rumahpuan.com

Memasuki September 2014 ini perjalanan pengabdian saya pada keilmuan, keberagamaan yang lapang (inklusifisme) dan pluralisme memasuki ruang-ruang kuliah di beberapa kampus. Yakin, inilah lading subur untuk menanamkan benih-benih nilai-nilai etika, kesadaran akan makna hidup dan hidup bermakna, dan menebar spirit keagamaan yang sigap merangkul perbedaan secara damai dan harmonis.

Kampus pertama di Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) Bintaro. Saya bekerja secara tim dengan beberapa dosen. Terlibat dalam kerjasama ini Prof. Dr. Musdah Mulia. Untuk diketahui Universitas ini mengundang Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menangani kuliah religious studies alias studi keagaman. Kampus berikutnya di Prasetiya Mulya Business School (PMBS) dan Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda (STAB NALANDA).

Di 2 kampus ini saya diundang sebagai pribadi untuk mengampu 1 matakuliah. Di Prasetiya saya mengampu Filsafat Moral, tepatnya Etika Bisnis. Sebuah kuliah yang berupaya menanamkan kesadaran dan keinsyafan dalam dunia bisnis untuk tetap istiqamah dalam nilai-nilai kebaikan. Tidak rakus, tidak menghalalkan segala cara demi meraup laba dan keuntungan. Harta dan kekayaan melimpah acapkali tidak bermakna bagi jiwa manusia. Justru jadi bencana jiwa. Pebisnis bagaimana pun tidak boleh egois. Hanya berpikir untuk keuntungan dirinya. Tidak boleh gelap mata sekalipun untuk mengejar tujuan utama berbisnis. Bisnis harus dilakukan dengan cara benar dan baik dan menebar kemanfaatan dan kebahagiaan bagi sesamanya.  

Perkuliahan sudah berjalan seminggu. Banyak kisah menarik dari 2 ruang kuliah. Di Prasetiya Mulya, latarbelakang agama para mahasiswa cermin agama-agama besar di Indonesia. Ada Hindu, Buddha, Protestan, Katolik, Khong Hucu dan Islam. Sayang sekali tidak pernah ada yang beragama agama lokal (penghayat atau kebatinan), apalagi Yahudi. Juga tidak ada agama Sikh, Taoisme atau Bahai. Sangat indah andai lengkap. Yang menarik, bila dalam realitas demografi di Indonesia, penganut Islam menjadi mayoritas, di kampus yang focus pada ilmu bisnis acapkali jadi minoritas. Yang mayoritas non-Islam. Ada kelas yang didominasi Katolik atau Protestan. Yang muslim hanya 2-3 orang. Kelas rata-rata berisi 35 sampai 40 mahasiswa. Saat itulah acapkali saya godain situasi. “Beginilah kehidupan di dunia. Butuh dialektika dan empati. Mari kita insyafi saat kita jadi mayoritas atau minoritas”, goda saya. Sebab, problem relasi lintas agama acapkali lahir dari masalah jumlah. Di Indonesia, muslim mendominasi.  Bila tidak paham tentang Islam dan insyaf akan makna dan fungsi maslahat, jumlah bisa jadi bencana. Di Eropa sebaliknya di dominasi Kristen. Sejatinya kita mampu berdialektika dan berempati dengan siapapun. Dalam bahasa Cak Nur, karena kita berjumlah besar, sejatinya Islam menjadi berkah dan menebar damai dan kebaikan bagi yang lain. Tidak boleh ada penindasan dan angkara murka atas kemenangan jumlah dan kekuatan atas nama apapun. Agama harus jadi inspirasi kebaikan dan kebersamaan.

Sepanjang saya mengajar di Prasetiya Mulya, baru tahun ini jumlah mahasiswa agnostik lebih dari 1 orang. Ada 4 mahasiswa mengklaim diri dalam posisi ragu dan tidak mau bergabung dalam organisasi agama. Mereka skeptik adanya kebenaran-kebenaran ajaran agama, dan Tuhan itupun bisa jadi tidak lebih ilusi dan obsesi akal manusia. Agnostik meragukan klaim ajaran dan dogma keagamaan Saat saya ajak dialog, mereka bercerita banyak. Ortu mereka memang tak menciptakan aroma keagamaan dan spiritualitas dalam ruang keluarga mereka.

