www.kaskus.co.id

Namanya Yoshi, seorang mahasiswa yang berwirausaha sebagai pemilik warung Indomie telur di daerah kawasan Jawa Barat.

Ia menjual indomie telur, roti bakar dan susu murni. Belakangan dia sering mendapat keluhan karena indomie telur yang dijual terkadang enaksekali, namun kadang-kadang malah sangat tidak enak sekali.

Warung tersebut memang tidak dikelola oleh dia sendiri. Dia bekerjasama dengan dua kawan kuliahnya. Mereka bertiga ternyata mempunyai “rumus” yang berbeda dalam membuat dan menyajikan indomie telur.

Yoshi selalu menjaga agar mie tidakterlalu lama direbus. Sementara teman satu lebih mementingkan racikan bumbu. Sementara teman kedua memastikan telur harus disajikan setengah matang.

Belakangan mereka bertiga menyadari, tanpa “rumus” yang distandardisasikan warung mereka akan ketinggalan pelanggan. Kemudian mereka setali tiga uang untuk membuat SOP (Standard Operating Procedure) yang menghasilkan rasa terenak sesuai lidah pelanggan.

Perihal SOP-SOPan seperti kasus di atas nyatanya tidak hanya berlaku di industri berskala renik namun juga di sebuah institusi berskala raksasa.

Pada suatu kali saya beserta dua orang rekan mendatangi sebuah perguruan tinggi yang fokus ke manajemen dan bisnis. Kami disambut hangat oleh satpam di pintu masuk. Ditanya keperluan untuk apa dengan sangat santun dan sopan. Lalu kami melangkah ke bagian information centre, lagi-lagi kami disambut hangat dengan tangan terbuka. Kali ini dengan seorang information officer yang cantik. Kami pun menjelaskan kedatangan bahwa kami sedang ingin wawancara dengan pihak kampus yang terletak di kawasan TB.Simatupang, Jakarta Selatan.

Tiba di akhir wawancara, kami meminta agar fotografer kami diizinkan untuk memotret aktivitas mahasiswa, kondisi ruangan dan perpustakaan. Officer berwajah oriental itu mempersilakan namun ia harus meminta izin dulu kesenior officer. Tak lama, senior officer keluar di balik pintu. Mendadak ia berkacang pinggang dan mempertanyakan keberadaan kami.

Kami pun menjelaskan sama persis seperti kami menjelaskan kepada petugas sebelumnya. Namun rupanya penjelasan kami hanya mentah di telinganya. Ia meminta kami datang lagi dengan menggunakan proposal atau surat pemberitahuan. Kami mengiyakan kepada perempuan yang tak menjelaskan identitas dirinya mulai dari nama dan jabatan apa yang diembannya di universitas pencetak bisnisman kelas kakap tersebut.

Sepulang dari kampus tersebut kami masih merasa heran kenapa sambutannya tak sopan dan SOP yang dipakai si petugas junior dan sipetugas senior beda terapan. Padahal di kampus bisnis yang lain di Jakarta kami lancar saja mewawancarai pihak kampus tanpa harus membawa proposal terlebih dahulu sebelumnya.

Bicara tentang SOP memang penting. Ini untuk menjaga rasa seperti kasus Yoshi atau pelayanan yang “sakitnya tuh di sini” seperti senior officer tadi. Agar proses selalu berjalan dengan baik dan hasilnya sesuai harapan pelanggan atau tamu, maka kita harus memastikan adanya sebuah standar.

Tujuan utama SOP tak lain untuk memastikan:

  1. Setiap kegiatan yang dilakukan penuh variasi sekecil-kecilnya, walaupun dilakukan oleh orang berbeda.
  2. Kita independen. Tidak bergantung kepada orang namun membuat sistem yang bisa dijalankan oleh siapa pun juga.
  3. SOP menjadi landasan paling dasar untuk melakukan perbaikan berkesinambungan.

Seperti halnya memasak sop, SOP yang sedap harus dapat dengan mudah dipahami komposisinya—mungkin juga dirasakan--oleh orang yang akan membawa ‘mangkuk’, orang yang melakukan aktivitas di dalamnya. Selain menjadi acuankerja, SOP juga bisa digunakan untuk training dan menjadi knowledge yang tersimpan.

Akhir kata, saya jadi teringat perkataan Bobby, teman Gede Manggala di bukunya The coconut Principles: “Dengan sistem dan SOP yang baik, bisnis jalan, yang punya bisnis bisa jalan-jalan.”

Salam.

 

(rr)