www.jendelasarjana.com

Televisi telah kehilangan etika. Setidaknya, demikian pandangan sejumlah kalangan, saat menyaksikan televisi heboh memberitakan kondisi korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 dan keluarga yang tidak kuat menahan kesedihan karena ditinggalkan korban, beberapa waktu lalu.

Berbagai protes disuarakan, baik oleh keluarga korban pesawat nahas itu sendiri, para akademisi, hingga pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bahkan, pihak KPI langsung mengeluarkan surat peringatan kepada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik atas pemberitaan terkait kecelakaan AirAsia QZ8501 tersebut.            

Tidak hanya dalam kasus pemberitaan AirAsia. Dalam aneka kasus pemberitaan lainnya, televisi di Indonesia juga kerap mengabaikan etika, yang sejatinya dijadikan acuan dalam setiap aktivitas jurnalistik. Ada beberapa aspek penting yang semestinya harus tetap dijadikan pegangan oleh televisi saat menjalankan kegiatan jurnalistiknya, antara lain prinsip kecermatan (accuracy), kebenaran (truthfulness), kejujuran (fairness), dan keleluasaan pribadi (privacy).

Eksploitasi Hasrat Ingin Tahu 

Beberapa tahun terakhir, bila dicermati secara lebih teliti, akan ditemukan kemiripan pola antara pemberitaan televisi sebagai sebuah karya jurnalistik, dengan pola yang dipakai oleh produsen sinetron bersambung. Salah satu kemiripan itu ialah ketika sebuah informasi tidak pernah selesai diberitakan, tetapi dibiarkan menggantung, seolah menggugah rasa penasaran dan hasrat ingin tahu khalayak tentang apa yang akan terjadi selanjutnya (what’s next?).

Bukan rahasia lagi, bila pola lama pemberitaan media yang menganut prinsip 5W+1H telah perlahan-lahan dilampaui. Pelampauan ini dilakukan dengan mengeksploitasi rasa ingin tahu khalayak. Bukankah rasa ingin tahu adalah salah satu hasrat dasar manusia yang mengendalikan segala aktivitas kognitifnya? Bisa jadi eksploitasi hasrat ingin tahu manusia ini sejalan dengan perkembangan dunia yang mengandalkan kecepatan beralih dari satu hal ke hal yang lain. 

Pada titik ini, media menunjukkan kedigdayaannya dalam kecepatan beralih dari satu isu ke isu lainnya. Belum usai khalayak dibanjiri oleh informasi seputar kecelakaan AirAsia, polemik pemilihan Kapolri yang berujung pertikaian KPK vs Polri menjadi banjir baru yang deras melanda. Pola yang dipakai pun tetap sama, khalayak diarahkan untuk senantiasa bertanya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Eksploitasi hasrat ingin tahu ini kemudian dipakai sebagai pintu masuk bagi pemilik media, pengiklan dan pihak yang memiliki kepentingan dalam mengarahkan perhatian dan arah dukungan khalayak. Hasrat ingin tahu bukan lagi menjadi urusan privat yang bebas dari pengaruh pihak luar. Hasrat ini menjadi objek yang bisa diarahkan oleh pihak lain untuk kepentingan tertentu.

Komodifikasi

Dalam melakukan eksploitasi terhadap rasa ingin tahu khalayak, televisi melakukan apa yang disebut komodifikasi konten media. Komodifikasi ini mencakup proses ketika pelaku media mengubah pesan melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi yang mengandung aneka potensi pemaknaan sehingga menjadi pesan yang bernilai jual. Karena itu, isi media akan didesain sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang menarik dan dapat sejalan dengan selera audiens.

Bentuk komodifikasi ini dalam televisi di Indonesia, dapat dilihat dengan makin maraknya bentuk penyajian berita yang memadukan unsur berita (news), dengan unsur hiburan (intertainment). Komodifikasi semacam ini, tentu bukan semata-mata untuk menarik perhatian khalayak, tetapi juga untuk menarik perhatian para pemodal agar membeli jeda waktu yang ada sebagai ruang untuk iklan produk-produk komersial. Ketika sebuah acara semakin menarik dan menyedot perhatian khalayak dalam jumlah besar, tentu akan semakin potensial untuk pemasaran berbagai produk komersial lewat iklan. Kehadiran pengingklan yang membeli jeda waktu ini akan memberi keuntungan ekonomi bagi pihak perusahaan media.

Berdiri di atas logika yang seperti itu, pihak perusahaan media akan mendesain agar sebuah program acara mampu menjawab kebutuhan audiensnya, dengan cara memadukan beragam kebutuhan audiens dalam satu program atau beberapa program, sebagaimana terlihat dalam aneka program variety show di stasiun-stasiun televisi yang menggabungkan musik, kuis interaktif, game show, hingga hipnotis hanya dalam satu program acara. Pola yang sama dipakai juga dalam program-program berita di televisi. Tidak cukup dengan memberi liputan langsung mengenai suatu kejadian, khalayak juga disuguhi talk show yang menghadirkan beberapa narasumber untuk mengulas kejadian tersebut, serta analasis dari berbagai tokoh yang diberi label pangamat. Tentu saja ini juga tidak pernah bebas kepentingan. 

Permainan kepentingan ini dapat dilihat dalam beberapa hal (Nyarwi, 2008: 160) yakni, proses penentuan konstruksi suatu pemberitaan; bagaimana suatu berita diperoleh dan diproduksi, pemilihan narasumber, kutipan pernyataan yang ia berikan, serta  bagaimana narasumber ini direpresentasikan di hadapan publik. Bila menggunakan model talk show di radio atau televisi maka dinamika politik media akan bermain pada proses pemilihan para narasumber, topik-topik utama yang hendak dibahas, serta sudut pandang yang akan digunakan dalam pembicaraan. Lebih lanjut, politik media juga turut mempengaruhi seleksi isu-isu yang hendak disajikan, dan apakah isu-isu ini berkaitan dengan agenda politik atau agenda publik.

Di sini terlihat bahwa pihak media juga secara sadar mengantisipasi apa yang selanjutnya bakal terjadi dalam masyarakat. Ada upaya untuk mengendalikan proses pemaknaan atas suatu informasi yang diterima khalayak. Upaya pengendalian ini bahkan sudah dimulai ketika informasi itu dibuat dan dibagikan kepada khalayak.

Kembali ke Hasrat

Sekali lagi, semuanya soal hasrat. Hasrat untuk mengetahui, menguasai dan mengendalikan. Hasrat ingin tahu khalayak dieksploitasi sebagai jalan bagi sebagian pihak untuk memenuhi hasrat menguasai dan mengendalikan, setidak-tidaknya menguasai dan mengendalikan wacana yang sedang berkembang di kalangan khalayak, pun hasrat menguasai keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Kedua hasrat ini akan saling mempengaruhi, cuma yang satu cenderung mengekspolitasi yang lain demi keuntungan yang tidak selalu seimbang.

Maka, tidak ada salahnya bila masyarakat sebagai khalayak yang mengkonsumsi media, sadar untuk mulai menahan hasrat ingin tahu yang selalu dirangsang oleh televisi. Sebab disadari atau tidak, televisi telah berubah menjadi sejenis candu bagi masyarakat modern. Perlahan-lahan, candu itu telah menunjukkan efek mematikan yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Dan, ketika kita membicarakan hasrat, masihkah ada ruang untuk membicarakan etika?

(rr/AF)