Kesan saya, secara umum, mahasiswa di beberapa kampus di atas tidak rajin melakukan ibadah dan membuka Kitab Sucinya. Mereka banyak yang tidak minat hal-hal yang berbau agama secara formal. Apa yang mereka ketahui dari ajaran agama umumnya bibit yang sempat mereka terima saat disemai di tingkat SD-SMA. Beruntung sekali sempat ada yang melekat dalam jiwanya. Bila, tidak besar kemungkinan jiwa mereka kosong dari “tulisan dan benih” keagamaan atau spiritualitas. 

Sementara di UPJ, pola pembelajaran (perkuliahan) lebih kepada proses perkenalan dan perjumpaan lintas agama. Materi kuliahnya bertajuk "Religious Studies”. Ada pengantar studi agama-agama. Selebihnya adalah ekspresi dan ekskursi (kunjungan lapangan ketempat-tempat ibadah). Di kampus ini agama para mahasiswa tidak beda dengan Prasetiya Mulya sebelumnya. Pola dan perspektifnya pluralisme, perennialisme dan eksistensialisme. Yang menarik, saat di hari pertama kita lakukan uji coba ekspresi kesan dan harapan, ada beberapa ungkapan yang muncul; "Saya takut berdosa bila masuk kerumah-rumah ibadah agama lain", ungkap seorang mahasiswa. "Saya khawatir iman saya tergoncang dan konversi ke agama lain" sambut lainnya. Bahkan ada yang mengungkapan, “Saya khawatir saya jatuh kepada penganut agama lain”. Dalam tugas akhir (final assessment) kami menugasi mereka untuk menampilkan beberapa bentuk kegiatan: iklan layanan masyarakat, film dokumenter dan  poster  yang memuat advokasi dan sosialiasi relasi sehat dan damai lintas agama.

Beda halnya di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) NALANDA. Di kampus ini saya mengampu materi kuliah "Pluralisme di Indonesia". Mereka semua kaum Buddhis. Yang menarik, para mahasiswa di kampus lebih sehat dari umumnya umat Islam dan Kristen dalam paradigma dan sikap keberagamaan. Saya menilai mereka lebih terbuka, tidak memiliki rasa curiga akan missionaristik (proses dakwah dan tabligh). Mudah diajak dialog dan tidak merasa sedang didangkalkan dan dicemari agamanya. Para mahasiswa welcome menerima kuliah keislaman.

Yang pasti, saya punya obsesi intelektual dan spiritual. Filosofi saya, misalnya “Kesalahan membajak sawah pada musim semi hanya akan membawa kerugian satu musim. Sedangkan salah mendidik anak akan mencelakakan anak itu seumur hidupnya” (Pepatah China). Di Prasetiya Mulya, saya berdoa agar banyak tumbuh dalam jiwa para pebisnis akhlak luhur, tidak mendewakan profit dan mengejar keuntungan semata. Kita rindu pebisnis yang berkelakuan baik, bisnisnya berkelanjutan dan diabdikan kepada kemanfaatan yang lebih luas. Kita rindu pebisnis yang berhati nurani, berpikir etis, dan memiliki orientasi bisnis ”berkelanjutan”. Bisnis yang tidak sekadar menumpuk harta dan menggelembungkan angka deposito. Tetapi, berkarya lewat bisnis untuk meraih kekayaan bagi para pemodal sambil berbagi kesejahteraan dan kemakmuran kepada yang terlibat langsung dan masyarakat luas". Sementara di UPJ dan NALANDA, saya berdo'a akan lahir generasi-generasi muda yang memiliki cara pandang keagaman yang sehat, damai dan harmonis dalam keragaman. Amiiiin.

(rr)