www.klikpositif.com

Tidak ada dinding penjara, anjing penjaga,

atau lautan dingin seperti parit mematikan yang mengelilingi Robben Island,

yang mampu menggagalkan keinginan seluruh umat manusia. (Nelson Mandela)

 

TIDAK seorang pun mau menjadi tahanan politik. Tidak satu pun dari kita mau menambahkan data di dalam curriculum vitae (cv) pernah menjadi tahanan politik. Akan tetapi jika memang keadaan memaksa menjadi tahanan politik atas kerasnya rezim penguasa atau berbagai sebab lain, di bawah ini adalah ingatan dan data yang masih perlu penambahan menyoal tahanan politik.

Uruguay pada tahun 1976, tahanan politik tidak boleh bicara tanpa ijin. Juga tidak boleh bersiul, tersenyum, menyanyi, berjalan cepat, menyapa sesama tahanan lainnya. Mereka juga tak diijinkan membuat atau menerima foto atau gambar-gambar perempuan hamil, sepasang kekasih yang bersanding, kupu-kupu, bintang-bintang di langit atau burung yang sedang terbang atau hinggap di rerantingan. Saya memperoleh informasi itu dari Eduardo Galeano, Century of the Wind, hal 231, buku ketiga trilogi Memory of Fire. Ketika berselancar di dunia maya, kalimat bagus itu menggoda imajinasi saya.

Bayangkan apabila tahanan politik dilarang melakukan hal yang manusiawi, perlakuan apa sajakah yang diterima para napi itu di dalam sel penjara? Saking kerasnya perlakuan sipir dan stafnya, para tahanan politik di Uruguay tahun 1976 bagai kerap tumbuh di batu. Hidup segan mati tak mau. Tentu saja ada dendam yang hendak diwujudkan ketika kesempatan untuk lolos dan melarikan diri terbuka.

Eduardo Galeano meneruskan tulisan satirenya. Pada suatu minggu yang cerah, Didasko Perez, seorang guru yang dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa oleh rejim militer hanya karena memiliki gagasan ideologis, dikunjungi oleh anak perempuannya, Milay namanya, berusia lima tahun. Milay membawakan oleh-oleh untuk ayahnya berupa  gambar burung-burung yang riang berjingkat yang digambar olehnya. Di pintu gerbang halaman, sebelum Milay memasuki pintu penjara, penjaga mencabik-cabik gambar itu. Dan Milay hanya bisa menahan tangis dan sedih di dalam hatinya.

Bagaimana halnya dengan tahanan politik di Indonesia pada tahun yang sama, 1976? Saya tidak tahu secara utuh, meski punya pengalaman berkali menjenguk tahanan politik. Akan tetapi dapat ditelusur, tahun itu negeri di lintas equator itu tengah memasuki masa pembangunan yang dikenal dengan istilah Repelita. Rencana Pembangunan Lima Tahun yang mulai pertama diundangkan pada 1966 tak lama setelah Jendral TNI AD Soeharto dilantik sebagai Presiden RI. Pelita tahap ketiga sebagai kelanjutan tahap sebelumnya dan dianggap berhasil membawa kemakmuran rakyat. Setidaknya harga terkendali, nilai tukar rupiah stabil dan konversi ke dolar Amerika tidak separah sekarang.

Tentu saja orang melupakan bagaimana para tahanan politik diperlakukan di dalam penjara. Bahkan boleh jadi mereka yang berstatus tahanan politik memperoleh perlakuan baik dari para sipir berikut stafnya. Padahal 1976 berjarak 11 tahun dari peristiwa politik yang mengharubiru kemanusiaan kita. Ya, September 1965 merupakan tahun panas dan berdarah-darah ~hingga sekarang pun kisah tentang itu masih multitafsir. Pada kisah memilukan dan memalukan itu banyak rakyat Indonesia yang menjadi korban keganasan, api peluru, fitnah dan dendam.

