www.semutijo.com

Analisis kepemilikan (ownership) merupakan salah satu cara ampuh untuk membedah keberpihakan media yang manifest melalui pemberitaan. Analisis ini biasanya berkait erat dengan afiliasi politik pemilik media bersangkutan dengan salah satu kekuatan politik. Tulisan ini hendak menguraikan bagaimana praktek jurnalisme oleh media telah mengalami bias dalam memberitakan sebuah peristiwa. Dengan menyorot dua stasiun televisi partisan (TV One dan Metro TV), tulisan ini akan menunjukkan bagaimana praktek jurnalisme telah tercemari oleh syahwat politik pemilik media dalam pemberitaan pemilihan calon Kapolri.

Penting untuk dicatat bahwa pemilik kedua stasiun televisi, yakni Surya Paloh (Metro TV) dan Aburizal Bakrie (TV One), merupakan figur yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu silam. Jika Surya Paloh terang-terangan mendukung pasangan Jokowi-JK, Aburizal Bakrie telah menyatakan setia kepada pasangan Prabowo-Hatta. Menariknya, karena konfigurasi politik ini relatif tidak mengalami perubahan berarti pasca Pilpres. Implikasinya, arena pertarungan kedua kubu pun meluas tidak hanya di ranah legislatif (DPR), namun juga dalam dua media televisi tersebut. 

“Perang” kedua media itu kembali muncul dalam pemberitaan terkait penunjukan Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri oleh presiden Jokowi. Beberapa hari ini, kisruh penunjukan BG sebagai calon tunggal orang nomor satu di kepolisian itu memang belum selesai menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Terlebih di televisi. Banyak yang mengecam keputusan Jokowi karena buruknya rekam jejak BG dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi ada pula yang mendukungnya.

Pada 12 Januari lalu, TV One melalui program “Bang One”, mengkritik keras rencana Jokowi tersebut. Secara visual, keputusan Jokowi menetapkan BG sebagai calon tunggal Kapolri dikritik karena Jokowi tidak melibatkan KPK dan PPATK. Hal ini dianggap berbeda saat Jokowi menggodok nama-nama calon menteri yang akan membantunya di Kabinet Indonesia Hebat. Ketika itu, Jokowi benar-benar mendengarkan rekomendasi KPK dan PPATK. 

TV One juga mengaitkan isu ini dengan Megawati Soekarnoputri. Dalam narasinya, TV One menyebut BG sebagai perwira tinggi yang pernah menjadi ajudan Megawati saat menjadi presiden. Tak heran, jika kemudian sosok BG dianggap memiliki kedekatan dengan putri Bung Karno dan lingkaran elit PDIP.

Bagaimana dengan stasiun televisi pesaingnya, Metro TV? Alih-alih menggunakan data serupa, stasiun TV milik Surya Paloh ini justru memuat testimoni positif terkait profil BG. Melalui Pramono Anung, Metro TV hanya mengutip pernyataan petinggi partai berlambang kepala banteng itu, terutama yang terkait dengan prestasi gemilang BG di masa lampau: semisal, sebagai lulusan terbaik Akademi Kepolisian Angkatan 83 (Adi Makayasa) dan lulusan terbaik Lemhanas. 

Selain itu, Metro TV juga memberi ruang yang besar untuk menepis sejumlah kritik yang muncul atas penunjukan BG sebagai calon tunggal Kapolri oleh Jokowi. Kali ini, Metro TV mengutip pernyataan Ketua DPR, Setya Novanto, yang mengatakan bahwa penunjukan BG merupakan hak prerogatif presiden dan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, DPR akan menerima dan mendukung. Dengan mengutip editorial media harian Media Indonesia, Metro TV bahkan mencemooh suara-suara yang menuntut presiden melibatkan KPK dalam penunjukan Kapolri. “Melibatkan KPK dalam penunjukan Kapolri, bukan kewajiban Presiden, karena hal itu tidak diatur dalam Undang-undang”. Demikian bunyi editorial tersebut.

