www.facebook.com

USAI perang besar di Padang Kurusetra tak ada sorak sorai ungkapan kemenangan. Tak ingin ada pesta gempita merayakan. Bagi Pandawa, kemenangan dalam Brata Yudha melahirkan kesedihan berkepanjangan. Bukan hanya karena gugurnya para ksatria putra Pandawa, tetapi  terjadinya genocide keluarga Kurawa. Sanghyang Kunteya dan adik-adiknya hampir tak mampu menerima kenyataan ini. Tiada lagi senyum canda ria, masa tua pihak Pandawa penuh kesedihan mendalam. Ditabahkannyalah hatinya agar jangan sampai putus asa. Negeri dibangun kembali dari kehancuran sisa perang, sambil mengasuh anak cucu yang tersisa untuk dipersiapkan menjadi ksatria handal calon pemimpin masa depan yang mampu menegakkan keadilan.

Syahdan, satu demi satu mereka wafat, kembali ke asal usulnya, ke alam penuh kedamaian seperti yang telah dijanjikan dewata. Akhirnya dari lima bersaudara, tinggallah yang paling tua yaitu Sanghyang Kunteya. Ia harus menerima takdir untuk hidup seorang diri dalam sepi yang panjang yang selalu didera rasa rindu. Rindu akan saudara dan anak cucunya yang telah tiada, rindu kematian yang tak kunjung datang.

Jaman berganti, umurnya sangatlah tua namun fisiknya tidak renta. Entah berapa generasi keturunannya telah tiada pula. Negeri yang luas. Istana yang mewah, tahta yang gemerlap serta rakyat yang mencintainya telah lama ia tinggalkan. Sanghyang Kunteya berjalan dan terus berjalan mengembara menapaki pelosok dunia. Di tangannya tergenggam erat pusaka Jamus Layang Kalimasada, anugerah dewa. Erat seakan takut terlepas dan memang ia tidak berniat melepaskannya. Masih terngiang dalam ingatannya amanat Dewa Batara saat ia memperoleh pusaka itu. Bahwa ia tidak akan mati sampai kapan pun hingga bisa membaca dan melisankan tulisan yang ada pada pusaka itu. Dewa Batara pun mengamanatkan kepada Kunteya, ia tidak akan bisa membacanya kecuali mendapat tuntunan dan petunjuk dari waliyullah melalui seseorang yang akan ditemuinya di gunung Dahyang tanah Jawa.

Kunteya mengembara dan terus mengembara walau tak tahu arah. Diselemuti kebingungan ia terus berjalan menapaki pelosok bumi. Ia tidak tahu letak gunung Dahyang. Nusa Jawa pernah didengarnya dalam kisah-kisah lama, namun ke mana pula arahnya, ia tak tahu. Menyusur sepanjang jalan yang dituju tapi belum ketemu, belum juga terbukti. Padahal  tak terbilang gunung tinggi ia lalui, samudra dan sungai yang telah diseberangi, dan gurun yang ia tapaki.

Sesabar hati, Sanghyang Kunteya pasrah. Imannya goncang. Rasa putus asa mendera. Puncak Himalaya didakinya kemudian menjatuhkan diri ke dalam jurang yang menganga, terkena batu cadas dan gundukan karang tajam nan runcing. Tapi Kunteya tidak binasa, bahkan makin perkasa. “Ah, kapankah datang kematian itu?”, ia bertanya sendiri. Ia pun sempat menerjunkan diri ke laut luas yang sangat dalam dan berbahaya karena dihuni binatang-binatang buas mematikan. Akan tetapi binatang buas tak suka kepadanya. Jangankan tenggelam, telapak kakinya pun tidak basah. Akhirnya ia sadar atas takdir ketentuan Yang Maha Menentukan, juga atas nasib yang ditanggungnya. Segera ia bertaubat memohon ampun atas kekeliruannya.

