Ilustrasi/ foto.news.viva.co.id

BANGUNAN di atas bantaran sungai merupakan pemandangan teramat biasa di Indonesia. Hampir di setiap kota/ kabupaten dengan mudah kita dapati deretan bangunan di bantaran sungai/ kali. Terlebih jikalau letak geografis kali/ sungai tersebut “menguntungkan” secara ekonomi. Dari berbagai penjuru, pedagang berdatangan lalu mendirikan bangunan semi permanen hanya untuk berjualan. Lambat laun manakala keuntungan perniagaan itu dianggap cukup, bangunan semi permanen itu ditingkatkan kualitasnya. Semen, pasir dan bata mulai bekerja.

Adanya pertumbuhan pendapatan kaum pedagang (urban) di atas bantaran kali itu memungkinkan ia mengajak sanak keluarga untuk ikut serta mengadu nasib di kota. Berbekal keberanian dan tekad mengubah nasib, semakin banyak jumlah pedagang di atas bantaran kali. Mereka pun tidur di bangunan itu. Mereka pun bahkan membawa serta anak istri.

Apa jadinya? Bantaran kali kian sesak oleh bangunan. Kali menyempit. Para pedagang itu membuang sampah serampangan karena di belakang bangunan tersedia kali. Akibat lain tentu saja kota kehilangan sungai. Kehilangan penampung air untuk mengalirkan ke laut. Di samping itu, potensi banjir mengancam.

Pemerintah DKI Jaya dua tahun belakangan ini tergolong berhasil mengatasi masalah pemindahan penduduk dari bantaran kali ke rusunawa. Sudah menjadi rahasia umum, menghadapi wong cilik tidak mudah. Sikap reaktif menjadi (mohon maaf) kebiasaan keseharian lantaran beratnya tantangan hidup di kota. Keberhasilan mengatasi bangunan di atas bantaran kali sebagaimana dilakukan pemda DKI seharusnya menjadi contoh pemda-pemda lain. Penyelesaian tanpa kekerasan dan saling menguntungkan kedua pihak. Pemda bisa mengembalikan fungsi kali/ sungai ke asalnya, sementara para pendiri bangunan di atas bantaran sungai memiliki rumah sebagai kompensasi.

Sesungguhnya pemda tidak memiliki keharusan memberi kompensasi berupa rumah. Akan tetapi faktor kemanusiaan mengemuka di sini. Bukan lantaran memperoleh ancaman dan atau kekerasan dari penghuni bangunan di atas bantaran kali. Dengan demikian “tukar guling” pemda dengan penghuni bantaran kali sebagaimana dilakukan pemda DKI Jaya akhirnya dirujuk sebagai keharusan oleh penghuni tersebut. Tak urung keadaan ini pun mengundang sejumlah orang dengan mengatasnamakan LSM, asosiasi, pembela ham, dan sederet nama keren lainnya.

Tentu saja tidak seluruh pemda memiliki aset sebesar pemda DKI Jakarta Raya. Pemda-pemda lain dengan pendapatan asli daerah masing-masing, juga APBD tidak seperti DKI Jaya --pasti tak mampu jika harus menyediakan rusunawa bagi pengguna/ pendiri bangunan di atas bantaran kali. Pemda-pemda di Indonesia pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla agaknya justru akan melakukan efisiensi dan efektivitas penggunaan APBD. Boleh jadi karena takut tercium KPK, dan bisa jadi pula karena memang hendak melaksanakan amanat kepemimpinannya.

Sudah banyak pemerintah daerah saat ini mulai menyesuaikan diri dengan konsep kepemimpinan Jokowi. Blusukan ala Jokowi ditiru dengan harapan memahami persoalan di tengah masyarakat. Namun ketika berhadapan dengan masalah lama (baca: bangunan di atas bantaran kali/ sungai), pemda bagai dihadapkan pada dilema. Membiarkan berarti menyalahi peruntukkan bantaran sungai/ kali, dan menindak berarti berhadapan dengan para jawara, serta diklaim sebagai kesewengan penguasa.

Keberadaan mereka (LSM, asosiasi, pembela ham, dsb) akhirnya memusingkan penyelesaian kedua pihak. Pemda dan pendiri bangunan di atas bantaran kali pun sama-sama berpikir dalam kerangka subjektif. Berkali operasi penertiban dilakukan, berkali pula muncul ketaksepahaman. Ada kalanya ketaksepahaman itu berujung pada sikap kurang bersahabat, antara lain saling menyalahkan. Lalu kapan masalah ini selesai apabila semua pihak terkait merasa benar dengan asumsinya sendiri?

Menyimak Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dengan mensyaratkan 70 persen digunakan untuk bangunan dan 30 persen untuk lahan hijau/ lahan publik, pemda setempat menjabarkan UU tersebut di atas dengan mengesahkan peraturan daerah (perda). Perda itu diantaranya mengatur tentang pelarangan bagi setiap orang/ warga untuk melakukan usaha pada tempat-tempat yang bukan peruntukkan usaha (di atas trotoar, di atas bantaran sungai, saluran drainase, jalur hijau, badan jalan, lapangan baik sementara atau pun tetap). Perda berkekuatan hukum itu susah direalisasikan. Perda itu seperti halnya UU No. 26/ 2007 tentang ruang hijau terbuka selalu menjadi problem tetap pemda se-Indonesia.

Berharap adanya penyelesaian kedua pihak, yakni pemda dengan para pendiri bangunan di atas bantaran sungai/ kali, tanpa mengundang masalah baru yang lebih besar, kiranya pemda setempat harus mampu menjadi bapak yang menggembirakan anak-anaknya, bukan memanjakan anak-anaknya. Bapak yang mengayomi anak-anaknya, meskipun terkadang anak-anaknya menjadi nakal. Anak-anak nakal itu pada musim politik adalah anak-anak potensial demi keberhasilan keinginan politik Sang Bapak.

Proses penyelesaian pendiri bangunan di atas bantaran kali/ sungai sejatinya dapat dimediasi oleh bantuan pemda yang telah berhasil melaksanakan UU No. 26 Tahun 2007, pemda Surabaya umpamanya. Berkaitan hal tersebut, kunjungan kerja anggota parlemen (DPRD) yang baru dilantik ada baiknya mencantumkan Surabaya sebagai tujuan. Kunjungan kerja (kunker) bukan pakansi dan atau wisata belanja ke berbagai tempat wisata unggulan belaka, terlebih penting adalah melaksanakan tanggung jawab keterwalikan yang telah diberikan saat pemilu April yang lalu.

Pemda dan DPRD mau tidak mau dituntut kerja keras menyelesaikan problem rutin yang boleh dikata tidak terselesaikan serta selalu muncul pada tiap perioda kepemimpinan. Satu probem yang mengemuka kini ialah bangunan di atas bantaran kali. Dengan kata lain jikalau pemda dan jajarannya berhasil melaksanakan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Ruang Hijau Terbuka, tanpa kekerasan dan tanpa membebani anggaran,  berarti pemda tersebut telah melaksanakan tugasnya secara baik. Keberhasilan tadi kelak akan menjadi contoh dan referensi proses penyelesaian dengan kaum urban. Dan akan lebih bermakna lagi apabila disertai kebijakan politik dengan menyediakan lapangan kerja sehingga kaum urban yang memadati kota tidak menjadi penghuni tetap di atas bantaran kali/ sungai.*** 

(rr)