www.greeners.co

SEBUAH pesan panjang beredar melalui ponsel minggu lalu. Begini isinya: Sukses menggarap film Jagal, kini Joshua Oppenheimer kembali merilis film terbarunya, Senyap. Berlatar belakang perjuangan keluarga korban mencari pembunuh kakaknya pada Tragedi 1965. Amnesti Internasional mengadakan nobar (nonton bareng) film Senyap pada hari Kamis 11 Desember 2014. Selain itu akan ada pembubuhan petisi tanda tangan untuk Raif Badawi, aktivis HAM di Arab Saudi, yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, 1000 cambuk dan dituduh murtad (terancam hukuman mati) cuma karena membuat laman online politik dan sosial. Acara serentak diadakan di Indonesia bertepatan dengan hari HAM Internasional. Pesan di atas itu pun masih berlanjut: Akan ada diskusi tentang hak asasi manusia yang masih dicederai di mana-mana.

Saya termasuk senang berselancar di YouTube. Selalu saja selalu ada video baru yang diunggah tiap hari. Beberapa diantara video baru tersebut  terdapat yang mencederai rasa kemanusiaan. Tentu saja karena YouTube menggratiskan unggahan video siapa pun dan dari belahan bumi mana pun maka pengguna dan penikmat YouTube memanfaatkan media online gratis ini bagi kepentingannya.

Tahun lalu saya nonton video berjudul Jagal melalui YouTube. Menyeramkan memang dan mencederai rasa kemanusiaan. Dengan seting pengakuan saksi korban Tragedi 1965 di Indonesia dan dokumentasi penganiayaan kepada orang yang dituduh berideologi komunis. Tapi saya tidak meninggalkan komentar apa pun di kolom yang tersedia di bawah unggahan video itu. Saya hanya penikmat YouTube yang hanya ingin tahu sekilas sejarah kelam bangsa tercinta ini.

Ajakan nobar film Senyap karya sutradara yang sama dengan pembuat film Jagal, Joshua tentu saja cukup merangsang keingintahuan membuka video tersebut melalui YouTube. Seketika beberapa pertanyaan mengemuka dan menari-nari sambil gundah di kepala saya. Kenapa aktivis Amnesti Internasional senang sekali mengungkap sisi kelam sejarah Tragedi PKI tahun 1965 di Indonesia? Kedua, kenapa pula keburukan dan atau rekayasa politik para penentang negara-negara mayoritas muslim sepertinya memperoleh peringkat tinggi untuk diunggah ke YouTube? Raif Badawi misalnya, atau ISIS yang sukses menarik gelombang protes di mana-mana.

Amerika Serikat yang mengklaim diri sebagai polisi dunia semakin terang-terangan membombardir markas dan kilang minyak (yang diduga milik ISIS) di Mosul, Irak dan perbatasan Suriah. Dari YouTube pula saya tahu kisah penyerangan itu. Penyerangan atas nama HAM. Atas nama sebuah kata yang terus mengundang tanya dan perdebatan. Mendapati penyerangan udara pasukan AS yang tak berprikemanusiaan terhadap negara muslim, masyarakat Indonesia cenderung memihak AS. Hebat sekali dampaknya setelah sukses menggiring dan mempengaruhi opini kaum muslim tentang bahaya laten para teroris, penyerbuan militer AS memperoleh dukungan kaum muslim.

Kembali ke ajakan nobar film Senyap. Secara bahasa judul filmnya cukup menarik. Secara isi, film itu pun menggugah rasa kemanusiaan yang terkoyak. Siapa pun kita pasti terenyuh melihat kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dan bersenjata kepada masyarakat sipil. Secara politis, Senyap mengandung misi pengusutan Tragedi 1965 di Indonesia. Dan secara politis pula, penonton Senyap melalui media YouTube digiring untuk mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tahun 1965.

Ada yang bias di sini. HAM sepertinya menjadi momentum untuk menciptakan kebencian model baru terhadap pemerintahan dan negara. Kita disajikan film rekayasa dengan sasaran menciptakan ketidakpercayaan kepada pemimpin negeri sendiri. Tragedi berdarah 1965 di Indonesia yang sudah 49 tahun berlalu sepertinya menjadi asupan energi yang menguatkan perlawanan sejumlah aktivis HAM. Padahal di tahun 1965 itu kebanyakan mereka belum lahir, dan mereka tidak paham apa yang terjadi sesungguhnya. Begitu banyak varian dan versi tragedi 1965. Saking banyaknya maka semakin sulit dipahami dan ditelusur, terlebih untuk diselesaikan dan tidak diungkap lagi dalam bentuk apa pun.

Variabel

Berkali saya berbincang dengan keluarga ex Tapol PKI, termasuk dengan ex Tapol itu sendiri. Saat itu terbayang betapa kejamnya aparat keamanan membantai mereka tanpa proses hukum. Bahkan di antaranya banyak yang salah tangkap, tetapi langsung dicap PKI dan digiring ke killing field. Lain kesempatan saya berbincang dengan pensiunan TNI yang ikut serta menumpas G30S. Mendengar kekejaman PKI menggiring perlawanan rakyat terhadap pemerintahan yang sah, saya mangkel kepada aktivis PKI. Juga mendata para pemilik tanah di kampung-kampung dan setelah ketahuan pemiliknya rata-rata berstatus haji, aktivis PKI itu pun mengerahkan rakyat untuk merompak tanah dan kekayaannya.  Pada kesempatan berbeda, saya mendengar penuturan langsung seorang santri sebuah pesantren di Jawa Tengah yang menyembelih beberapa batang leher orang PKI. Antara ya dan tidak, kisah yang dituturkannya membuat saya ngeri.

Kisah perjumpaan saya dengan beragam profesi menyoal Tragedi 1965 setidaknya membuat saya tidak gampang percaya kepada siapa pun. Dalam perjumpaan yang sejenak kadang kita mudah terbawa suasana. Dalam hal apa pun. Rasa keadilan dan kemanusiaan yang terusik itu lantas diam-diam ingin dimanjakan. Ingin melawan segala bentuk ketidakadilan. Dan lantaran ketidakkuasaan maka perlawanan itu dilakukan melalui cara mudah dan gratis, yakni melalui pembubuhan tanda tangan, pernyataan penolakan segala tindak yang melanggar HAM melalui media sosial, komentar di YouTube dengan menggunakan akun email palsu alias abal-abal.

Source: krjogja.com

Terbukanya partisipasi publik menyampaikan komentar dan gagasan melalui dunia maya sebaiknya disertai dengan data diri yang benar. Setidaknya sebagai bentuk keberanian menyampaikan kebenaran. Justru ironi apabila kritik, saran, dan atau caci maki disampaikan dengan cara sembunyi.

Tiba-tiba saya teringat HAM. Dalam seloroh teman-teman mengatakan, “Kalau mau tahu sosok HAM, datanglah ke depan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa di Kasepuhan”. Ternyata HAM yang dimaksud adalah Hamdani, pedagang buku murah dan perlengkapan shalat . Hamdani, nama panggilannya HAM.***

(rr)