Nusa Jawa

Perjalanan mencari kematian membawanya ke Nusa Jawa yang dahulu disebut Jawadwipa. Di puncak gunung Dahyang ia berhenti dan merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia mencari tempat tinggal yang layak. Di bawah pohon Bodhi ia berhenti. Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah atas nama penguasa jagat, ia tidak akn bergeser dari bumi yang dipijaknya walau setapak, sebelum bersua dengan Sang Penolong yang akan membimbingnya sesuai amanat Dewa Batara Guru.

Bertahun ia di puncak gunung Dahyang. Matanya setengah terpejam, kakinya kokoh tegak berdiri, tangannya menyilang di dada, mengambil sikap semedi. Hujan, angin tak dipedulikannya. Badannya terbelit akar-akaran dan tertutup tumbuhan belukar yang berduri. Rambut gimbalnya acak-acakan tak terurus. Silih berganti burung gagak membuat sarang, bertelur dan beranak di sana. Sekujur badan Kunteya akhirnya tidak tampak lagi.

Tersebutlah Raden Sahid yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Kalijaga (ada pula yang menyebutnya Wali Kate). Sunan Kalijaga tengah mengembara melaksanakan kewajiban dari Susuhunan Jati, gurunya, dalam penyempurnaan menggenapi gelar kewaliannya. Ia mengembara ke gunung Dahyang tidak sendiri, namun diikuti dua orang punggawa yang setia yaitu Ki Wira dan Ki Laksana.

Di bawah pohon Bodhi yang besar (ada yang menyebutnya pohon Kalpataru) mereka bertiga beristirahat. Tempat itu dianggap cocok untuk bermalam. Raden Sahid mengajak kedua pengawalnya menebang belukar dan akar-akaran di sekeliling tempat itu. Ketika asik bekerja, Ki Wira dan Ki Laksana menjerit kaget. Betapa tidak. Di dalam belukar yang terbelit akar-akaran itu tampak sosok mahluk tinggi besar. Meski kurus badannya tapi terlihat besar. Tingginya hampir separuh pohon Bodhi yang ada di sampingnya.

Wujudnya manusia juga, tapi segalanya melebihi ukuran manusia biasa. Golok di tangan Ki Wira dan Ki Laksana tak mampu memotong akar-akaran yang menempel di badannya. Sungguh tak masuk akal. Berulang kali dicoba, hasilnya tetap nihil. Mereka pun menyerah. Raden Sahid mengeluarkan keris Kalamunyeng. Hanya dengan diacungkan ke udara, seluruh akar yang membelit seketika rontok.

Makin jelas sosok mahluk itu secara utuh. Rambutnya acak-acakan tak teratur. Kumal tak terpelihara. Sampah bertumpuk di rambut gimbalnya. Kaki terpendam di tanah hampir sebatas lutut. Mungkin karena terlalu lama berdiri di sana. Kalau saja bukan Sanghyang Kunteya pasti tinggal tulang belulang saja. Beberapa saat belum ada komunikasi antara mereka. Kunteya tampak lemah sekali.

Raden Sahid berupaya membantu mengembalikan kesegaran dan kekuatan fisiknya. Susah payah Raden Sahid memberinya air minum. Maklum Kunteya terlalu tinggi baginya. Sesaat kemudian mata Kunteya yang cekung mulai terbuka, dan semakin lebar. Terlalu kuat pancaran prana dan sugestinya. Pasti ini mahluk luar biasa, gumam Raden Sahid. Ketika dua bola mata Kunteya terbuka, Ki Wira dan Ki Laksana terpental ke belakang bagai terdesak dorongan kuat. Ki Wira dan Ki Laksana tak sanggup lagi memandang matanya. Hanya Raden Said yang tampak tenang. Matanya saling pandang kemudian mereka saling tersenyum. Rupanya sudah terjalin komunikasi batin.

Legalah Ki Wira dan Ki Laksana. Mereka kembali mendekat. Kunteya menggerakkan tangan dan tubuhnya serta mengangkat kedua kaki yang terpendam. Perlahan ia melangkah lalu duduk bersila. Napasnya kembali normal.

