www.mediabaca.com

PERAN politik perempuan dalam penggal sejarah Nusantara (lantas bernama Indonesia) telah menjadi catatan penting dan menyemangati gerakan perempuan untuk dapat melakukan perubahan yang berarti bagi bangsa. Tak pelak aktivitas perempuan itu menjadi inspirasi kaum laki-laki untuk mendarmabaktikan dirinya dalam percaturan politik. Tipis sekali batasan perempuan dan politik karena keduanya selalu bersinggungan dan melengkapi.

"Terbukti Ibu Megawati mampu memenangkan pertarungan-pertarungan politiknya ketika politik menjadi amat berwajah laki-laki yang ganas. Sejarah membuktikan Perempuan bisa menjadi pemimpin kuat dalam organisasi politik, juga menjadi negarawan." Tak sebatas pujian kepada Megawati, melainkan Jokowi menyimpan sesuatu yang harus diketahui publik pada Hari Ibu 22 Desember yang baru lalu.   

Akan tetapi bahwa peran aktif kaum perempuan di Indonesia mulai muncul setelah masa kemerdekaan, ini yang patut dipertanyakan. Sepertinya Jokowi salah membaca sejarah. Cukup banyak peran aktif perempuan dalam perang sporadis di beberapa wilayah Nusantara untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman kolonialisme Portugis dan Belanda. Berawal dari Nimas Kalinyamat yang bernama asli Ratu Retno Kencono dan memperoleh nama penghormatan dari Portugis yakni Rainha de Jepara “Senora de Rica” artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya. Itu sebabnya di pantai utara Jepara terdapat benteng Portugis, dan Nimas Kalinyamat kerap berperang melawan Portugis termasuk membantu Patih Unus dari Kerajaan Demak pada Oktober 1574. Sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai Quilimo.

Ada pula Christina Martha Tiahahu yang bersama Kapitan Pattimura melawan Belanda di Ambon tahun 1817, juga perempuan-perempuan hebat di Aceh: Cut Nyak Dhien, dan Cut Mutia. Masih banyak lagi perempuan-perempuan hebat sebelum Indonesia Merdeka yang bergulat dengan pikiran beningnya manakala kondisi psikis dan fisik bangsa demikian terjatuh dalam kubangan. Termasuk di sini peran aktif seorang pedagang Bedak Ningrum yang diproduksi sendiri secara manual dari Bandung, Inggit Garnasih. Itu sebabnya bukan hanya pada masa Sukarno, kaum perempuan amat aktif dalam kegiatan politik, sebagaimana ditulis Jokowi dalam laman resmi fans page Facebook-nya. 

Peran perempuan jangan direduksi dalam ruang domestik dan dijauhkan dalam penyelesaian persoalan nasional. Keberhasilan perempuan dalam ruang publik harus dibarengi dengan perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan dalam pembangunan manusia Indonesia. Fundamen yang pertama kali mesti dibangun adalah kesejahteraan perempuan. Kesejahteraan tersebut meliputi faktor kesehatan, seperti bagaimana negara mampu secara efektif menyediakan pelayanan kesehatan bagi perempuan hamil dan memberikan pelayanan kesehatan bagi bayi-bayi yang dilahirkan. Negara harus mampu menyediakan akses itu, karena itulah akses paling fundamental dalam pembangunan kemanusiaan, karena kita mulai membangun manusia dari titik nol. Pada catatan Jokowi ini saya sependapat.

Persoalannya kemudian, politik berwajah laki-laki sebagaimana ditulis Jokowi agaknya mencerminkan pemandangan yang sangar dan jauh dari kesetaraan gender. Dalam hal ini nampak jelas kekurangsukaan Jokowi atas timpangnya wajah politik yang laki-laki itu, yang macho itu. Padahal semua mahfum bahwa politik itu fleksibel dan tidak selamanya mencerminkan keganasan. Kadang politik amat lembut, jauh lebih lembut dari apa pun. Menyoal perubahan wajah politik itu, Jokowi merasakannya sendiri sejak ia menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI ke 7.