Mengenai tahanan politik di penjara Indonesia di tahun 1976 itu, agaknya bisa kita lihat pada keadaan fisik para tahanan ex PKI. Di Cirebon misalnya. Rumah Tahanan Militer (RTM) yang berganti nama menjadi Rumah Tahanan (Rutan) dan berlokasi di Jalan Benteng dekat pelabuhan Cirebon, tentu punya banyak kisah tentang tahanan politik ex PKI atau yang di-PKI-kan. Usia saya masih belasan pada 1976 dan baru lulus SD. Tetangga saya sering menyuruh mengantar makanan yang dikemas dalam rantang alumuniun untuk suaminya yang menjadi tahanan politik. Bersepeda kumbang milik bapak, saya mengantarkan makanan itu.

Tidak ada pemeriksaan apa pun kepada saya. Entah karena yang datang anak-anak atau karena alasan yang tak saya pahami, rantang berisi nasi dan lauk pauk itu bisa saya serahkan langsung kepada suami tetangga saya itu. Kadang saya melihatnya sedang shalat di dalam sel. Paling sering ia mengenakan kaos singlet dan celana kolor putih agak gombrong.  Dengan kata lain dibanding perlakuan yang diterima Milay yang berusia lima tahun di sebuah penjara  Uruguay  Amerika Latin, saya tergolong beruntung. Kembali ke kisah pengiriman makanan di dalam rantang alumunium. Biasanya sepulang dari delivery order itu saya memperoleh uang keeping Rp 5 (lima rupiah). Di tahun itu di Kota Cirebon, Rp 5 bisa membeli bakso dua mangkok dan cukup untuk ongkos naik becak dari Kesambi ke kolam renang Gunungsari.

Kemanusiaan

Pada perkembangan berikutnya, dinamika politik Indonesia berderak hebat. Saking hebatnya satu dan lain menjadi musuh dan sebaliknya dapat dengan mudah menjadi sahabat. Pergantian peran para politisi itu member peluang untuk menjadi penghuni sel penjara bagi politisi. Pembaca budiman pasti paham, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap memenjarakan pelaku korupsi, sejak itu penjara (Lembaga Pemasyarakatan) dihuni oleh politisi. Mereka menjadi tahanan politik.

Memang berbeda konteksnya dengan tahanan politik di Uruguay pada 1976. Para tahanan di sana tengah menjadi bagian dari pemberontakan milisi bersenjata dan kaum gerilya. Berhadapan dengan penguasa militer yang bertindak sewenang-wenang kepada rakytanya sendiri. Suasana panas itu memungkinkan timbulnya perlakuan tidak manusiawi kepada para tahanan politik. Akan tetapi para politisi yang menghuni sel penjara di Indonesia paska 1998 ada yang dapat dikategorikan sebagai korban politik dan atau korban konspirasi politik sehingga menyeret sejumlah politisi dan kepala daerah ke dalam sel penjara.

Interpretasi pun merebak. Namun cap sebagai koruptor alias orang yang menggasak uang rakyat tak bisa lepas begitu saja. Stempel itu pun menjadi stigma dan melekat pada keluarga mereka. Bagai pinang dibelah dua, para ex tahanan politik karena ideologi dengan tahanan politik karena korupsi. Sama-sama susah untuk membangun diri lantaran stigma yang mesti diterima, meski terpaksa.

Mengutip tempo.co (17/11/2014), “Bakar, bakar! Ini dia tukang bakar Jakarta!” Celotehan sarkastis itu diterima Gurmilang Kartasasmita pada hari pertama menginjakkan kaki di Rumah Tahanan Militer (RTM) Boedi Oetomo, Jakarta Pusat, Juni 1974. Seingatnya, celotehan itu keluar dari mulut sebagian anak muda tahanan politik Gerakan 30 September yang lebih dulu menjadi penghuni di sana. Sapaan selamat datang itu cukup membekas karena tuduhannya terlontar dari sesama pesakitan, papar Miang ~panggilan akrab Gurmilang Kartasasmita. Penahanan di RTM Boedi Oetomo juga menyisakan kesan mendalam bagi tahanan politik Malari lainnya, seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Setelah digeledah dan dilucuti--arloji dan ikat pinggang dirampas--di kantor depan rumah tahanan, Dorodjatun digiring melewati lorong gelap. Setelah melalui beberapa kamar tahanan, ia juga mendengar ejekan. Dorodjatun bebas pada April 1976.

