Ilustrasi/ kabarwashliyah.com

Kasak kusuk pembubaran Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dinilai anarkis akhir-akhir ini menjadi isu yang cukup menarik, khususnya pasca Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengirim surat rekomendasi pembubaran salah satu ormas ke Pemerintah. Alasannya, jejak ormas tersebut tidak lagi sejalan dengan nafas dan ruh Pancasila serta konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945.

Hal itulah yang setidaknya menjadi substansi problem dan alasan logis ormas layak dibubarkan. Di sisi lain, keberadaan ormas merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi sebagai kekuatan penyeimbang positif dalam kehidupan bernegara, sehingga membubarkannya sama saja melanggar kebebasan dasar manusia.

Dua kondisi itulah yang nampaknya perlu ditelusuri makna kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai bagian hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.

Pemenuhan/Pembatasan HAM

Adanya Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dapat dikatakan sebagai bentuk perubahan yang paling signifikan dalam dinamika sejarah demokratisasi Indonesia. Atas dasar hukum tersebut, maka setiap ormas/NGO/kelompok masyarakat sipil atau kelompok-kelompok lainnya dalam melakukan aktivitasnya dilindungi oleh hukum. Pertanyannya, apakah kemudian pasal itu dapat menjadi pelindung absolut keberadaan ormas?

Apabila dibaca secara utuh, bangunan pelaksanaan HAM yang diatur UUD 1945, nampaknya didasarkan pada konsep HAM terbatas. Kontitusi mengijinkan pembatasan HAM setiap orang melalui undang-undang (UU), termasuk hak berserikat dan berkumpul untuk alasan-alasan tertentu. Alasan-alasan tersebut disebutkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang antara lain: (1). untuk menghormati hak orang lain, (2). pertimbangan moral, (3). nilai-nilai agama, (4). keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh karena itu, dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga memberi penegasan bahwa dalam menjalankan hak berkumpul dan berserikat tidak boleh menyimpang dari tertib hukum dan keadilan di masyarakat. Apabila komponen penting tersebut tidak dipenuhi, maka sangat dibenarkan negara memberikan pembatasan terhadap keberadaan ormas.

Konstruksi UUD 1945 maupun UU Ormas, dapat diambil kesimpulan jika sebuah perkumpulan atau ormas dalam pergerakannya justru merusak tatanan sosial dan tujuan nasional, maka Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 tidak bisa dijadikan legitimasi terhadap keberadaan ataupun aktivitas keormasan. Dengan kata lain, jaminan yang diberikan oleh konstitusi adalah terhadap ormas yang mampu menjadi wadah berkumpul dan melakukan pembinaan, pengembangan, dan peningkatan keterampilan dan kepemimpinan kepada anggotanya. Artinya sebagai civil society, ormas selain sebagai pengayom dan kanalisasi aspirasi, juga dapat diartikan sebagai mitra negara untuk bersama-sama mewujudkan tatanan demokrasi dan pembangunan nasional yang berkeadilan dan tertib hukum.

Beberapa Langkah

Sebagai wujud konkret adanya negara yang dijalankan melalui roda pemerintahan, maka negara harus berperan aktif dalam menyikapi aksi ormas yang tidak lagi sejalan dengan tujuan nasional dan abai terhadap hukum. Hal ini diperlukan sebagai penegas kewibawaan dan kemampuan negara untuk dapat mengatur, menegur, dan menertibkan warga negaranya yang ‘membangkang’ dari aturan hukum yang berlaku.

Namun demikian, agar langkah pemerintah tidak menimbulkan persoalan baru, maka dalam upaya melakukan pembubaran ormas, perlu membuat dasar dan pertimbangan matang dan melakukan langkah strategik, rasional dan konstitusional.

Adapun langkah penting yang harus dilakukan pemerintah, pertama, pembubaran atau peninjauan kembali pendirian sebuah ormas harus dilakukan dengan kehati-hatian dan melalui proses hukum. Pertimbangan pembubaran ormas harus diletakkan pada proporsi untuk kepentingan nasional dan menjaga kedaulatan bangsa dan negara. Dalam hal ini, setidaknya dilandaskan pada kerangka penting perlindungan seperti yang termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian, pembubarannya semata untuk memberi penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Ekspresi kebebasan di Indonesia bukanlah kebebasan yang an sich, yaitu kebebasan yang bebas dari nilai, moral dan hukum. 

Kedua, pemerintah harus melakukan analisa situasi cepat (rapid situation analysis), yaitu dengan menciptakan database rahasia yang menyeluruh dan terkoordinasi. Hal ini dimaksudkan untuk memantau dan mengevaluasi program-program dari masing-masing ormas yang ada di Indonesia. Adanya database juga dapat difungsikan untuk meninjau data mengenai tindakan-tindakan, kasus-kasus, kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan ormas selama berdirinya, sehingga hal itu dapat dijadikan parameter penilaian untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan ormas yang kurang sejalan dengan tujuan nasional dan mengancam kedaulatan negara. Atas dasar itu pula, nantinya pemerintah dapat melakukan perubahan izin maupun pembubaran terhadap ormas ‘nakal’.

Selama ini, negara seakan dibuat tidak berdaya terhadap tindakan anarkis yang dilakukan oleh sekelompok ormas. Bahkan tindak anarkis oleh oknum ormas yang terjadi sering tidak ditangani dengan serius oleh aparat penegak hukum. Oleh karenanya, usulan pembubaran ormas, seperti yang dilakukan Ahok, bisa jadi akan menjadi ujian yang harus dijawab oleh pemerintah secara arif dan bijak.***

(rr/AR)