www.kaskus.co.id

WUJUD kecintaan kepada bangsa salah satunya tampak pada bahasa. Jargon lama bahwa bahasa menunjukkan bangsa memiliki kebenaran manakala penggunaan suatu bahasa menjadi kebiasaan yang berlaku secara umum. Bahasa dimaksud pada kalimat awal tentu saja bukan melulu merujuk kepada bahasa nasional, melainkan tidak kalah penting ialah bahasa lokal.

Sekitar 746 bahasa lokal di Indonesia adalah kekayaan yang patut disyukuri, setidaknya sebagai wujud nyata kebhinekaan. Akan tetapi kebhinekaan itu perlahan namun pasti menghilang manakala berhadapan dengan fakta makin berkurangnya pengguna bahasa lokal. Memang belum ada penelitian terpadu untuk mengukur jumlah pengguna bahasa lokal. Dan hanya sedikit lembaga bahasa lokal yang memperoleh perhatian serta apresiasi penggunanya.

Bahasa lokal sebenarnya merupakan kekuatan yang ikut membentuk bahasa nasional lantaran bahasa Indonesia yang berbasis bahasa Melayu juga banyak menyerap kosa kata bahasa lokal. Bahkan pada peristiwa monumental Soempah Pemoeda 1928, pemuda yang turut menyatakan kebahasaan yang satu itu terdiri atas utusan pemuda dengan nama lokal.

Dengan kata lain bahasa lokal menjadi tulang punggung bahasa nasional. Dan otomatis menggunakan bahasa lokal berarti turut serta menegakkan nasionalisme, menegakkan keindonesiaan.

Tulisan ini akan berbagi serba sedikit tentang bahasa Cirebon. Bahasa yang menurut geografis meliputi wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dengan sebaran hingga ke Purwakarta dan Karawang, juga sebagian Majalengka Utara.

Berikut ini adalah contoh materi pelajaran Basa lan Sastra Cerbon kelas 9 semester ganjil: Badan kula supados sehat jasmani rohani niku merluakaen prilakune sapertos pertami makanan minuman bergizi, kaping kalih istirahat ingkang cukup, kaping tiga urip teng lingkungan ingkang bersih. Teng agama islam wonten makanan minuman ingkang dihalalaken sareng diharamaken. Makanan ingkang halal yaniku saged saking sae didahar, contone hasil ternak kecuali ternak babi, makanan ingkang diharamaken aertine makanan ingkang dilarang oleh agama islam lan mboten sae didahar, contone yaiku babi, bangkai dll. Bahaya dahar makanan haram yaiku angsal dosa, badan mboten sehat lan mboten sae, ngelemahaken iman.

Materi tersebut di atas meski masih terdapat kesalahan, tetap saja siswa kelas 3 SLTP mengalami kesulitan menjawab pertanyaan dari wacana tersebut. Saya menyebut kesalahan misalnya pada kalimat pertama: merluaken prilakune (memerlukan perilaku). Juga masih terdapat penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam bentuk kata (misalnya pertami, dll = dan lain-lain, oleh, makanan) serta gramatika yang membentuknya.

Dari satu kasus itu terbukti bahwa bahasa daerah itu sulit. Ia menjadi sulit karena semakin jarang pelajar berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa daerah. Di rumah sekali pun, orang tua yang masih memakai bahasa daerah bila berbincang dengan tetangganya, ia tidak menerapkan bahasa daerah Cirebon kepada anak-anaknya. Kondisi ini makin semaput pada pasangan suami istri yang tidak membiasakan berkomunikasi dengan bahasa daerah. Pilihan pun umumnya jatuh pada bahasa Indonesia, sebagian ada yang suka memilih bahasa Inggris, dan sedikit yang berbahasa Belanda.

Bukan Etalase

Sepertinya berbincang dengan bahasa Cirebon menunjukkan kelas bawah. Ada rasa malu jika seorang perempuan cantik yang bekerja di perusahaan swasta dipanggil nok. Ia lebih senang dipanggil mbak atau neng. Padahal mbak dan neng berasal dari bahasa Jawa dan Sunda. Saya tergolong sering memanggil nok kepada perempuan pekerja di Cirebon, walaupun ia terpaksa menjawab namun ada raut wajah ketidaksenangan atas panggilan nok. Mungkin karena posisi saya sebagai pembeli maka perempuan pekerja itu mau menjawab pertanyaan saya, itu pun dijawab dengan bahasa Indonesia.

Pertanyaan yang muncul bagaimana kita melihat fakta bahasa Cirebon saat ini? Bahasa daerah yang mengalami dekonstruksi ternyata juga berlangsung pada kurikulum sekolah, dan ia semakin tidak dipahami manakala penggunanya lebih asik menggunakan bahasa lain. Fakta ini jelas memperburuk bahasa daerah, bahasa ibu, bahasa lokal dan sebutan lain yang mengena padanya. Buruk dalam pengertian, jangankan untuk berkembang, bahkan bertahan pun sulit. Dan diam-diam kita menjadi pelaku yang memperburuk bahasa Cirebon.

Secara pribadi saya pun mengalami kesulitan ketika anak bertanya Pekerjaan Rumah (PR) pelajaran Basa lan Sastra Cerbon saat SMP dulu. Beruntung ada yang bisa dimintai tolong untuk menjawabnya. Saya berkirim pesan pendek kepada Mas Nurdin, Mas Opan, Mas Supali, atau ke Dalang Kaji Mansur. Tapi setelah pelajaran bahasa Cirebon itu tidak dipelajari lagi oleh anak saya di tingkat SMA, saya pun lupa materi basa Cerbon apa yang pernah saya tanyakan kepada teman-teman. Inilah keadaan yang diam-diam memarginalkan bahasa daerah, menempatkan bahasa daerah pada subordinat, lantas menjelaskan betapa sebenarnya kita belum berpihak kepada bahasa daerah.

Itu sebabnya pelajaran bahasa Cirebon perlu diangkat kembali sebagai kekayaan, serta tidak sebatas memandangnya sebagai hiasan di etalase bahasa. Parahnya lagi jika hiasan itu tidak ditoleh sama sekali. Penghancuran bahasa daerah tentu akan berlangsung dalam waktu cepat, dan itulah yang memacu sejumlah kawan penggerak eksistensi Bahasa Cirebon untuk merumuskan kembali format yang tepat dan mudah dipahami siswa/ pelajar serta orang tua di rumah agar membiasakan penggunaan Bahasa Cirebon. Dan bahasa lokal (mana pun) bukan etalase semata.***

Catatan: Tulisan ini disajikan pada Kongres Basa lan Sastra Cerbon, 2012

 

(rr)