Membaca kisah selintas tahanan politik peristiwa Malari dapat disimak bahwa sesama tahanan politik pun kadang tidak akur. Mereka saling ejek dan bisa menyatu. Perbedaan kasus yang menyeret ke rumah tahanan alias bui jadi penyebab ketidakmenyatuan itu. Padahal sama-sama napi, sama-sama tahanan politik pula. Untuk menyatukan dan memasyarakatkan kembali maka pemerintah menggani istilah penjara menjadi Rumah Tahanan (rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (LP). Berbagai pelajaran keterampilan diajarkan kepada para tahanan supaya setelah bebas/ masa tahanan berakhir, mereka dapat besosialisasi di tengah masyarakat dan memiliki keterampilan.

Di LP Kesambi Kota Cirebon ada pelajaran keterampilan bengkel mobil dan memintal benang. Seingat saya di LP Kesambi kerap diadakan lomba voley ball dengan mengundang tim bola voli dari luar pagar tembok berduri. Menurut kawan SD saya, jika tim voly LP Kesambi kalah oleh tim luar, di dalam sel mereka dipukuli teman-temannya karena dianggap memalukan. Maka tim bola voli LP Kesambi tergolong bagus permainannya. Selain memang mahir, mereka bermain total supaya terhindar dari pukulan teman-teman sesama tahanan di dalam sel. Di LP itu pula dulu ada sel khusus untuk tahanan perempuan, meski ketika saya ke sana sel tahanan perempuan tengah kosong, alias tidak ada penghuninya.

Serba sekilas tentang tahanan dalam tulisan ini merupakan catatan ringan menyoal perlakuan yang berbeda pada sejumlah kasus penahanan orang. Bisa karena kasus politik, ideologi, maupun korupsi. Meski ada yang masuk menghuni LP karena kasus narkoba, dan kasus kriminal. Tulisan ini bertujuan sedikitnya agar kita memandang para tahanan dari sudut pandang kemanusiaan.

Tragedi Malari 1974, source:fiksi.kompasiana.com

Awal November 2014 sebuah pesan pendek saya baca di hp. Isinya Agung Cipto meninggal dunia pukul 11 WIB di RSUD Gunungjati. Sebagai tahanan politik yang masih menjalani masa tahanan di LP Kesambi, mantan Anggota DPRD Kota Cirebon itu pulang ke rahmatullah. Tentu saja ada kisah yang menyertai pada dua pekan sebelum Agung Cipto meninggal dunia. Kita sebagai kawan hanya bisa mendo`akan semoga Yang Mahaadil di alam keabadian memberikan keadilan bagi Agung Cipto. Tentu saja sebagai kawan, saya takziah ke rumah duka di Mandalangan.

Tak dinyana saya bersua dengan Walikota Cirebon dan rombongan pejabat pemda Kota Cirebon. Juga cukup banyak Anggota DPRD Kota Cirebon 2014-2019. Teman-teman lama,  pegiat parpol, terutama PDIP sudah pasti nimbrung ikut rewangi hingga prosesi pemakaman Agung Cipto. Dengan kata lain, pepatah wong cerbon, “Tega warase bli tega geringe. Tega uripe bli tega mati`e”, masih cukup melekat.

Perbedaan perlakuan terhadap tahanan politik dalam tulisan pendek ini ditujukan sebagai sebuah renungan kecil tentang sikap kemanusiaan yang masih perlu diberikan kepada siapa pun. Meski masyarakat dan vonis hukum telah menempatkan mereka pada status tahanan politik akibat korupsi. Bukankah tiap orang itu sama di hadapan hukum negara dan hukum tuhan? ***

(rr)