www.bbc.co.uk

TAGAR atau akronim dari tanda pagar dalam Bahasa Inggris disebut Hashtag dengan simbol (#) merupakan sarana efektif untuk menyimpan tulisan kita pada situs jejaring sosial bernama Twitter. Fasilitas ini dapat dimanfaatkan untuk promo kegiatan bisnis bahkan sampai promosi opini, karenanya tidak heran jika kita menemukan tagar berseliweran dan digunakan senjata baru dalam perang opini. Misalnya, Tagar #SaveHajiLulung menempati 3 besar Trending Topic di jagat twitter Kamis (5/3). Tagar yang dibangun oleh pengguna twitter untuk mengkritisi salah seorang angggota DPRD DKI dalam pusaran kisruh RAPBD DKI 2015. Di sisi lain Tagar dukungan terhadap Ahok yaitu #SaveAhok mendapatkan Hits yang cukup tinggi, setidaknya 96.895 hits terjadi untuk tagar ini, Jum’at (6/3) pukul 10.10 WIB. Perang opini dimenangkan oleh kelompok #SaveAhok. Hal menarik yang patut dibahas adalah. Pertama, fenomena Click Activist dan hilangnya daya Magis Media. Kedua mungkinkah tagar #SaveAhok mampu menolong Ahok lolos dari pasal pemakzulan?

Click Activist

Era keterbukaan dan kemudahan akses Informasi sedang berada pada performa terbaiknya. Ditandai dengan mulai munculnya kondisi masyarakat yang tidak bisa lepas kehidupannya dari keterbutuhan informasi yang terus terbaharui. Hampir semua kelas masyarakat menunjukan hal ini. Untuk kelompok masyarakat tertentu sangat dimanjakan dengan berbagai fasilitas canggih untuk mendapatkan informasi, cukup menjentikan jari dan memasukan kata kunci yang ingin diketahui maka akan tersedia di depan mata. Hal ini ditopang oleh daya penelitian manusia yang sangat pesat sehingga hampir setiap bulan ada penemuan gadget baru yang memudahkan masyarakat mengakses informasi.

Kelompok masyarakat yang dimudahkan untuk akses informasi kian bervariasi, mulai dari mencari info untuk keperluan studi, resep masakan, bisnis, ilmu pengetahuan dan bahkan sarana pergerakan. Sejatinya sejak era peradaban mulai menulis atau masuk jaman sejarah, maka kala itu manusia sudah mulai melakukan luapan ekspresinya ke dalam berbagai media. Ada yang berupa tulisan, gambar, patung atau karya lainnya. Di Indonesia sendiri pada era kemerdekaan kita pernah melihat tulisan “Merdeka Ataoe Mati” yang konon tidak diketahu penulisnya yang definitif. Kata adalah senjata, setidaknya pada saat perjuangan kemerdekaan yang silam, kalimat tersebut menjadi ekspresi kebulatan tekad bangsa Indonesia. Era berganti, maka sekarang kita mulai melihat kanal baru dalam perjuangan yaitu media sosial. Click Activist, sebut saja untuk mereka yang meyakini bahwa perjuangan melalui  media sosial merupakan jalan perubahan baru.

Isu koin untuk Prita atau ‘Koin Keadilan’ merupakan salah satu contoh sukses perjuangan perubahan yang dilakukan oleh teman-teman Click Activist. Nama Prita Mulyasari mulai mencuat setelah perseteruannya dengan salah satu Rumah Sakit Swasta yang bermula dari tulisan prita melalui surat elektronik yang kemudian menyebar berantai ke milis-milis dan  fasilitas media sosial Agustus 2008 yang silam. Tulisan tersebut dianggap mencoreng nama baik Rumah Sakit dan digugat serta dimejahijaukan oleh pihak rumah Sakit. Namun, reaksi masyarakat justru berbeda, yang terjadi adalah masyarakat justru simpati kepada Prita pada kondisi ini karena menganggap Prita adalah korban dari ketidakbecusan Rumah Sakit tersebut menunaikan Hak Pasien.

Berbondong-bondong masyarakat menggalang kekuatan untuk membantu prita dengan bingkai Koin Keadilan. Uniknya, ada sekelompok masyarakat yang berbendera Komunitas Fesbuker dalam pusaran gerakan tersebut, mereka adalah para Click Activist pegiat media sosial Facebook kala itu. Alhasil perjuangan ini berhasil, salah satu faktornya adalah pesan berantai pada jejaring media sosial.

Kanal baru dalam perubahan sosial inilah yang kini seolah menjadi tumpuan masyarakat tertentu. Sayangnya tidak selalu sesuai harapan dan bahkan memiliki kesempatan terbuka terjadinya Overdosis informasi atau yang lebih parah adalah kematian nalar masyarakat karena racun ganas bernama opini sesat. Kelompok pemegang kuasa serta modal yang besar acap kali menunggangi kanal media sosial untuk bahan pencitraan positif, menutupi aib, pengaburan informasi dan bahkan menyerang lawan politik. Kritik lainnya untuk kelompok ini adalah terciptanya jarak yang lebar antara dunia maya dan dunia nyata, karena tidak sedikit kita temukan kasus bahwa mereka yang kencang teriak di media sosial gagal menemukan kontribusi terbaiknya di dunia nyata. Membuat status atau tweet tentang kelaparan dari rumah makan mewah di mana banyak makanan tersisa yang tak termakan, ironi.

