www.lintas.me

Keputusan Presiden Jokowi dalam 100 hari pertama beliau menjabat terkesan banyak yang tidak tepat. Sesungguhnya tingkat ketepatan seseorang mengambil keputusan, tidak hanya tergantung pada kecerdasan seseorang melihat persoalan dan mencari alternatif solusi paling tepat.

Tingkat ketepatan seorang mengambil keputusan, apalagi level presiden, sangat dipengaruhi oleh ‘kejernihan penglihatan’ yang dimilikinya dalam memandang persoalan. Tingkat kejernihan penglihatan itu sendiri dipengaruhi oleh derajat kepentingan yang dimilliki oleh pemimpin itu. Derajat kepentingan itulah yang membuat seorang pemimpin tampil ‘Negarawan heavy’ ataukah ‘Politisi heavy’.

Derajat kepentingan yang tinggi level kejernihannya akan selalu mengedepankan kepentingan Negara, bangsa dan rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin inilah yang disebut Negarawan. Semakin rendah level kejernihan dari seorang pemimpin, maka kepentingan yang dia perjuangkan adalah kepentingan jangka pendek, bagi sekelompok kecil yang diwakilinya (baca: kepentingan partai) dan bahkan kepentingan kroni, keluarga dan dirinya sendiri.

Presiden Jokowi pada 100 hari pertama ini sudah dililit masalah KPK vs Polri terkesan akibat lebih Politisi heavy dibanding Negarawan heavy. Andaikan Presiden Jokowi Negarawan heavy, pasti akan memberi kesempatan Jenderal Sutarman untuk menyelesaikan sebagai Kapolri hingga masa pensiunnya oktober 2015. Disinilah blunder dimulai. Karena tidak ‘genuine’ atau tidak jernih pikiran dan hatinya, maka keputusan pun jadi tidak tepat.

Andaikan Presiden Jokowi didesak oleh orang disekelilingnya untuk mengganti Sutarman, maka Presiden Jokowi yang hampir dapat dipastikan punya data bahwa BG punya persoalan hukum dengan KPK, pasti tidak akan mengajukan BG sebagai satu-satunya calon Kapolri, andaikan Jokowi genuine. Sekarang situasi yang sudah keruh ini pun masih menunjukkan Presiden Jokowi belum mau belajar lepas dari pola pikir politisi menuju negarawan.

Andai Presiden Jokowi genuine, maka segera gunakan prerogatifnya untuk menunjuk Wakapolri saat ini yang menjadi plt Kapolri sebagai Kapolri definitive. Teknis ketatanegaraan pasti bisa diatur jika keputusan ini berani diambil. Kelihatannya Presiden Jokowi masih belum belajar dan akan membuat blunder-blunder baru kedepannya untuk kasus KPK vs Polri.

Ketidakjernihan pola pikir Presiden Jokowi ini terlihat pula ketika saat ini memulai proyek mobil nasional dengan proton Malaysia. Presiden Jokowi melupakan sejarah bahwa kendaraan popularitas beliau menjadi debutan pahlawan sebagai walikota solo menuju level yang lebih tinggi adalah lewat mobil ESEMKA.

Andaikan Presiden Jokowi genuine, maka beliau akan meneruskan program mobil nasional ESEMKA dibanding berbaik-baik dengan tetangga serumpun yang kerap menghinakan bangsa Indonesia, bangsa Presiden Jokowi. Tampaknya Presiden Jokowi harus segera disadarkan untuk kembali menjadi Negarawan dan jangan jadi Politisi. Beliau terpilih sebagai presiden bukan karena beliau politisi, tetapi dipilih karena diharap oleh rakyat Indonesia menjadi presiden yang negarawan.

Save Presiden Jokowi, so that we save KPK and we save Polri. Be Genuine Mr Presiden Jokowi.

Jogja, 7 Februari 2015

 

(rr/KAY)