Kedua pengawal Raden Sahid merasa heran, tuannya seperti sudah mengenal mahluk yang baru ditemuinya. Kunteya mengucapkan salam dan terjadilah dialog. “Mohon maaf ki sanak, perkenankan kami bertanya agar kami tahu siapa tuan sebenarnya, mengapa pula ada di situ. Sosok tuan tinggi besar walau kurus. Segalanya sama dengan kami. Maafkan kalau kami telah lancang”. Dengan sopan Kunteya menjawab, “Sumuhun mangupak sama yogya (mohon do`a sebelumnya). Ketahuilah anak muda aku adalah manusia juga, sama dengan dirimu. Hanya jaman kita yang berbeda. Aku adalah adalah orang kuno yang hidup di jaman pewayangan. Sedangkan anak muda orang masa kini yang hidup di jagat kemanusiaan. Namaku Sanghyang Kunteya. Dahulu aku disebut Darmakusuma juga bernama Yudistira. Aku mengembara sangat lama. Mungkin ribuan tahun. Seluruh pelosok bumi telah kujelajahi. Terakhir di sini,  Nusa Jawa”.

Lalu Kunteya meneruskan, “Tujuanku kemari hanya satu yaitu mencari pesan mangaring pati. Tolonglah anak muda. Hanya anda yang bisa menolongku. Hidupku jauh dari mati, napasku tak kan berhenti sebelum Jamus Layang Kalimasada ini ada yang bisa mengucapkan isinya. Sesuai dengan ciri wangsit, engkaulah anak muda yang bisa menolongku”.

Sejenak Kunteya menarik napas, lalu, “Aku sudah bosan hidup. Aku rindu sosok saudaraku yang telah mendahului. Aku ingin segera kembali ke alam asal ketika diciptakan. Tolonglah anak muda, tolong aku”.

Ungkapan Kunteya langsung dipahami Raden Sahid. “Maafkan eyang atas kelancangan kami, maksud eyang kami pahami. Perkenalkan juga namaku Raden Sahid. Dua temanku ini Ki Wira dan Ki Laksana. Kami di sini mengemban tugas guruku. Mengembara juga seperti eyang. Aku disuruh belajar mati di dalam hidup. Tertawa di dalam duka.  Disuruh berperang dengan diriku sendiri. Ketahuilah yang bisa mengungkap pusaka kanjeng eyang hanyalah guruku”.

“Kalau aku pulang mengantar eyang berarti kegagalan bagiku sebab belum sampai waktunya. Aku hanya bisa menunjukkan arah ke mana eyang harus pergi. Di Pekikisan Ardi Sembung Amparan Jati, di sanalah keberadaan guruku. Silakan eyang ke sana, ke arah Barat eyang berjalan. Semoga eyang segera berjumpa dengan Kanjeng Susuhunan Jati. Itulah guruku”, lanjut Raden Said.

Sanghyang Kunteya sangat gembira, harapannya sudah dekat dengan kenyataan. Ia mohon diri kepada Raden Sahid. “Anak muda, sungguh aku sangat berterima kasih padamu. Kini aku mohon diri hendak meneruskan laku. Semoga Hyang Widi menuntun perjalananku. Selamat tinggal anak muda. Semoga tercapai pula cita-cita kamu. Mudah-mudahan kita masih diberi kesempatan untuk berjumpa lagi”. Penuh haru Raden Sahid melepas kepergian Sanghyang Kunteya. “Selamat jalan eyang, semoga selamat!”

Berangkatlah Sanghyang Kunteya berbekal keyakinan dan harapan. Lupa akan istirahat walau sejenak. Ia hanya ingin sampai ke tujuan. Tak sabar lagi. Sehari terasa setahun. Seminggu terasa sewindu. Padahal semakin dekat ia ke tujuan.

