Foto: Dadang Kusnandar

MENJELANG Imlek tiba, tetangga saya keturunan etnis Tionghoa sering membagikan dodol untuk sekadar ikut menikmati kebersamaan Imlek. Sayang sekali ritual budaya itu kini tinggal kenangan. Menjelang Imlek pula, tetangga saya itu mengganti batang nio yang sudah terpakai dengan batang nio yang baru. Ia membakarnya dengan menggenggam kepalan tangannya dan mulutnya komat-kamit membaca do`a. Mungkin karena saya seorang muslim,  maka saya tidak mempertanyakan mantra atau do`a apa yang dibacanya sesaat setelah nio berwarna merah itu terbakar. Saya cukup melihatnya sebagai suatu ibadah yang diyakini encim itu, dan sesekali melirik ke meja persembahan di ruang tamunya yang penuh makanan, foto, patung dewa, juga lilin yang menyala.

Kenangan itu terasa lekat kembali ketika belum lama berkunjung ke klenteng Jamblang tahun 2011 yang lalu. Mengantar teman dari Jakarta untuk pengambilan gambar dan wawancara dengan sejumlah warga Tionghoa untuk film dokumenter pada sebuah televisi swasta. Meja persembahan (altar) yang lebar, ciamsi peruntungan, ornamen khas Tionghoa yang terus dipelihara, juga sebatang pilar dengan relief macan di kedua ujungnya yang dipasang tepat di tengah wuwungan klenteng. Bagi saya, klenteng yang pertama dibangun di Cirebon ini mengingatkan manakala sejumlah pasukan Putri Ong Tien Nio meminta kepada Sunan Gunungjati agar diperbolehkan mendirikan tempat ibadat, adalah merupakan bukti nyata bahwa agama dan kepercayaan tidak untuk dipaksakan. Melainkan untuk dilaksanakan sesuai keyakinannya. Pemberian ijin Sunan Gunungjati itu menandai penghormatan atas agama/ kepercayaan lain.

Imlek dengan demikian merupakan tanda bahwa pergantian tahun bukan semata sebuah siklus. Pergantian tahun juga menandakan adanya dinamisasi yang terus berlangsung dalam kehidupan. Leluhur Tionghoa telah membuktikan hal itu. Betapa mereka telah berhasil melakukan perjalanan budaya atau muhibah diplomatik ke negeri-negeri yang jauh, menyeberang lautan, lalu singgah di berbagai kerajaan yang dijumpai, berinteraksi, bertukar cindera mata, lalu melangsungkan perjalanan kembali ke negeri lain. Interaksi budaya inilah penyebab diterimanya etnis Tionghoa di Indonesia. Kedatangan bukan dengan maksud menjajah, yang sangat berbeda dengan kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) ke negeri lain untuk mengeksploitasi kekayaan alam negeri baru yang disinggahinya setelah melewati lautan.

Perbedaan inilah yang pada gilirannya mampu menyebarkan etnis Tionghoa di mana-mana. Lihat saja, hampir di berbagai negara ada China Town, minimal Kampung Cina. Dan ketangguhan untuk survive di tempat baru, kesungguhan memasuki dunia usaha yang dibarengi ketekunan membuahkan keberhasilan. Alhasil, etnis Tionghoa itu sedikit demi sedikit menguasai jalur perdagangan lokal. Cara yang ditempuh antara lain melalui penggunaan bahasa yang sama dengan penduduk lokal. Jangan heran bila etnis Tionghoa mampu berbahasa Cirebon, Jawa atau Sunda serta bahasa daerah lain sesuai bahasa yang digunakan penduduk setempat. Kemampuan adaptasi inilah menurut hemat saya merupakan kelebihan dan penanda keterpautan etnis Tionghoa dengan budaya setempat.

