Ilustrasi/ riauone.com

SELESAI sudah hiruk pikuk Pilpres 2014 setelah Ketua MK, Hamdan Zoelva membatalkan tuntutan pemohon atas pelaporan kecurangan Proses pemilihan Presiden 9 Juli 2014 lalu. Kendati menyisakan ketidakpuasan pada sebagian masyarakat, fakta itu menjadi penjelas mengenai adanya kepemimpinan baru di Indonesia. Kepemipinan yang diharapkan sanggup memenuhi keinginan masyarakat terpimpin. Di sisi kepemimpinan merupakan beban/ tanggung jawab yang mengandung serta mengundang resiko besar.

Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menjadi pemimpin yang efektif, bukan soal mudah. Efektif melaksanakan visi misi kepemimpinan yang tertuang secara tertulis dan terpublikasi, tidak berarti harus mampu menyingkirkan semua kerikil tajam yang tersebar sepanjang jalan. Efektifitas kepemimpinan justru diperlihatkan manakala sang pemimpin mampu memilah dan memilih prioritas pekerjaan. Pekerjaan dengan prioritas prima tentu harus didahulukan. Untuk  pemenuhan aspirasi masyarakat terpimpin, ia dituntut menyederhanakan keinginan masyarakat terpimpin dengan pelaksanaan pekerjaan yang mewakili sekian aspirasi pada satu pekerjaan.

Dalam Hasta Brata, filsafat kepemimpinan Jawa dikenal Sifat Matahari; adalah menjadi sumber energi yang memberi kekuatan untuk menyokong kehidupan. Matahari memberikan kekuatan pada makhluk hidup yang ada di bumi. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Matahari dapat memberikan inspirasi dan semangat kepada rakyatnya untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Pemimpin yang menguasai sifat Matahari adalah ia yang siap membela rakyatnya yang tertindas. Sifat pemimpin seperti ini diilustrasikan dalam kisah Khalifah Umar bin Khattab yang “marah” ketika menemukan seorang warga yang tanahnya akan digusur Gubernur Mesir secara semena-mena. Seketika Khalifah Umar mengirimkan sepotong tulang yang digores pedangnya sebagai peringatan agar Gubernur Mesir tidak semena-mena terhadap rakyatnya.

Blusukan yang kerap dan konon akan terus dilakukan Jokowi nampaknya merupakan penerjemahan sifat matahari sebagaimana tertulis pada Hasta Brata. Keasikannya memotret langsung kehidupan masyarakat menjadi ciri dasar kepemimpinannya. Hanya dengan mengetahui dan melihat secara langsung kehidupan masyarakat, memahami keinginan masyarakat dan seterusnya merealisasikan keinginan itu dalam bentuk nyata –maka Jokowi bukan sekadar fenomenal. Ia dapat menjadi contoh pemimpin yang mampu memenej kepemimpinan secara baik sekaligus memberi aspirasi dan semangat kepada rakyatnya untuk menyelesaikan persoalan. Artinya rakyat pun diberi porsi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, tanpa harus menggantungkan penyelesaian masalah kepada pemimpinnya.

Ada persinggungan yang saling bertaut antara pemimpin dengan rakyatnya. Ketertautan itu mencipta sinergi yang baik bagi pelaksanaan kepemimpinan. Persinggungan ini mencerminkan Bener Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara. Falsafah ini bermakna bahwa semua perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapatkan balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan. Faktanya, Jokowi dicintai rakyat Solo, Jakarta, dan akhirnya rakyat Indonesia yang dibuktikan melalui Pilpres 2014 yang baru lalu.
 
Pada sampel lain kepemimpinan bisa saja merupakan warisan masa lalu. Dalam relasi ini Indonesia sebagai wilayah paling strategis pada peta geopolitik internasional, bila kembali menengok sejarahnya, terdapat banyak hal menyangkut kepemimpinan. Sejak kepemimpinan Bung Karno, Seharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono –aneka ragam konsep kepemimpinan negara dan bangsa telah dilaksanakan. Ada pun penilaian atas kepemimpinan para Presiden RI tersebut, semuanya kembali kepada citra sang penilai.

Pada kepemimpinan mereka telah berlangsung banyak peristiwa yang mengharubiru, yang gundah, gelisah, bahkan amuk massa. Akan tetapi selalu ada harapan yang ditautkan sebagai keniscayaan kepemimpinan. Saya kira di sinilah perlunya memahami kepemimpinan serta menilai cara kepemimpinan itu dengan menyandingkan catatan kegagalan dan keberhasilan. Tidak mesti gebyah uyah dan digeneralisir, karena hanya akan menimbulkan apriori berlebihan. Sebaliknya ketika penilaian berangkat dari rasa cinta yang berlebihan akan menimbulkan kultus individu di luat batas wajar.

