www.balacossa.com

JAM Pasir. Teringat pelajaran Fisika ketika SMP, jam pasir terbuat dari bejana berhubungan ukuran sedang berisi pasir. Sebelum ditemukan jam dengan jarum sebagai penunjuk arah, jam pasir menjadi barang penting untuk mengetahui waktu. Dulu, orang menggunakan jam pasir sebagai acuan waktu. Awalnya, mereka menggunakan gerakan Matahari sebagai acuan. Kemudian sekitar tahun 1400 SM, Ctesibus dari Aleksandria membuat jam dengan menggunakan pasir untuk mengetahui waktu.

Itulah yang kita kenal dengan nama jam pasir. Jam pasir ini bentuknya sangat sederhana. Jam ini dibuat dengan menggunakan dua tabung kaca yang rapat, tak tembus air. Tabung kaca itu menyemput di bagian tengahnya. Lalu, tabung itu diisi dengan pasir. Pasir akan mengalir jatuh dari satu tabung ke tabung lainnya. Kemudian, pasir yang diisi ke dalam tabung ini akan mengalir jatuh dari satu tabung ke tabung lain. Pasir yang mengalir melewati bagian tabung yang sempit itulah yang menunjukkan waktu. Untuk mengulangi kembali pengukuran waktunya, tabung tinggal di balik 180 derajat. Mudah sekali, bukan?

Akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan manusia, jam pasir sudah tidak digunakan lagi sebagai acuan standar waktu.

Presiden Jokowi sepertinya kembali ke jam pasir dalam menghadapi kemelut KPK vs. Polri yang belum jelas endingnya. Jokowi terlalu asik mempertimbangkan serta menengok ke masa lalu, sebagaimana jam pasir yang lamban. Akibatnya konflik KPK vs. Polri tidak segera diakhiri. Meski Jokowi tahu bahwa kedua lembaga itu memiliki arti dan fungsi penting bagi eksistensi negara, namun agaknya sikap ragu dan lamban pria asal Solo itu melebihi mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Penggunaan jam pasir pada masanya memang membantu umat manusia. Tetapi sejak peradaban manusia telah menemukan alat lain yang lebih mudah dan praktis, maka alat lama yang dianggap kadaluarsa pun ditinggalkan. Begitulah, jikalau PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi saat capres tahun lalu diibaratkan jam pasir maka kini saatnya Jokowi melirik kepada jam digital, jam baru dengan tingkat akurasi lebih dapat dipertanggung jawabkan.

Melirik jam digital dan menjauh dari jam pasir merupakan hal penting yang mesti dilakukan Jokowi saat ini. Meninggalkan tidak dalam arti melawan, akan tetapi menegaskan eksistensi diri selaku presiden yang dipilih rakyat. Meskipun dulu peran jam pasir begitu besar menaikkannya ke kursi RI 1. Eksistensi diri yang tegas serta tidak melulu terkurung dalam kungkungan jam pasir (baca: PDI Perjuangan) merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu rakyat.

Sementara jam digital boleh disebut di sini antara lain Tim Konsultatif yang diketuai Buya Syafi`i Maarif. Bisa juga para pengamat politik dan rakyat jelata yang menanti kepastian Jokowi untuk segera membatalkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jokowi mesti sadar bahwa jam digital jauh lebih akurat ketimbang jam pasir.

Seyogianya pula PDI Perjuangan tidak terlampau mendesakkan keinginannya melalui kekuasaan Jokowi. Intervensi ini akan memperlambat gerak Jokowi membebaskan Indonesia dari cengkeraman partai politik. Apa pun risikonya Jokowi harus secepatnya mengambil keputusan. Tak perlu takut dimarahi “mama” atau para “pengikut setia mama” karena di belakang sana rakyat jelata (yang memilihmu pada pilpres 2014) berada di barisan untuk  memantapkan bahwa Komjen BG harus tidak dilantik jadi kapolri.

Tegas

Memang berat meninggalkan jam pasir. Memang berisiko. Namun demikian sebagai orang nomor satu di Indonesia, jangan warisi keraguan presiden sebelumnya. Bukankah Anda tegas ketika memilih Tim Konsultatif? Bukankah Anda tegas manakala memilih Susi Pudji Astuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan --meski dengan level pendidikan formal yang kurang memadai? Dan bukankah Anda tegas ketika harus menanggalkan jabatan Walikota Solo untuk bertarung di pilkada DKI, serta tegas meninggalkan jabatan Gubernur DKI untuk berkompetisi pada pilpres yang lalu?

Kini ketegasan itu diperlukan rakyat jelata. Rakyat yang merindukan sosok pemimpin berkarakter, bukan pemimpin yang tunduk dan takzim pada keinginan partai politik. Rakyat yang kini semakin sadar bahwa rusaknya negeri tercinta ini lantaran wabah epidemi korupsi yang mengakar, sehingga perlu sebuah lembaga untuk memberantasnya.

Mengembalikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun harus segera dilakukan. Usulan untuk mengangkat Busyro Muqodas dan Robby Arya Brata menjadi komisioner KPK ada baiknya diturut. Setidaknya agar KPK tidak mandul dan upaya pemberantasan korupsi terus berlangsung. Ini juga membutuhkan sikap tegas seorang Jokowi seandainya tidak ingin senantiasa dikatakan sebagai petugas partai.

Sebagai presiden terpilih, sikap tegas untuk tidak melantikan Komjen Budi Gunawan merupakan pilihan tepat kendati Koalisi Indonesia Hebat tetap ngotot agar melantik BG jadi kapolri. Konflik KPK vs. Polri yang terus mengendap hanya akan membuahkan ketidakpercayaan rakyat terhadap karakter seorang presiden. Dengan kata lain lebih baik mengikuti jam digital daripada menggunakan jam pasir sebagai penunjuk waktu.

Jika pun kelak kebijakan Jokowi akan ditentang oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR (karena misalnya Jokowi berani tidak mengangkat Komjen BG), perjumpaan dengan Prabowo Subianto di Istana Bogor 29 Januari lalu bisa menjadi sistem tanda  dukungan Koalisi Merah Putih (KMP). Saya kira dalam hal ketegasan, Ahok lebih unggul dibanding Jokowi. Ahok berani mengundurkan diri dari Partai Gerindra yang mengusungnya menjadi Wakil Gubernur DKI, sementara Jokowi hingga kini belum lepas dari julukan olok-olok petugas partai.

Petugas partai berarti pelaksana amanat partai. Padahal kita semua tahu partai politik tidak merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia.***

(rr)