Tak hanya sampai di situ, demi menguatkan narasinya, editorial itu bahkan mengutip ungkapan dalam kultur di negeri ini yang sangat terkenal: “Kalau bisa diperumit, buat apa dipermudah”. Penggunaan kutipan ini, jelas menunjukkan dengan tegas penolakan Metro TV terhadap pandangan yang menolak pencalonan BG sebagai calon tunggal Kapolri. Meskipun demikian, Metro TV tetap mengaku akan mendukung KPK dengan menyatakan: publik tak akan meragukan jika kemudian KPK menetapkan BG sebagai tersangka. 

Dua hari kemudian, sikap Metro TV berubah. Melihat kejanggalan penetapan BG sebagai tersangka, editorial Metro TV menuding KPK mencederai tatanan berbangsa dan bernegara. Bila itu yang terjadi, menurut editorial tersebut, jangan salahkan jika publik kehilangan kepercayaan pada lembaga rasuah. Di sini, Metro TV seolah ingin menggiring penonton (publik) untuk mendelegitimasi KPK sebagai lembaga negara yang selama ini diakui kredibilitasnya dalam memberantas korupsi.

Dalam posisi yang berseberangan, TV One berbalik mempertanyakan motif Jokowi, dengan membandingkannya saat hendak mengumumkan nama-nama menteri yang akan duduk di kabinetnya. Untuk mendudung narasi ini, TV One mengutip pernyataan keras Abraham Samad yang membandingkan era pemerintahan Jokowi dan SBY. Sebuah kritik yang bisa dimaknai sebagai sindiran kepada tata kelola pemerintahan yang tidak memiliki tradisi ketatanegaraan. Di bagian akhir pernyataan tersebut, Abraham menegaskan bahwa tidak ada jalan lain bagi Jokowi selain harus membatalkan pencalon BG sebagai Kapolri. TV One bahkan mengulang sampai beberapa kali tayangan saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka, sehari sebelum Jokowi menyerahkan nama BG sebagai calon tunggal Kapolri ke Komisi III DPR. 

Meski tidak ada satu pun pernyataan Jokowi terkait penetapan tersebut, Metro TV justru membuat kesimpulan jika sang presiden terkejut dengan penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK. Seakan data KPK adalah sesuatu yang baru. Padahal jauh hari sebelumnya, hampir semua media ramai memberitakan profil BG sebagai calon Kapolri. Dan, untuk menguatkan dukungannya, Metro TV menampilkan catatan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang membeberkan bahwa dugaan kepemilikan rekening gendut BG, sebagaimana yang pernah dimuat dalam majalah berita mingguan Tempo, dianggap telah selesai, dengan adanya surat yang disampaikan oleh Kapolri kepada PPATK kala itu. Artinya, menurut Metro TV, status BG dianggap “bersih”.

Narasi yang kontras dengan semua itu kemudian dimuat oleh TV One. Dalam tayangannya, nama BG yang sempat masuk dalam bursa calon Kapolri namun terjegal oleh catatan merah KPK, terus diulang. TV One bahkan menunjukkan kejanggalan itu dengan menyebut presiden Jokowi seakan mengabaikan rekam jejak BG dan tidak menghentikan niatnya untuk memilih jenderal berbintang tiga itu sebagai calon tunggal Kapolri. 

Puncaknya, Metro TV mendiskreditkan KPK melalui dua jurus: pembunuhan karakter dan politisasi. Kali ini, Metro mengutip langsung pernyataan BG ikhwal pembunuhan karakter dan politisasi itu saat melakukan dengar pendapat dengan komisi III DPR. Pendiskreditan itu kemudian makin dipertajam oleh Patrice Rio Capella, salah seorang fungsionaris partai Nasdem di DPR. Dengan memberi penekanan pada penetapan BG sebagai tersangka di “menit-menit akhir”, Metro TV jelas hendak menguatkan opini bahwa penetapan BG sebagai tersangka, sarat dengan muatan politis. Sehari setelahnya, Metro TV semakin beringas dengan menurunkan editorial yang terkesan provokatif. Metro TV menuding KPK sebagai “bukan dewa” yang bisa saja salah dalam mengambil keputusan, termasuk saat menetapkan BG sebagai tersangka.

(rr/Ar)