Jikalau Jokowi hendak membangun kesejahteraan perempuan dengan berbagai program yang telah disusun, maka mulailah dengan pemahaman sejarah perempuan Nusantara yang tidak keliru, tidak salah baca. Manakala pembacaan sejarah peran politik perempuan didistorsikan  maka upaya menyejahterakan perempuan (secara umum) disederhanakan kepada satu sosok, Megawati Soekarnoputri.

Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) Nurul Arifin, source: nasional.kompas.com

Tidak Berlebihan

Ini berbeda dengan pernyataan Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Susan Jasmine Zulkifli, mengatakan, momentum Hari Ibu harus dimaknai sebagai kebangkitan kaum perempuan. Kebangkitan di sini bukan berarti untuk mengalahkan kaum pria, melainkan untuk memahami potensi dirinya masing-masing. "Jadi tidak tunduk begitu saja pada cara pandang orang lain yang meremehkan kekuatan perempuan," kata Susan di sela acara nonton bareng film Cahaya dari Timur: Beta Maluku di Balai Kota, Senin, 22 Desember 2014.  Susan Jasmine Zulkifli lebih elegan menempatkan perempuan dalam peran politik.

Kekuatan perempuan dimaknakan Susan sebagai bukti keberanian menyatakan berkata tidak pada suatu hal yang tidak disetujui. Keberanian itu sejalan dengan fakta sejarah Nusantara ratusan tahun silam. Di sisi lain mengangkat/ memuji Megawati secara berlebihan justru membenarkan jokes lawan politik Jokowi yang kerap menjulukinya sebagai boneka bu Mega. Pujian kepada ketua umum partai sebaiknya tetap berpegang pada kondisi faktual bahwa Jokowi adalah Presiden RI. Jadi tidak perlu berlebihan tatkala memuji Mega. Bahwa Megawati adalam politisi dan negarawan, rakyat Indonesia tahu ~sebagaimana rakyat pun tahu kapasitas beliau dalam bidang politik dan kenegaraan.

Wajah politik perempuan dengan demikian merupakan refleksi langsung situasi yang membelenggunya. Peran dan aktivitas perempuan secara langsung di kancah politik tak ubahnya sebuah perlawanan atas kondisi zaman (yang membelenggu). Tidak akan ada perlawanan Nimas Kalinyamat dari Jepara seandainya Portugis tidak menguasai jalur perdagangan di Batavia. Pun tidak akan ada Cut Nyak Dhien dan Cut Mutia jikalau Belanda tidak ngotot hendak menguasai Aceh. Begitu pula tidak bakalan Inggit Garnasih berjualan Bedak Ningrum demi menyambung dan mempertahankan hidup manakala Kusno ditahan Belanda di penjara Banceuy Bandung. Hal serupa menimpa Megawati sejak Kongres PDI Medan dan peristiwa Kudatuli (Kudeta Dua Tujuh Juli) 1996  yang melambungkan namanya di area politik Indonesia.

Perempuan dan politik akhirnya jalin menjalin mengisi catatan sejarah. Wajah politik perempuan pun bisa berubah sesuai situasi yang menelikungnya. Situasi yang membuat perempuan tidak nyaman lantas menampilkan sosoknya dalam pertaruhan dan percaturan politik. Semuanya diberikan bagi proses menuju kesejahteraan. Dan penikmat kesejahteraan itu tidak cuma kaum perempuan. Wajah politik perempuan Nusantara sebelum kisah Nimas Kalinyamat dalam penyerbuan ke Batavia telah dikisahkan dalam Ken Dedes di Kerajaan Singasari yang begitu mempesona Ken Arok hingga berlangsung killing field sesama saudara seketurunan. 

Tak elok apabila politik dipilah ke dalam perbedaan kelamin laki-laki dan perempuan. Politik ya politik, dan pelakunya bisa siapa saja, termasuk kaum transgender.***

(rr)