sumatra.bisnis.com

Ratusan nelayan di Aceh yang menggunakan kapal 30 gross tonnage (GT), kini tak bisa melaut karena mahalnya harga bahan bakar jenis solar. Hal ini akibat dari efek Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. yang melarang kapal 30 GT menggunakan solar bersubsidi.

Seperti dikutip Okezone, di Pelabuhan Perikanan Lampulo, Banda Aceh, Kamis (5/3), sejumlah kapal nelayan, terutama kapal 30 GT parkir di pinggir dermaga, tanpa aktivitas melaut.

Para nelayan mengaku sudah sepakan tak melaut, karena kesulitan keuangan untuk membeli bahan bakar. Mereka hanya mengisi waktu luang dengan menjahit jalanya. “Kami tidak sanggup melaut lagi,” tutur salah seorang nelayan, Abu Bakar.

Menurutnya, harga solar tanpa subsidi untuk kapal 30 GT kini mencapai Rp11 ribu per liter. Artinya, sekali melaut nelayan harus mengeluarkan belasan juta rupiah. Sementara untuk kapal berbobot di bawah 30 GT, harganya Rp8.600 per liter. Itupun kuotanya dibatasi.

Abu Bakar mengatakan sejumlah nelayan yang kecewa dengan peraturan menteri, kini berencana menjual kapal 30 GT jika pemerintah bersedia membelinya. “Kalau pemerintah mau beli silakan,” ujarnya.

Wakil Sekjen Panglima Laot Aceh, Miftah Cut Adek mengatakan, kondisi ini terjadi di seluruh Aceh. “Ada sekitar 200 lebih boat 30 GT seluruh Aceh sekarang yang susah melaut karena mahal solar,” katanya kepada wartawan.

Miftah menuturkan harga solar non subsidi untuk kapal 30 GT yang mencapai Rp11 ribu per liter, jelas sangat memberatkan mereka. Karena sekali melaut paling sedikit mereka harus mengeluarkan Rp15 juta.

Beberapa waktu lalu, pihaknya bersama sejumlah nelayan sudah mengadukan hal ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, serta meminta Gubernur Aceh untuk menyurati Menteri Susi.

Susi diminta membatalkan peraturan yang melarang kapal 30 GT menggunakan solar bersubsidi. Jika pun memberlakukannya, kata dia, maka pemerintah harus mengecualikan Aceh. “Jangan disamakan semua,” tukasnya.

Menurutnya kapal 30 GT di Aceh berbeda dengan di Pulau Jawa yang rata-rata dikelola industri. “Di Aceh kapal ini semuanya dikelola pribadi, mereka memberlakukan sistem bagi hasil dengan nelayan,” ujarnya.

Jika kapal ini tidak melaut, kata dia, bukan saja pemiliknya yang merugi, namun ratusan nelayan kehilangan mata pencaharian. “Sekarang banyak nelayan yang nganggur, sementara mereka ada keluarga yang harus dinafkahi,” sebut Miftah.

(rr/Okz)