news.detik.com

SUHU politik mendingin sejak pertemuan Jokowi dengan Prabowo beberapa saat lalu di kediaman Begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo. Simpang siur pertikaian atas nama koalisi seperti tersiram air dingin. Suasana pun memicu dan memacu semangat keindonesiaan. Dan pelantikan Jokowi JK pun berjalan lancer. Tidak ada kejadian yang semula diprediksi bakal mengganggu peristiwa penting itu.

Kita sesungguhnya menghendaki suasana seperti itu dengan harapan yang membuncah. Setidaknya bagi kenyamanan dan ketenteraman hidup bermasyarakat dan bernegara di Indonesia. Semoga suasana adem ini berlanjut terus sehingga program Indonesia 2014 – 2019 dapat berjalan sesuai harapan.

Usia pelantikan masyarakat menunggu nama-nama menteri yang akan mendampingi kerja berat kedua pasangan. Menteri yang kabarnya telah disaring demikian ketat. Pertanyaannya, siapa yang tak mau menjadi menteri? Jabatan mentereng mendampingi tugas presiden kini diintip sebagai berita besar setelah rapat paripurna DPR 1 Oktober lalu yang ricuh. Menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi – JK menjadi incaran sejumlah orang. Poling pilihan rakyat, ajuan lembaga survey, ajuan oleh partai pendukung PDIP, kontribusi pembahasan dan pemikiran Tim Transisi Jokowi-JK, pilihan subjektif presiden dan wakil presiden terpilih, dan keinginan Megawati ~tak pelak ikut menentukan siapa sajakah yang berhak menduduki jabatan menteri. Cape deh.

Menteri di masa Bung Karno merepresentasikan kekuatan partai politik dan pergantian perdana menteri dalam tempo tak terduga. Menteri kabinet di jaman Soeharto sepenuhnya hak prerogatif presiden. Banyak cerita beredar, pada malam buta Soeharto menelpon seseorang untuk mendampingi pekerjaannya sebagai pembantu presiden/ menteri. Biasanya usai menerima telepon sakti itu (jika dia muslim) langsung sujud syukur malah ada yang shalat tahajud segala. Sementara menteri-menteri pada masa Habibie, Gusdur, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudhoyono memperlihatkan kisahnya sendiri, namun berangkat dari dua gaya Soekarno dan Soeharto.

Seharusnya pemilihan menteri 2014-2019 kembali kepada pilihan subjektif  Jokowi-JK. Namun lantaran kemenangan Jokowi-JK dihantarkan oleh banyak pihak, banyak taipan, cukong, termasuk juga PDI Perjuangan; maka proses penentuan nama-nama menteri terpilih bagai terkendala. Kendala pertama, munculnya berbagai prediksi dan asumsi politik apabila menteri terpilih hanya berasal dari parpol pendukung saat kampanye. Kedua, faka kegagalan PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura dalam pemilihan Pimpinan DPR RI dan alat kelengkapan dewan merupakan sinyal menteri terpilih hanya berasal dari empat parpol tersebut. Ketiga, pemerintahan Jokowi-JK sepertinya akan berhadapan dengan parlemen di Senayan sehingga boleh jadi banyak kebijakan politiknya kelak bakal alot untuk sekadar lolos dari persetujuan Anggota DPR. Keempat, dukungan rakyat yang kerap diklaim milik kubu Jokowi-JK sejatinya masih berada dalam ketidakpastian (uncertainity).

Seperti apakah wajah pemerintahan Jokowi-JK setelah pelantikan 20 Oktober 2014? Benarkah dukungan rakyat masih mengalir kepada pasangan presiden dan wakil presiden itu? Dua pertanyaan itu penting diketengahkan mengingat karena pada babak pertama Koalisi Merah Putih (KMP) telah sukses menampilkan permainan politiknya. Panggung Gedung Nusantara II DPR yang dikuasai KMP, apologi sejumlah politisi pro Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dukungan media cetak elektronik bagi KIH, tanggapan para ahli dari luar parlemen; substansinya tetap memperlihatkan KMP lebih siap dibanding KIH. Kesiapan KMP terlihat pada banyak peristiwa politik sejak kekalahan KMP oleh Mahkamah Koalisi (MK) 22 Juli lalu. Bahkan kemenangan KMP pun diperlihatkan oleh anggota DPR 2009-2014 dari basis fraksi-fraksi yang tercakup dalam KMP.