Pewarisan kepemimpinan sebaiknya berangkat tidak atas dasar makar dan atau penggulingan kekuasaan melalui jalan politik. Lihatlah peralihan kepemimpinan Soeharto dari Soekarno. Begitu pula dari Soeharto kepada Abdurrahman Wahid, Megawati yang mengambil alih kepemimpinan Gus Dur. Semuanya tidak/ kurang mencerminkan sifat matahari pada ajaran Hasta Brata. Sementara dua periode kepemimpinan SBY  yang memenangi pilpres secara langsung pun masih menyisakan dendam politik atas nama kekuasaan. Relatif kepemimpinan selama 69 tahun NKRI berdiri, selama itu pula belum memperlihatkan adanya filosofi dasar demokrasi, yakni kekuasan di tangan rakyat (dari, untuk, dan oleh rakyat).

Dan demikianlah manakala orientasi kepemimpinan lebih menukik pada penguatan sebuah ordonansi dengan balutan “seolah-olah” maka posisi pemimpin dengan terpimpin senantiasa berhadap-hadapan pada kubu berseberangan. Berbalik diametral mempertontonkan kuasa pertentangan. Pertanyaan yang mengemuka, adakah pelajaran yang dapat dipetik dari sejumlah contoh kepemimpinan masa lalu itu bagi periode kepemimpinan sekarang?

Welas Asih

Pada sejarah Cirebon sebagaimana dilakukan sinuhun Syekh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunungjati telah menanamkan berbagai ajaran kenegaraan (kepemimpinan), tidak semata-mata menyebarkan agama. Sejarah pun mencatat siar agama Islam dari Cirebon itu menembus berbagai dinding wilayah lain sehingga Islam tersebar ke mana-mana. Dan secara terstrukur yang dibalut kultur, agama ini merupakan peradaban baru yang berkembang cepat terutama di wilayah pantai. Tak aneh jikalau kemudian tumbuh kerajaan-kerajaan Islam di mana-mana.

Kekaguman masa lalu tentang posisi Cirebon dalam sejarah nasional selayaknya menjadikan kita bijak dalam melihat berbagai fenomena yang muncul ratusan tahun kemudian. Batapa Sunan Gunungjati meletakkan dasar konsep kemasyarakatan pada masanya, yang ternyata masih dapat digunakan saat ini. Melihat bagaimana kekuatan visi seorang waliyullah yang dianugerahi kelebihan itu, memperhatikan sikap bijak dan mengayomi masyarakat, bersedia mendengar keluhan dan masukan dari orang di sekitarnya, juga mengingat bagaimana beliau memetakan perjalanan dakwah Islam hingga melebar ke Banten, Galuh dan Pajajaran –  tampak bahwa orang suci yang kerap dipanggil sinuhun atau susuhunan jati, memiliki visi ke depan membangun wilayahnya.

Kepemimpinan yang berawal dari ajaran agama ini merupakan kepemimpinan yang mewariskan hikmah dan pembelajaran tentang teori serta konsep kemasyarakatan yang dirancang bagi keutamaan publik. Kepemimpinan dengan pola ajar welas asih itu terbukti menjadi ciri khas penyebaran agama melalui pendekatan kultural yang mumpuni. Bayangkan, hutan di tepi pantai yang dibabat oleh Mbah Kuwu Cirebon, Pangeran Cakrabuana itu lantas diteruskan oleh Susuhunan Jati pada masa itu mencengangkan kekuasaan Pajajaran. Dalam hitungan beberapa tahun, dukuh sunyi yang semula berstatus kampung itu terus berderak hingga menjadi Kerajaan Cirebon.

Apa sajakah yang diwariskan oleh Syekh Syarif Hidayatullah sehingga konsep kemasyarakatan yang dikembangkannya mampu bertahan begitu lama? Pesan monumental yang sudah melekat di pikiran masyarakat Cirebon, yakni Ingsun Titip Tajug lan Pakir Miskin merupakan sebuah kepedulian sosial yang tinggi. Unsur ukhrawi berpadu dengan unsur duniawi. Hablumminallah dan hablumminnas berpadu bersamaan.

Membincangkan Indonesia yang terus berkembang dan mempengaruhi negara sekitarnya, terutama mengingat kekayaan alamnya yang luar biasa membuat ngiler negara lain, menunjukkan kekuatan Indonesia. Kekuatan yang begitu diperhitungkan. Kekuatan yang mengantarkan Indonesian sebagai centrum tarik menarik kepentingan ekonomi global. Dengan kata lain jikalau sistem dan konsep kepemimpinan bangsa dan negara terlambat mengadaptasi hal-hal baru, isu global, atau solusi atas  kompetisi ekonomi dunia yang makin terbuka ~maka negara tercinta ini tetap berada pada situasi yang tidak menguntungkan. Rakyat dan pemimpin Indonesia sekadar menjadi konsumen terbaik atas produk asing yang tiada henti menerjang. Indonesia hanya akan menjadi tempat pembuangan sampah industri luar negeri.

