www.anneahira.com

Perempuan itu bernama Gina Puspita. Meski namanya barangkali tak terlalu dikenal secara luas di Indonesia, tetapi ia perempuan yang luar biasa. Gina adalah seorang doktor lulusan universitas terkemuka di Prancis dan pernah bekerja dengan kedudukan yang penting di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yakni sebagai kepala departemen struktur optimasi divisi riset dan pengembangan. Bagi seorang perempuan, tentu itu merupakan sebuah pencapaian akademik dan karir yang gemilang dan membanggakan. Keberhasilan Gina menginspirasi dan sangat menarik bagi banyak orang, terutama para perempuan lainnya.

Tapi ada yang lebih menarik perhatian lagi dari kehidupan seorang Gina. Ia rela dimadu oleh suaminya. Bahkan, Gina mencarikan sendiri istri kedua, ketiga dan keempat untuk suami tercintanya. Iya, ia sendiri yang mencarikannya. Gina seorang muslimah yang taat agama. 

Ia sendiri tak merasa dihina sebagai perempuan yang dipoligami, sebagaimana tudingan para kaum feminis selama ini. Kalau poligami betul-betul dilakukan untuk Allah, kata dia, Allah akan memberikan pertolongan dan kebahagiaan yang tak terkira. Ia menentang kalangan feminis yang mengolok-olok, menolak dan “mengharamkan” poligami. Daripada terjadi perselingkuhan dalam pernikahan monogami, mending melakukan pernikahan poligami. Sayangnya, menurut Gina, di Indonesia, yang sering diributkan adalah persoalan poligaminya, sementara perselingkuhannya tidak.

Bagi Gina, poligami itu sebetulnya enak dan perlu. Perlu dilakukan oleh muslimah dan tak usah dihindari. Ia menunjukkan bahwa keluarganya pun tentram dan harmonis. Poligami juga bisa membentuk keluarga yang besar. Dan, keluarga besar, lanjut dia, sangat membantu bagi penguatan perjuangan dakwah islam. Demikian, “cerita” Gina dalam sebuah wawancara dengan Hidayatullah.com beberapa tahun lalu yang saya temukan dan simpan.  Wawancara lengkapnya bisa diakses di sini: http://m.hidayatullah.com/berita/wawancara/read/2006/12/11/4810/poligami-itu-enak-dan-perlu.html#.vg_ha6oazcq

[ ]

Perempuan lainnya adalah Ratna (nama samaran). Saya mengenalnya sekitar setahun yang silam. Ia memang tak sama seperti Gina. Ratna hanya seorang perempuan biasa, bekerja di rumah, dan hanya lulusan sekolah menengah atas. Belasan tahun ia dibohongi suaminya yang ternyata menikah diam-diam dengan perempuan lain. Setelah peristiwa itu terkuak, hati Ratna hancur sehancur-hancurnya. Tapi ia tak berontak dan melawan secara berlebihan kepada suaminya. Ratna tetap istri yang lembut dan tabah. Ia memaafkan kelakukan suaminya. Ia tak minta diceraikan, ia lebih mementingkan dan memikirkan nasib anak-anaknya. Meski ada memar dan lebam di hatinya yang ia simpan sendirian.

Setenang dan setabah-tabahnya Ratna, jiwanya tetap tergoncang. Dalam ketergoncangan itu, ia menimbang dan memikirkan kembali alasan agama (islam) yang membolehkan poligami yang kerap diucapkan oleh suaminya. Perasaan dan pikirannya yang sederhana tak mampu menerima pembenaran-pembenaran itu. “Laki-laki memang seenaknya saja,” ujarnya.  Poligami sulit ia terima. Apapun alasannya.

Berlebihan

Dua fragmen cerita nyata di atas, bagi saya menarik karena merupakan representasi dari pertarungan wacana tentang poligami di Indonesia saat ini. Cerita pertama bisa dianggap mewakili “kelompok ” yang membolehkan poligami dengan penekanan berlebihan. Poligami tidak hanya sekadar ingin “dibersihkan” dari tudingan para feminis yang menganggapnya sebagai bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan. Tetapi lebih dari itu, “pintu” poligami ingin dibuka selebar-lebarnya dengan menganggap poligami itu enak dan perlu bagi seorang muslimah. Istilah “pintu” yang saya pakai di sini saya pinjam dari ahli tafsir Indonesia yang otoritatif, Prof. Quraish Shihab, dalam bukunya berjudul “Perempuan”.

