bali.bisnis.com

MASIH ingat lagu Desaku? Lagu masa kecil yang menggambarkan keindahan panorama desa dengan alamnya yang asri. Desa yang permai. Tempat lahir beta. Desa yang didambakan dan dirindukan. Desa yang menjadi tujuan manakala mudik lebaran dan berbagai acara keluarga besar karena di desa handai tolanku berada. Praktis, desa menjadi lahan subur pembangunan yang difasilitasi negara.

Saat ini terdapat 81.248 desa/ kampung di Indonesia. Tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, puluhan ribu desa itu dengan konstruksi budaya masing-masing saling menopang untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi puluhan ribu desa itu harus dibangun dan ditata dengan tetap mempertahankan ciri khasnya sehingga keberbagaian/ kemajemukan senantiasa menjadi penanda kesatuan yang padu, sebagaimana tercermin dalam slogan abadi Bhinneka Tunggal Ika. Desa harus tetap mencerminkan spesifikasinya sebagai tempat singgah dan tempat istirahat tanpa mengeliminir dinamika ekonomi warganya.

Dan begitulah pemerintahan Jokowi sudah membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Pembentukan kementerian ini fokus pada pengembangan desa hingga desa berubah menjadi desa yang sesuai harapan pemerintah. Namun, masalah program-program desa hingga saat ini masih dikerjakan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Melihat adanya tumpang tindih tersebut, seharusnya Presiden Joko Widodo konsisten membagi tupoksi dua kementerian itu. Dalam hal ini dengan menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang yang mengamanatkan adanya dana desa yang nantinya, jika keuangan negara sudah bagus, per desa bisa menerima sekitar Rp 1,4 miliar per tahun dari APBN.

Namun demikian pada pasal 112 tertulis bahwa desa diurus oleh Kementerian Dalam Negeri. Tentu saja ini mengundang masalah karena adanya dua kementerian yang mengurusi objek yang sama. Jika Kemendagri tetap mengurusi desa, maka percuma pemerintah membentuk Kementerian Desa,‎ Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi‎. Kalau ini dibiarkan maka tumpang tindih kebijakan dan administrasi antara dua kementerian itu akan semakin besar. Seharusnya UU diurus oleh kementerian terkait, bukan oleh kementerian lain. Hal ini berakibat pada overlaping tatkala dua kementerian itu mengambil kebijakan yang semula ditujukan bagi pengembangan dan pembangunan desa.

Desa di Indonesia kerap menjadi objek permainan politik pemerintah pusat. Sebut saja adanya Badan Perwakilan Desa (BPD) yang pada praktiknya menjadi kendala pelaksaan tugas kepala desa. BPD ketika awal pembentukannya seakan memerankan diri sebagai rival kepala desa. Alhasil, pembangunan desa terkendala oleh arogansi masing-masing pihak. Anggota BPD mempunyai hak mengajukan rancangan Peraturan Desa, mengajukan pertanyaaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, serta memperoleh tunjangan.

Dengan keanggotaan BPD yang dipilih sebagai wakil dari penduduk desa yang bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat yang terdiri dari Ketua RT/RW, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat, serta berjumlah gasal dengan jumlah sesuai ketentuan yang berlaku ~BPD sepertinya menjadi sejenis “hantu” yang menakutkan bagi kepala desa.

Ingat desa ingat pula salah satu program kampanye capres Prabowo 2014 lalu yang mengatakan hendak menggelontorkan dana Rp1 miliar per tahun bagi setiap desa. Ketika itu banyak pro kontra menyoal rencana ini. Meski semua pihak memahami bahwa ini merupakan taktik kampanye namun menuai protes dengan mengatakan negara pasti bangkrut jikalau terlaksana. Tetapi lihatlah sekarang UU No 6 Tahun 2014 menjanjikan Rp1,4 milyar per desa per tahun apabila keuangan negara sudah bagus. Sampai kapan keuangan negara kita bagus dan apa tolok ukur yang digunakan hingga dapat dikatakan bagus? Tentu saja hanya aparatur negara yang bisa menjawabnya, dalam hal ini Kementerian Keuangan.  

Inharmonisasi

Tjahjo Kumolo versus Marwan Jafar, source: nasional.inilah.com

Desaku yang permai sejatinya bukan sekadar objek permainan politik dan kebijakan pemerintah pusat, akan tetapi menjadi sasaran pembangunan dan pemberdayaan tanpa mengesampingkan karakter masyarakat desa berikut budaya yang mengasuhnya. Dengan kata lain apabila desa seluruh Indonesia diatur oleh sebuah undang-undang lantas dipaksakan pelaksanaannya oleh dua kementerian negara, maka di sini akan muncul inharmonisasi. Ketidakharmonisan yang berangkat dari  tumpang tindih kebijakan, selain ketidakjelasan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antarkementerian.

Agar desa menjadi permai dan masyarakatnya tetap bergerak/ bekerja sesuai profesi yang disandang, sebaiknya campur tangan pemerintah pusat tidak berlebihan. UU Otonomi Daerah yang telah lama dilaksanakan kiranya cukup menjadi referensi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dengan demikian keberadaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada gilirannya akan memicu inharmonisasi. Terlebih lagi ketika desa juga diurus oleh Kementerian Dalam Negeri.

Dalam hemat saya sebaiknya pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi lebih detil mengurus daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Kisah Sipadan, Ligitan atau Amabalat yang kehilangan alamat, tidak terulang lagi dalam episode pemerintahan saat ini. Memajukan dan melengkapi fasilitas di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar jauh lebih penting dengan target tidak lepas menjadi milik negara lain dan atau diklaim sebagai bagian negara lain. Biarkan desaku yang permai diurus oleh masyarakatnya sendiri. Pemerintah sebagai administrator dan fasilitator hanya bertugas memantau perkembangan desa.

Kendati demikian, pemerintah pusat harus fokus menetapkan induk kementerian yang  mengurus desa, daerah tertinggal dan transmigrasi. Tidak seperti sekarang yang masih tumpang tindih. Atau jangan-jangan ada muatan politis tertentu demi kepentingan lain sehingga kemendagri tetap turut serta mengurus desa?

Untuk menjadi desa yang permai seperti digambarkan lagu Desaku, sekali lagi, kebijakan politik dan perundang-undangan yang disusun sebaiknya memerhatikan kausalitas yang membingkainya. Desa sebagai harapan adalah desa yang memberikan rasa nyaman bagi penghuninya sehingga kontribusi bagi pembangunan negara tetap dapat dilakukan. Salah satu kriteria menuju desa yang permai ialah kebijakan politik pemerintah pusat dan kejelasan sistem perundang-undangan desa.

(rr)