news.liputan6.com

CIREBON termasuk kota kecil yang giat membangun hotel. Beberapa hotel berbintang telah puluhan tahun memadati kota seluas 37,02 km2 itu. Belum lagi pada dekade terakhir ini beberapa hotel baru bermunculan, dan masih beberapa hotel dalam proses pembangunan. Kegairahan membangun hotel tentu seiring dengan dinamika ekonomi, khususnya bisnis perhotelan yang masih menguntungkan.

Akan tetapi awal Januari tahun 2015 ini pengusaha yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Salah satunya adalah curhat soal larangan rapat PNS di hotel. Apa penjelasan JK? Ketua Umum PHRI S.B. Wiryanti Sukamdani mengatakan, pihaknya mendapatkan penjelasan langsung dari JK yang mengatakan, pemerintah membatasi rapat PNS di hotel, bukan melarang. Alasan aturan tersebut adalah untuk efisiensi anggaran.

Pembatasan itu artinya, kalau tidak perlu rapat yang penting, rapatnya dikurangi. Kalau tidak perlu mengadakan perjalanan, perjalanan dikurangi seperti itu. Jadi, pemerintah ingin rapat-rapat PNS dilakukan sesuai kebutuhan. Bila peserta rapat banyak dan ruangan terbatas, maka tidak dilarang menggunakan fasilitas hotel, atau gedung pertemuan.

Sebuah terobosan bagus dalam rangka efisiensi anggaran pemerintah, menurut hemat penulis seusai membaca berita tersebut. Dua hal yang dibidik pada pernyataan wapres, yakni rapat di hotel mewah dan kunjungan kerja atau perjalanan dinas --dalam hemat saya merupakan upaya yang mesti segera diwujudkan. Sebagaimana kita mahfum panitia rapat (eksekutif dan legislatif) kerap mengadakan rapat dinas di hotel berbintang. Dengan alasan ruang kerja di kantor kurang representatif atau sekalian refreshing dan sebagainya, banyak rapat dinas dilakukan di hotel berbintang.

Pada satu sisi rapat dinas dan bermalam di hotel berbintang menghidupkan pariwisata dan bersamaan dengannya bisnis perhotelan tumbuh. Kota-kota kecil membangun hotel bagi keperluan pariwisata setempat. Maka rapat dinas yang disertai menginap di hotel berbintang 3 – 5 menjadi opsi panitia rapat. Pekerjaan sekaligus refreshing bisa didapat dalam waktu yang sama. Sambil menyelam minum air, tetapi hati-hati jangan sampai karam.

Soal rapat di hotel berbintang, kawan saya ketika masih menjabat sebagai Anggota DPR RI pernah melontarkan penolakannya di dalam sebuah rapat fraksi. Katanya, di DPR ini banyak ruang rapat dan representatif, jadi tidak perlu rapat di hotel mewah dan berbintang. Itu buang-buang anggaran katanya tahun 2004 yang lalu. Tetapi pendapatnya tidak direspon pemimpin rapat. Entah kenapa. Maka usul sang teman berlalu begitu saja, bagai nyanyi sunyi seorang bisu.

Demikian pula perjalanan dinas atau kunjungan kerja, banyak kurang efektif. Dalam seloroh teman-teman NU, “La yamut wala yahya”, tidak bermutu tapi makan biaya. Itu sebabnya dua hal yang dipaparkan Wapres JK sebaiknya direspon positif oleh kantor-kantor pemerintah dan teman-teman di parlemen. JK menjelaskan bahwa pemerintah ingin melakukan penghematan anggaran perjalanan dinas. Anggaran perjalanan dinas tahun lalu sebesar Rp 45 trilyun. Ini harus dipangkas. Caranya ialah mengurangi rapat dinas di hotel mewah, bila perlu menghapus samasekali.