Ardi Sembung Amparan Jati

Di halaman mesjid agung di bawah deretan pohon Tanjung dan Sawo Kecik tampak para Sang Kamasta. Susuhunan Jati, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kudus, dan ulama tengah bermusyawarah. Entah apa yang dibicarakannya. Seketika Ki Modin dan para santri bergegas menyampaikan kehadiran mahluk luar biasa yang ingin menghadap Kanjeng Sinuhun.

Baru saja Ki Modin dan santri selesai matur, terdengar ucapan salam aneh dari luar pagar. Dijawabnya salam itu dengan cara Islam. Para sesepuh tidak terkejut. Ketajaman mata batin mereka mengerti siapa yang datang. Dipersilakan tamunya duduk bersama di hamparan lampit. Tidak diajak masuk ke dalam mesjid karena sang tamu terlalu tinggi.

“Selamat datang Paduka Tuan! Sungguh kami merasa bahagia mendapat kehormatan kedatangan Raja Agung tiada tara, Sang Maha Prabu dari masa lampau kerajaan besar Hastinapura. Mohon maaf kami tidak bisa menyambut dengan upacara kebesaran sebagaimana layaknya menyambut tamu agung, karena kedatangan paduka tidak kami duga. Kami bersyukur bahwa ini merupakan anugerah Yang Maha Kuasa”, Susuhan Jati membuka percakapan.

Sanghyang Kunteya merasa aneh karena tuan rumah tahu persis perihal dirinya. Dengan merendahkan tubuh, ia bertanya, “Kalau boleh tahu, siapakah Tuan sebenarnya?”

“Maaf pula Paduka Tuan, saya tidak bermaksud pamer kelebihan. Saya bersikap demikian karena kita sama-sama tahu diri kita masing-masing. Paduka berada dalam diriku dan aku berada dalam diri paduka. Orang menyebutku Susuhunan Jati, yang lainnya adalah saudara-saudaraku seiman. Semua adalah musafir kelana membawa syiar agama. Jadi kita sama-sama pengembara”.

Kunteya melanjutkan pembicaraannya, “Mohon maaf Kanjeng Sunan, aku pun berkewajiban mengenalkan diri. Dahulu aku disebut Darmakusuma juga dinamakan Yudistira. Aku tak berhak menerima kehormatan berlebihan sebab bukan Sang Maha Prabu lagi. Kini aku adalah diriku yang sekarang ini. Tidak memiliki apa-apa lagi. Masa lalu itu telah ribuan tahun berlalu. Kini tiada sanak saudara, tiada derajat atau pangkat, tiada harta yang kubawa. Semua itu tidak kubutuhkan lagi. Yang sangat kubutuhkan saat ini ialah paran pati, berpulang ke hadirat Hyang Widi. Aku sangat lelah. Lelah sekali. Membawa takdir ketentuan Pengemban Jagat. Aku hidup walau sebenarnya telah mati. Aku telah mati dalam hidup yang panjang dan membosankan. Kini aku dating ke tempat yang tepat. Berhadapan dengan orang yang kucari. Tolonglah Kanjeng Sunan….. jangan biarkan diriku menjadi abadi. Inilah Jamus Layang Kalimasada. Tolong jelaskan padaku apa arti tulisan serta maknanya. Hanya dengan cara itu diriku dianggap sempurna dan hanya dengan cara itu pula aku berpulang segera. Untuk itu tolonglah aku Kanjeng Sunan”.

Susuhunan Jati menjawab lembut, “Yang mulia Paduka Tuan! Sungguh dengan iklas kami ingin menolong paduka. Namun kami pun mohon tolong pula kepada paduka. Sekiranya paduka tidak keberatan, untuk kenangan anak cucu kelak kami ingin mendengar dan mengabadikan kisah jaman pewayangan secara lengkap”.

“Dengan senang hati Kanjeng Sunan, aku akan ceritakan semua kisah jaman pewayangan termasuk peristiwa besar Perang Suci Bratayudha Jaya Binangun yang menyebabkan kami bersaudara merana”, sambung Kunteya.