Kaidah Man Behind the Gun rasanya yang paling adil dalam rangka menyikapi kondisi ini, karena kuasa media ini akan bermakna atau tidak adalah tergantung dari tangan di balik kendali media tesebut. Buku Art of Deception karya jurnalis senior Amerika Serikat Jerry D. Grey merupakan contoh baik di mana kuasa media mampu menggerus daya magis media yang menyesatkan. Jerry mengungkapkan fakta-fakta kebohongan yang dilemparkan oleh pemerintah Amerika pada kasus 11 September 2001. Salah satu fakta yang diungkap adalah, Jerry tidak meyakini bahwa yang melakukan manuver pesawat tersebut adalah seorang Arab, karena menurut data yang diungkap tidak ada Pilot Arab yang memiliki sertifikasi kemampuan mengendalikan pesawat sehabat itu, pasalnya pesawat yang digunakan untuk membajak melakukan manuver terbang rendah melewati gedung-gedung tinggi. Dan satu-satunya yang mampu melakukan itu justru pasukan khusus dalam kesatuan militer Amerika itu sendiri, demikian ungkap Jerry. Sekali lagi, daya magis media untuk menutupi kebenaran mulai tergerus dengan sendirinya melalui serangkaian fakta.

Hal-hal yang memungkinkan Ahok Lengser

Ahok tengah dalam kondisi sulit, pasalnya hak angket yang disetujui oleh seluruh anggota dewan, tepatnya adalah 106 Anggota DPRD DKI pada 26 februari 2015 yang lalu akan berlangsung secara masif untuk menyelidiki tindakan fatal Ahok yang mengirim draft bukan hasil kesepakatan dengan DPRD pada saat sidang paripurna.

Fahmi Zulfikar Hasibuan memvonis bahwa Ahok melanggar 11 aturan perundang-undangan, hal ini disampaikan ketika beliau membacakan pandangan Fraksi Hanura pada saat Rapat paripurna 26 Februari 2015 yang lalu. Contempt of parliament atau pelecehan institusi istilah yang disampaikan Fahmi kala itu menanggapi blunder Ahok yang mengirimkan Raperda APBD DKI Jakarta 2015 yang berbeda dengan hasil kesepakatan dewan.

Dalam kondisi lain, Ahok pun mampu terjerat pasal 263, 264, dan 268 KUHP mengenai pemalsuan dokumen dengan ancaman penjara hingga delapan tahun. Pasalnya Ahok mengaku dengan sengaja membawa draft yang berbeda dengan hasil kesepakatan dengan DPRD ke kemendagri yang akhirnya ditolak karena ketidaksesuainnya. Bukannya memperbaiki kesalahan, Ahok malah mengaku sengaja mengirim draft tersebut dan mengajukan isu baru berupa dana siluman yang terdapat dalam draft yang merupakan hasil kesepakatan Pemprov DKI dengan DPRD.

Hal lain yang mampu menyebabkan Ahok termakzulkan adalah pasal 78 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah yang berkaitan tentang pasal pemberhentian kepala daerah. Pasal 78 point 2f berbunyi kepala daerah dan/atau kepala daerah dapat diberhentikan apabila melakukan perbuatan tercela. Hal ini pernah menimpa Aceng Fikri, Bupati Garut yang pernah diberhentikan karena perbuatan tercelanya. Masyarakat hafal betul bagaimana perangai Ahok yang jauh dari etika baik dalam berbicara atau mengeluarkan pendapat di muka umum. Sangat hangat dalam ingatan kita ketika kisruh dengan PAM, 24 Februari 2015 yang lalu Ahok melayangkan kata-kata “Bajingan” kepada PAM dengan nada tinggi, ironisnya kalimatnya adalah generalisir kepada semua orang PAM. Kemudian dalam suatu wawancara eksklusif pada suatu statsiun televise Ahok mengatakan berkali-kali secara LiveStupid itu Petugas PLN”. Atau kalimat penghinaan dengan istilah “maling” anggaran terhadap pimpinan dan Anggota DPRD secara umum. Tak ayal tingkahnya ini banyak mendulang kecaman publik karena semua mata pada waktu itu melihat kejadian tercela tersebut. Budaya timur Indonesia mengkategorikan tindakan tersebut sebagai tindakan tercela.

Pasal dokumen palsu, pasal perbuatan tercela dan manuver fatal terkait pelanggaran tata cara penyerahan draft Raperda APBD DKI 2015 siap menjadi ganjalan untuk Ahok. Jika memang benar berujung pada pemakzulan, maka ini artinya Ahok Lengser di Lumbung tagar yang membanjiri media sosial yang bernada dukungan kepadanya, namun dalam pandangan hukum, kebenaran tidak ditentukan oleh banyaknya “Like”, “Followers”, atau bahkan jumlah pendukung tagar.

 

Muhamad Hadi Kusumah S.Pd
Presidium Pemuda Djayakarta