Sudah cukup banyak pengamat politik mengkritisi perjalanan dinas dan rapat kerja di hotel mewah. Sudah banyak pula anggaran yang dikeluarkan bagi dua keperluan tersebut namun hasilnya jauh di bawah target. Yang ada ialah pakansi atawa plesir ke lokasi wisata. Sementara rapat dan atau studi banding hanya satu dua jam saja.

Tiga Instrumen

Kritik para pengamat itu sepertinya diabaikan lantaran tidak memiliki kuasa politik. Dengan demikian paparan Wapres JK menyoal ini mesti dianggap sebagai kemajuan bagi efisiensi anggaran sehingga anggaran bagi dua hal tersebut dapat dialihkan ke sektor lain yang lebih bermanfaat. Ketika seorang wapres berkehendak menghemat anggaran negara, ketika itu pula seharusnya pihak terkait mematuhi kehendaknya. Penghematan atau efisiensi ini penting dalam hal alokasi keuangan kantor-kantor pemerintah. Artinya draft rencana kerja sebisa mungkin memangkas agenda rapat di hotel mewah dan perjalanan dinas yang (umumnya) kamuflase itu. 

PHRI saya kira tidak perlu merasa kebakaran jenggot. Pendapatan hotel tidak seluruhnya bersumber dari hunian aparatur pemerintah. Saya yakin justru pihak swasta lebih banyak yang menggunakan jasa dan fasilitas perhotelan dibanding aparatus pemerintah. Manajemen hotel pun memiliki kiat marketing yang beraneka ragam demi memajukan bisnisnya sehingga mampu meningkatkan jumlah tamu menginap.

Saya pun yakin manajemen hotel memiliki beragam acara dan kerjasama dengan pihak mana pun dalam rangka menghidupkan bisnisnya. Jadi jikalau PNS memang akhirnya tidak akan mengadakan rapat dinas lagi di hotel mewah maka pembatasan yang dipaparkan Wapres JK merupakan tantangan pihak managemen hotel bagi eksistensi perhotelan.

Berikut ini adalah tiga kiat pemasaran bisnis perhotelan yang pasti sudah diketahui oleh pihak manajemen hotel. Namun untuk sekadar mengingat, saya nukil dari enterpreneurship. Strategi pemasaran hotel adalah aktivitas yang menggunakan strategi dan taktik, yang direncanakan sedemikian rupa untuk menyampaikan ‘cerita’ tentang pelayanan yang dapat diberikan suatu hotel dengan, memberikan rangsangan yang bergairah pada tamu untuk mau memilih pesan yang disampaikan hotel untuk dibandingkan dengan pilihan yang lain dari hotel pesaing. 

Tiga hal penting ialah Instrumen Produk untuk memberikan kemudahan kepada wisatawan sebagai pemakai jasa, produk dijual dalam bentuk paket dengan memberikan pelayanan terpadu (integrated services).

Kedua, Instrumen Distribusi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, mereka tidak perlu berhubungan langsung dengan perusahaan yang menjual jasa-jasa tersebut, tetapi cukup membeli melalui perantara seperti Tour Operator, Biro Perjalanan Wisata, Hotel Reservation Agent, Wholesaler atau Representative Office.

Dan ketiga, Instrumen Promosi agar calon wisatawan dapat informasi yang lengkap dan akurat tentang produk atau jasa yang hendak dijual, perlu ada promotion materials seperti brochures, leaflets, booklet, poster atau tourist map dan social media sehingga dengan memiliki sumber informasi tersebut mereka dapat mempersiapkan perjalanan wisata dengan baik dan memuaskan.

Demikianlah efisiensi anggaran negara dapat dilakukan oleh PNS, dan di sisi lain bisnis perhotelan pun tetap dinamis.

Cirebon sebagai kota dengan warisan budayanya yang cukup kuat tidak akan mematikan bisnis perhotelan. Semua kembali kepada managemen hotel untuk memanfaatkan peluang bisnis di balik kekuatan budaya lokal Cirebon, tanpa mesti bergantung kepada rapat-rapat dinas yang diadakan oleh aparatus pemerintah.***

(rr)