www.harianterbit.com

Toko CD tutup. Toko DVD tutup. Pertanyaannya: Apakah toko buku juga akan tutup?

Pertanyaan tersebut diluncurkan oleh para kawan di Komunitas Memberi melalui surel pekan lalu. Sudah sedemikian parahkah minat baca penduduk di Tanah Air sehingga membuat toko buku 'tutup warung'? Atau para muda kita sudah beralih ke buku digital dan keranjingan baca pengetahuan instan di internet?

Adakah 1001 cara untuk membikin konsumen keranjingan membaca buku cetak alias bukan e-book? Belum tentu ada. Paling tidak setidaknya ini ada pada keyakinan para kawan di Gramedia Pustaka Utama (GPU). Di tengah terjangan gelombang tsunami digital saat ini penerbit raksasa itu tak kenal lelah mengusap peluh bertransformasi untuk“riding the wave” agar tetap relevan dan tumbuh pesat membesarkan pasar.

Anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) ini telah merajai pasar perbukuan di Indonesia selama 40 tahun (berdiri 1974). Karya pertama GPU adalah novel Karmila karya Marga T (1974) dan sejak itu satu-persatu buku best seller membanjiripasar. GPU jeli membaca selera pasar sehingga berhasil menerbitkan buku-buku yang digemari masyarakat dari decade ke dekade. Sebut saja buku-buku laris terbitannya seperti novel-novel karya Sidney Sheldon, Agatha Christie, Lupus, hingga Harry Potter. Atau buku-buku non fiksi seperti karya Robert Kiyosaki, Stephen Covey, hingga Tung Desem Waringin.

Bagaimana GPU bisa sustainable merajai persaingan buku di Indonesia? Tak semudah memencet keyboard dan ngetweet! Strategi, brand building, riset pasar, promosi, aktivasi komunitas, membangun loyalitas pembaca, mengembangkan jejaring distribusi took buku, dan masih banyak kiat untuk memenangkan persaingan.

Untuk mengetahuinya, Komunitas Memberi @memberiID telah menggelar #KelasInspirasi dengan berkunjung plus ngobrol santai di GPU Selasa lalu. Penulis dan rekan lain yang kebanyakan wirausahawan mendapatkan inspirasi luar biasa dari Wandi S. Brata, Direktur Eksekutif, orang di balik dapur berkibarnya GPU. Ia cerita santai mengenai bagaimana GPU sukses merajai pasar perbukuan di Indonesia, termasuk bagaimana strategi kedepan GPU untuk menyongsong pasar buku digital.

Gramedia sendiri, menurut penuturan Wandi, mencetak kurang lebih 6.000 judul tiap tahun. Lumayan cukup banyak untuk skala Indonesia. Namun share di took Gramedia itu cukup membuat para pecinta buku meletakkan bolpen jika melihat gambaran sebagai berikut:

Tahun 2012: Non Book (53%), Book (47%)

Tahun 2013: Non Book (56%), Book (44%)

Tahun 2014: Non Book (57%), Book (43%)

Bisa terbaca bahwa yang dicari di toko buku tak hanya bukusaja, melainkan barang belanjaan lain seperti peralatan olahraga, peralatan sekolah dan kebutuhan pendidikan lain. Ini tentu berita yang menyedihkan dan memilukan. Padahal meletakkan ‘non book’ di toko buku merupakan strategi untuk mempertahankan eksistensi toko buku juga mengedukasi masyarakat agar membeli buku. Tapi yang didapat malah terbalik, buku bukan incaran pengunjung. Dari sisi financial dan bisnis ini tentu menggembirakan, namun dari sisi budaya-edukasi ini tentu sangat sensi.

“Kalau perlu kami menjual panci di toko buku Gramedia,” seloroh Wandi.

Tentang redup dan tutup warungnya toko buku kita bisa melihat spion masa lalu. Pada awal tahun lalu, kita ingat, salah satu distributor buku terbesar di Amerika Serikat, Barnes & Noble mengumumkan bahwa mereka akan menutup sekitar 20 toko per tahunnya hingga sepuluh tahun mendatang. Jika rencana ini benar-benar dijalankan, maka Barnes & Noble hanya akan memiliki sekitar 450 toko buku di seluruh AmerikaSerikat, atau kehilangan setidaknya sepertiga toko mereka. Merosot tajam.

Barnes & Nobles, Source: goodereader.com

Seperti yang dikutip dari situs LA Times, Kamis, 15 Februari tahun lalu, keputusan pihak Barnes & Noble itu mengejutkan banyak pihak,karena tokbuk yang telah berdiri sejak akhir abad 19 itu memiliki hampir 750 toko di seluruh AmerikaSerikat. Dia dianggap telah menjadi hero karena berkontribusi meningkatkan minat baca di Amerika.

Barnes & Noble, dengan rak-raknya yang penuh dengan buku, telah menjadi tempat berkumpul selama beberapa waktu. Kini, tempat itu digantikan dengan Starbucks, yang tentu saja tidak bisa menghadirkan budaya membaca di sana. Di tahun 2011 lalu, Borders mengalami kebangkrutan. Mereka harus menutup 399 tokonya, dan menjadikan sekitar 10.000 orang kehilangan pekerjaan.

Salah seorang pembaca dan penulis di Washington Post blog, Alexandra Petri, bahkan berencana untuk mengumpulkan para pecinta buku dan melakukan langkah ‘intervensi’ untuk menyelamatkan Barnes & Noble. Petri, yang berbicara atas nama industri penerbitan dan pecintabuku, menuliskan suratnya untuk Barnes & Noble (cekricek.co.id).

Nasib Barbes dan Noble bukan tidak mungkin akan terjadi pada took bukuGramedia. Semua bisa diprediksi dan diantisipasi. Tugas mendidik masyarakat dewasa ini dengan rajin membaca tentu lebih dari sekadar pekerjaan rumah tangga tersebut. Karena satu dengan yang lain saling berkorelasi. Jika terus dibiarkan, generasi muda hanya akan asyik ngobrol alias nge-Line daripada budaya membaca atau sekadar nulis puisi. Waktu masih panjang untuk ini, lebih dari sekadar dua belas tahun.

Salam.

 

(rr)