Ingat Imlek ingat betapa tangguh kaum Tionghoa mengubah nasibnya. Nasib yang mesti diperjuangkan karena jauh dari tanah leluhur, juga karena keinginan untuk hidup dalam status sosial yang bisa “memerintah” orang lain. Kata dalam tanda petik itu mencerminkan bagaimana China sebagai bangsa besar mewarisi akar budaya kerajaan yang kuat dan lama. Dari beberapa film  dapat kita saksikan betapa kerasnya dinamika yang berlangsung. Intrik politik, saling tikam antar marga, jatuh bangun sebuah klan, penguasaan daratan lain demi perluasan wilayah kerajaan dan sebagainya. Tapi juga kita temukan kebeningan hati, ketulusan kaum terpelajar dan warga kampung melihat penderitaan panjang akibat despotisme kekuasaan, lalu timbullah pemberontakan untuk menghentikan kesewenangan penguasa lalim. Sejarah China adalah sejarah yang menorehkan berbagai warisan kekuatan mengubah nasib.

Pada sebuah kesempatan di Kafe Pojok Jalan Pekalangan Kota Cirebon, seorang kakek Tionghoa bertutur kepada saya, “Saya keturunan Partai Kuomintang. Kakek saya ditindas, dikejar, diperintahkan untuk dibunuh lantas lari ke Pulau Formosa (Taiwan) karena ia pengikut dr. Sun Yat Sen”. Kakek itu pun meneruskan cerita kakeknya yang berakhir dengan persinggahan di Semarang, “Setelah tiba di Semarang, kakek saya harus beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Jadi rambutnya yang panjang dipotong sendiri oleh pedang ini”, ungkapnya bangga. Kisah ini hanya satu dari ribuan kisah perlawanan atas kekuasaan yang korup. Kisah ini pun memberikan rasa bangga bagi keturunannya. Ah, diam-diam nasionalisme telah tumbuh di tempat bergolak, di tempat yang banyak konflik. Nasionalisme itu tertular kepada anak cucunya.

Cemburu

Berbagai lintasan tentang etnis Tionghoa yang sempat terekam dalam memori saya kembali terkuak menjelang Imlek tahun 2015 inim, atau bertepatan dengan 2566 tahun China. Lintasan itu tidak saja memperlihatkan betapa sebenarnya banyak masyarakat kita yang cemburu melihat kesuksesan etnis Tionghoa di lapangan bisnis. Kecemburuan yang dilatari oleh berbagai sebab hingga tak jarang kita menyingkirkan mereka dari pergaulan sosial.

Kita memperlakukan mereka sebagai orang kaya yang eksklusif, tidak mau membaur, sombong, cukup diminta uangnya saja dan tidak perlu ikut kegiatan kampung, dan seterusnya. Kita diam-diam telah memberi stigma bagi etnis Tionghoa. Dan stigma itu boleh jadi masih melekat sampai kini. Benarkah etnis Tionghoa yang sukses secara ekonomi tidak berbaur dengan warga sekitar?

Ketika berbincang dengan Candra Lukita, pengusaha dan owner sebuah lembaga pendidikan komputer di Kota Cirebon, di ruang kerjanya yang nyaman, ia bertutur bahwa sejak tahun 2007 telah mendirikan Yayasan Rumah Kita, yayasan yang bergerak pada pengadaan kaki palsu bagi mereka yang membutuhkan. Konon sudah hampir 1.000 orang cacat dibantu yayasan ini. Istri dan anaknya pun terlibat dalam kegiatan sosial ini, kegiatan yang menepis perbedaan etnis dan agama. Ia pun bertutur Yayasan Rumah Kita telah menjalin kerjasama dengan yayasan serupa di Den Hagg, Belanda.

Aktivitas semacam ini bukan hanya upaya untuk gagah-gagahan, katanya, “Sebagai sesama mahluk Tuhan, kita harus berbagi. Mungkin saya bukan yang pertama menyediakan kaki palsu di Indonesia, tapi Yayasan Rumah Kita berangkat dari niat kemanusiaan”.

Encim berambut putih yang menyalakan nio di depan rumahnya, kakek yang bertutur keturunan aktivis Partai Kuomintang, Yayasan Rumah Kita, dan masih banyak kenangan lain tentang etnis Tionghoa --dalam hemat saya kiranya bisa menjadi awal kebersamaan yang baik. Kebersamaan yang bukan sekadar hiasan bibir karena kepentingan tertentu. Dan kegiatan sosial yang melibatkan etnis Tionghoa di Indonesia pun mesti segera dikembangkan. Untuk menghapus kesan eksklusif etnis Tionghoa dan untuk mengembalikan kebersamaan hidup bermasyarakat di tengah Indonesia yang terkoyak.***

(rr)