Dalam pemahaman kelompok ini, poligami tak perlu ditakuti dan dijauhi. Kalau dilakukan untuk Allah, poligami justru akan membahagiakan dan mengangkat harkat perempuan. Seperti buah kesemek, kulit luarnya saja tak karuan, tapi dalamnya sangat manis. Poligami dibenci karena dari kulit luarnya saja dianggap merugikan perempuan, tapi jika dilakoni secara benar, maka di dalamnya ada “manisnya” hikmah dan kebahagiaan. Sebab poligami salah satu dari syariah Allah. Landasan teologis yang kerap dijadikan sandaran adalah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3 yang membolehkan laki-laki menikahi empat perempuan asalkan adil, dan sunnah Rasulullah yakni praktik poligami Muhammad.

Sementara cerita yang kedua, bisa dianggap mewakili “kelompok” yang ingin menutup rapat-rapat “pintu” poligami. Bagi kelompok ini, poligami itu menyakiti dan merugikan perempuan. Al-Qur’an hanya menerangkan soal poligami dan memberikan syarat-syarat yang ketat yaitu keadilan. Dan, keadilan tak mungkin dipenuhi oleh laki-laki. Di surat An-Nisa ayat 129, Allah sudah menegaskan bahwa laki-laki tidak akan pernah bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Seharusnya, kata mereka dalam kelompok ini, lanjutan ayat tersebut menutup dibolehkannya poligami yang diterangkan di ayat sebelumnya. Kelompok ini kerap mendialogkan ayat-ayat poligami dengan teori-teori feminisme dan kesetaraan gender.

Selain itu, mereka juga berdalih, bahwa Muhammad itu mempraktikkan poligami hanya 9 tahun dalam hidupnya, dan itupun beliau menikahi janda-janda yang tua (selain Aisyah). Sementara 25 tahun, Muhammad hidup bermonogami dengan istri tercintanya, Khadijah. Artinya, islam adalah agama bagi monogami. Tidak bagi poligami.  

Pintu Darurat Kecil

Dua kelompok tersebut di atas berbeda dalam menyikapi poligami. Tapi memiliki kesamaan yang tegas: sama-sama memiliki “hasrat” yang barangkali berlebihan. Yang satu, berhasrat ingin membuka pintu poligami selebar-lebarnya. Yang lainnya, berhasrat ingin menutup pintu poligami serapat-rapatnya.

Saya tertarik dengan penafsiran, pemahaman dan sekaligus sikap Quraish Shihab menyangkut poligami ini, yang menurut saya, cukup moderat, penuh kehati-hatian dan rasional. Tidak mengorbankan dan menabrak nash dan “mengumbar” nafsu diri sendiri yang barangkali tak disadari saat menafsirkan ayat suci.

Ahli tafsir itu memberikan sebuah pengandaian yang cukup menarik tentang poligami. Quraish Shihab mengatakan begini: Poligami itu mirip dengan pintu darurat kecil dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu; yang duduk di samping pintu darurat itupun haruslah orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan membukanya serta baru diperkenankan membukanya setelah mendapatkan izin dari pilot.

 

Quraish Shihab, source: www.antarafoto.com

Pengandaian Quraih Shihab itu jelas menohok dua kelompok yang ingin membuka pintu poligami selebar-lebarnya dan mereka yang ingin menutup pintu poligami serapat-rapatnya. Menurut Quraih Shihab, tak mungkin pintu poligami ditutup serapat-rapatnya, karena nabi dulu tidak melarang sebagian sahabat yang melakukan poligami.

Dalam lanjutan surat An-Nisa ayat 129, juga ditegaskan bahwa ketidakmampuan laki-laki untuk berbuat adil terhadap istrinya berkaitan dengan kecenderungan hati. Oleh sebab itu kemudian nabi sendiri berdoa dan mengadu pada Allah: “Ya Allah, inilah bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku.  Maka janganlah tuntut aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Abu Daud). 

Tapi tak mungkin juga membuka pintu poligami selebar-lebarnya, karena syaratnya cukup berat. Poligami hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mampu dan itupun dalam kondisi tertentu yang mendesaknya harus berbuat demikian. Poligami tak boleh jadi keumuman. Poligami kata Quraish Shihab seperti “pintu darurat kecil dalam pesawat”.

Pertanyaan penting untuk diajukan (terutama untuk Dr. Gina dan kelompok yang ingin membuka pintu poligami selebar-lebarnya) kemudian adalah: kalau pesawatnya terbang dengan normal dan tak ada masalah, mengapa harus membuka pintu darurat kecil dalam pesawat? Bukan lebih baik memaksimalkan “beribadah” dalam satu pesawat saja? Bahagia dengan cukup satu istri…

(rr)