www.beningpost.com

Ambivalen dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermkana bercabang dua yang saling bertentangan. Sikap ambivalen juga erat kaitannya dengan lema ambigu, ambiguitas atau ambivalensi yang dalam KBBI memiliki arti, ketidakjelasan sikap dan bermakna ganda. Sikap ini membuka peluang terbukanya tafsiran makna yang berbeda bagi para pendengar atau pembaca yang memungkinkan berujung pada cara pengambilan kesimpulan yang berbeda. Sedangkan Anarki dalam KBBI bermakna suatu kondisi tidak adanya ketertiban atau suatu hal kekacauan.

Sikap ambivalen sangat umum kita temukan dalam ranah politik yang sarat akan kepentingan dan gincu-gincu pencitraan pemanis popularitas seorang tokoh atau politisi. Sebagian politisi terbiasa tertangkap basah memilki beda perangai, sikap dan pernyataan dalam menanggapi suatu persoalan yang substansinya sama. Hal ini dapat menunjukkan karakter diri politisi tersbut terbelah dan minim prinsip serta objektifitas.  Salah satu tokoh yang sering tertangkap bersikap demikian adalah Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi, calon Presiden RI no urut 2 yang pada tanggal 20 Oktober 2014 mendatang akan dilantik menjadi presiden RI.

Salah satu sikap yang cukup mencolok adalah pernyataan sikapnya terhadap aksi anarki, Dalam suatu konfrensi pers Jokowi ketika menanggapi peristiwa aksi vandal oleh sebagian relawan Jokowi dan kader PDIP terhadap kantor berita salah satu media elektronik Juli 2014 yang lalu, beliau berkata

 "Tapi kan medianya ikut bantu manas-manasin. Salah sendiri manas-manasin. Makanya jangan ikut manas-manasin. Jangan sekali-kali salahkan relawan," kata Jokowi saat konferensi pers di Bandung, seperti dikutip dari Merdeka, Kamis (3/7).

Pada peristiwa tersebut sebagian relawan melakukan kerusakan dan menyoret-nyoret dinding kantor berita tersebut dengan tulisan” PDIP bukan PKI” serta melakukan penyegelan paksa terhadap kantor berita tersebut.

Jokowi juga menambahkan bahwa dirinya tidak memiliki kontrol penuh atas tindakan relawan tersebut, meskipun dalam setiap pemberitaan media Jokowi selalu mengatakan agar semua relawan bersikap santun dan sopan.

Lain dulu lain sekarang, Jokowi seolah lupa dengan pernyataan sebelumnya dan memiliki penilaian berbeda terhadap dua tindakan yang mampu tergolong dalam kegiatan anarkis. Jokowi ditemukan memiliki perbedaan sikap ketika menanggapi aksi salah satu Ormas Islam yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang mengadakan aksi menolak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai pemimpin DKI. Jum’at 3 Oktober 2014 lalu FPI melakukan aksi damai menolak kepemimpinan Ahok di DKI yang dianggap sering menistakan dan melecehkan ketentuan-ketentuan hukum Islam, aksi tersebut berujung rusuh dengan ditandai lemparan batu dan pengrusakan kendaraan oleh massa aksi. Berbagai pihak menanggapi hal ini dengan pendapatnya masing-masing. Salah satunya adalah Jokowi yang sempat diminta pendapat terkait aksi anarkis. Headline salah satu media dunia maya berjudul “Jokowi: Ormas yang Anarkis Kita Gebuk”

Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa harus ada tindakan tegas terhadap ormas manapun yang melakukan aksi anarkis. Seperti kutipan wawancara pada Kamis 9 Oktober 2014 di Balai Kota, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. “kalau tindakan anarkis, jelas, gebuk, penegakan hukum” tutur Jokowi seperti dikutip dari portal berita detik.com, Kamis (9/10).

Hal menjadi sorotan publik terkait sikap yang berbeda untuk suatu substansi yang sama. Pubik semakin sinis menilai bahwa ada pribadi yang terbelah dan ada sikap yang tak berimbang. Apakah status pegawai Partai yang disandang Jokowi harus melulu membela partai atau relawan meski tindakannya melanggar hukum? Apakah bagi unsur lain selain kelompoknya jika menyatakan kritik atau bahkan protes dengan tindakan anarki baru ditindak tegas?

Sudah semestinya Jokowi mulai bebenah diri untuk menuju pribadi yang utuh, berdaulat dan berprinsip. Karena sikap ambivalen dan ambigunya akan membahayakan dirinya dan  bahkan berdampak multitafsir yang mudah menyulut masa bersumbu “pendek” untuk mudah melakukan tindak anarki. Bagi keutuhan NKRI, sikap ambivalen dan sikap membebek  seorang pemimpin sangat tidak menguntungkan. Jika memang claiminya adalah pemimpin rakyat dan berasal dari rakyat, sudah saatnya Jokowi menanggalkan dan meningalkan stigma pegawai partai yang melekat pada dirinya, jika tidak demikian selamanya Ia akan dihukumi oleh sejarah dan masyrakat sebagai peminpin yang tak bervisi dan kepribadian terbelah.

Pemimpin berdaulat, negara berdaulat, maka kesejejahteraan rakyat adalah keniscayaan. ***

(rr)