jasa para caleg ini akan kuasanya membuat produk hukum apabila kelak terpilih.

Semacam judi memang, apabila investasi berhasil dengan ciri pertama caleg tersebut resmi menjadi anggota dewan maka langkah selanjutnya bisa masuk pada pasal pembahasan produk hukum yang akan menguntungkan diri si kapitalis atau korporasinya. Bayar diawal lalu anda mendapatkan jasa layanan produk hukum suatu bisnis yang menjanjikan pasalnya setiap pembuatan anggaran daerah selalu melibatkan program-program pembangunan dan pengadaan barang atau jasa, yang bisa diatur besaran dan pemenang tendernya. Kasus teranyar di DKI Jakarta adalah kisruh APBD antara pemprov dan DPRD atas dugaan adanya dana siluman. Tentu kedua belah pihak punya potensi menjadi penjahat anggaran dan bisnis prabayar ini. 

Politik prabayar ini sungguh merugikan banyak pihak khususnya adalah Rakyat Jakarta itu sendiri dimana sebagai salah satu sumber pemasukan untuk APBD DKI yaitu melalui berbagai jenis pajak yang harus mereka tanggung. Terlebih lagi postur anggaran Nasional maupun daerah masih bergantung secara signifikan  pada pendapatan pajak dari masyarakat. Mau tidak mau semua elemen masyarakat harus aktif terlibat dalam proses mendesak terselenggaranya Hak angket yang sedang bergulir di DPRD dan mendorong penegak hukum untuk menyidik siapa saja oknum DPRD maupun Pemprov DKI yang terlibat pada praktik kotor dana siluman ini. Tentu tidak semua terlibat dan masyarakat terpelajar harus mampu berlaku adil sejak alam pikiran laiknya yang pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, “Seorang Terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” 

(rr/MHK)