Memperhatikan perkembangan politik tanah air yang bergelora dan penuh dinamika itu belakangan ini mestinya kita menyambutnya dengan bangga. Kebanggaan yang lahir atas kenyataan menyoal matangnya taktik dan strategi politik sejumlah politisi Indonesia memenangkan keinginan dan kepentingannya. Kebanggaan yang juga didukung oleh semacam sindrom kekuasaan untuk pada akhirnya menjadi penyeimbang pemerintah. Dengan kata lain jikalau kerja KMP kelak tidak merepresentasikan keberpihakan kepada publik, itulah saat paling tepat guna menagih janji KMP. Demikian pula jika KMP terbukti asyik mabuk kepayang lantaran “kemenangan sementara” pra pelantikan Jokowi-JK, lalu lupa atas niat awal pembentukan KMP --bisa jadi KIH lebih diuntungkan.

Terancam

Agaknya kepemimpinan Jokowi-JK bakal menerima batu sandung yang dapat menjegal beberapa kebijakan politiknya. Suasana kemenangan sementara KMP saat ini menengarai soliditas KMP hingga menyemangati untuk terus melakukan akrobat politik, pemantapan dan penguatan di berbagai lini yang mungkin dikuasai. Mata KMP bagai tak pernah terpejam, laksana elang laut yang terus mengincar ikan untuk disantap. Jokowi-JK tentu saja bukan petambak/ peternak ikan yang merelakan ikan-ikannya disantap begitu saja. Keduanya pasti telah menyiapkan berbagai desain menghadapi KMP.

Batu sandung bagi Jokowi-JK inilah yang mampu mengkondusif iklim politik Indonesia paska 1998 lalu. Kondusif lantaran kecerdasan berpolitik ternyata telah memacu keinginan memainkan peran masing-masing secara optimal. KIH dan KMP tengah berebut simpati rakyat. Begitu juga keduanya berhasil menggiring opini publik untuk senantiasa memerhatikan arena yang mereka buat. Untuk sejenak bisa saja rakyat lupa pada persoalan besar yang terus dihadapi, yakni kesejahteraan rakyat, pengembalian utang luar negeri, korupsi, kontrak karya dengan pihak asing, penekanan laju inflasi, dan sebagainya.  

Batu sandung itu pada saatnya berubah menjadi batu sanding apabila KIH kokoh pada pendirian mendukung ide dan gagasan pemerintahan Jokowi-JK, namun dengan dibarengi catatan pelemahan KMP. Soalnya adalah KMP untuk saat ini masih begitu kuat serta dalam banyak kesempatan kerap memposisikan diri sebagai lawan KIH. Dan batu sandung itu antara lain tampak pada penyusunan nama-nama menteri yang akan dipilih.

Tim Transisi Jokowi-JK yang sudah dibubarkan, namun masih mempekerjakan mantan deputinya dalam rekrutmen calon menteri (detik.com 3/10), setidaknya menandai bahwa  Jokowi akan mengutamakan background si calon, karakter yang kuat dan bersih alias tak punya kasus masa lalu, dan  secara mendalam naluri paradigma pengambilan kebijakan. Persyaratan bagus yang harus dimiliki calon menteri itu dapat ditebak akan mampu merealisasikan roda pemerintahan yang bersih dan baik. Good governance dan clean governance kita harapkan bukan sebatas jargon kosong tanpa makna. Berpijak dari prasyarat menjadi menteri era Jokowi-JK yang cukup ribet, kerja dan kerja sebagaimana sering dipaparkan Jokowi mestinya disemangati oleh niat membangun bangsa.

Bangsa yang besar dan bernama Indonesia itu tak lama lagi akan menghadapi tantangan dan kompetisi dengan pihak asing yang lebih terbuka pada 2015. Artinya jikalau pemilihan calon menteri pun kembali tersandung oleh suatu hal, untuk dan atas nama partai politik --dukungan rakyat kepada Jokowi-JK dapat terancam. Agar terhindar dari batu sandung yang tak terkira kerugiannya bagi pembangunan negara, sebaiknyalah menteri-menteri kabinet harus memerankan diri sebagai pembantu kerja presiden dan wakilnya.

Untuk itulah supaya pembantu presiden dapat bekerja dengan baik, menyedikitkan campur tangan partai politik merupakan opsi menarik. Untuk itu pula 16 dari kalangan profesional partai politik, nominator menteri, semoga bukan politisi.***

(rr)