Konon tujuh hari tujuh malam Sanghyang Kunteya berkisah. Semua dicatat oleh Raden Sahid yang telah tiba dari gunung Dahyang. Dan pada hari ke delapan di halaman mesjid berkumpul kembali. Susuhunan Jati memberi perintah kepada Ki Patih Keling dan anak buahnya, “Ki Patih bersama yang lain, mandikan Sanghyang Kunteya sebagaimana memandikan jenazah. Lalu selimuti tubuhnya dengan kain kafan layaknya orang mati hendak dikuburkan”. “Sendika Kanjeng Sunan!”, jawab Patih Keling.

Hadirin banyak yang tidak mengerti apa arti semua ini. Terlebih ketika Sanghyang Kunteya ditidurkan terlentang ke arah utara selatan.

“Paduka Tuan yang mulia! Marilah kita coba kaji bersama perihal Jamus Layang Kalimasada. Sesungguhnya yang dimaksud dengan kalimasada adalah kalimat syahadat. Suatu ucap kata dan hati, merupakan kesaksian, ikrar pertama ketika seseorang menyatakan dirinya muslim. Singkatnya kalimat syahadat adalah rukun Islam yang pertama. Terdiri dari syahadat tauhid dan syahadat rasul”, papar Susuhunan Jati.

Bahwa Jamus Layang Kalimasada dianggap tak bertuliskan, itu keliru. Dikatakan demikian karena tulisan yang ada tidak ada yang bisa membaca karena menggunakan huruf Al-Qur`an yang pada jaman paduka sudah disebut namun secara simbolis, yaitu Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra berarti tulisan, Jendra berarti agung, Hayuningrat berarti keselamatan atau kesejahteraan dunia. Artinya tulisan agung yang menuntun untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat.

Perkenankan paduka saya beri abiseka (jejaluk) dengan sebutan Sami`aji. Paduka bukan Sanghyang Kunteya lagi tetapi Kanjeng Kiai Sami`aji, karena di antara kita sesungguhnya seimbang, tidak ada guru tidak ada murid. Kita sama-sama ngaji walaupun saya mendahului paduka sebagai muslim. Namun ketahuilah paduka telah lama menyatu dengan lafal syahadat.

Dahulu paduka adalah raja besar yang adil bijaksana. Jauh dari kelaliman dan hasud. Kini jasad paduka telah kami sucikan pula. Sebentar lagi paduka akan menjadi muslim. Maka gugurlah semua dosa paduka sebelumnya. Semoga jasmani dan rohani paduka disucikan Allah swt. Insya Allah. Mari ikuti kami Kanjeng Kiai Sami`aji.

“Dawuh dalem Kanjeng Sunan”, jawab Kanjeng Kiai Sami`aji (Kunteya).

Alkisah pada akhir pembacaan kalimat syahadat Kanjeng Kiai Sami`aji berpulang ke rahmatullah. Bau harum semerbak. Bunga-bunga bertaburan dari langit. Kanjeng Sunan Sami`aji dijemput bidadari yang menyertai malaikat. Susuhunan Jati meminta kepada Sunan Giri untuk mengukir  bentuk sosok tokoh wayang dari walulang. Sunan Giri beritikaf mohon kepada Allah gambaran tokoh wayang dimaksud. Berangsur gambar tokoh wayang itu tercipta lengkap. Beberapa saat kemudian di halaman mesjid itu pula dilangsungkan pagelaran wayang kulit purwa dengan menerapkan filosofi Pakeliran Wayang Kulit, yakni Dalang – Dalung – Wayang – Kelir.***

*ditulis berdasarkan keterangan dan catatan terserak budayawan Kartani (alm), mendengar lakon wayang kulit cerbon berjudul “Jamus Layang Kalimasad” baik di panggung maupun melalui RRI Cirebon