Jejak lama kepemimpinan layak dikuak kembali. Ajaran welas asih yang juga dapat ditengok pada ajaran semua agama di Indonesia mencerminkan kerinduan masyarakat terpimpin memperoleh kepastian, ketegasan serta kekuatan pemimpin baru demi memperoleh kesejahteraan bersama. Kepemimpinan dimaksud semoga terpahat pada diri pemimpin Indonesia baru yang telah diamanatkan Undang-undang. Tanpa kepastian atas perolehan kesejahteraan rakyat, siapa pun pemimpinnya maka tak lebih dan tak kurang, negeri yang berjuluk rangkaian zamrud di khatulistiwa (pinjam istilah Mohamad Yamin) ini selalu menjadi objek perebutan kepentingan asing.

Ingatan atas kepemimpinan masa lalu bukan romantisme semata. Melainkan untuk mengambil hikmah dari seberang sana. Betapa kepemimpinan yang berangkat dari welas asih -- terbukti mampu mengubah persepsi masyarakat tentang kepemimpinan. Dengan kata lain kepemimpinan di Nusantara layak menjadi referensi untuk menggagas perubahan dahsyat yang mengantarkan masyarakat Indonesia menuju Indonesia Hebat. Dan berbekal perubahan (yang semoga bukan impian) itu agaknya nama Indonesia mampu berdiri sejajar dengan negara lain. Berdiri secara ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dengan negara lain, dengan negara-negara yang pernah “mengencingi” kelemahan Indonesia.

Berbasis Rakyat

Bila kini kita sibuk oleh berbagai permasalahan menyangkut kepemimpinan nasional, jabatan menteri yang akan mendampingi Joko Widodo Jusuf Kalla, agaknya jangan lupakan konsep kepemimpinan yang telah diwarisan leluhur Nusantara. Hastra Brata masih relevan untuk diterapkan dalam membangun serta mengelola masyarakat Indonesia saat ini. Begitu pula ajaran para wali penyebar agama Islam di Indonesia. Bukankah pada ajaran menitipkan orang miskin sebagaimana tertulis di atas, mencerminkan kepedulian sosial yang tinggi. Bahwa negara berkewajiban mengentaskan kemiskinan, wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Bila masyarakat miskin terus berkurang maka kesejahteraan akan terbukti. Sebaliknya manakala kemiskinan bertambah atau tidak mengalami penurunan secara signifikan, bolehlah dikata pemerintah gagal menjalankan tugasnya. Kepemimpinan menjadi terkoyak.

Pilpres 2014 yang telah usai itu mengajak kita untuk memformat ulang tata kelola pemerintahan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui penggalian nilai lama yang telah diajarkan para leluhur Nusantara. Mempelajari nilai lama untuk diterapkan pada masa kini bukan merupakan ketertinggalan atau surut ke belakang, akan tetapi merupakan refleksi serta kompilasi dengan nilai yang kita anut saat ini. Perpaduan nilai lama dengan nilai baru inilah yang menjadi acuan bagi pengambilan keputusan publik dalam kepemimpinan.

Bukan saatnya lagi kita saling menyalahkan kegagalan kepemimpinan yang telah berlangsung. Dan ini tidak berarti kita kehilangan sikap kritisis.  Satu hal yang patut diingat jika hanya mengungkap kesalahan, maka pola kepemimpinan yang telah diwariskan leluhur itu gagal kita tanamkan. Biarlah kepemimpinan yang telah lalu berakhir dengan sendirinya.  Jika harus menerima konsekuensi atas kepemimpinannya, biarlah waktu yang bicara. Namun ada kalanya, bangsa Indonesia yang pemaaf dan pelupa itu, kerap menyimpulkan kepemimpinan seseorang pada akhir masa jabatannya. Pada pidato kenegaraan yang dibacakan SBY 14 Agustus 2014 yang baru lalu di DPR/ MPR, hampir semua bangsa elemen bangsa menyatakan kekaguman atas pidato kenegaraan “yang menyentuh” itu. Semua seakan lupa atas sikapnya yang bimbang menyoal keberpihakan politik pada Pilpres 2014. Malah memuji karena SBY mengatakan siap membantu presiden terpilih apabila diminta.

Baiklah itu boleh kita maknakan betapa mulianya rakyat Indonesia menempatkan kedudukan sang pemimpin, lepas dari apakah ia berhasil membawa perubahan atau tidak samasekali. Kemuliaan rakyat yang begitu tulus dan mencerminkan sikap welas asih seharusnya menyadarkan pemimpin agar menerapkan sistem kepemimpinan berbasis rakyat. Tidak dan bukan  menjual nama rakyat dalam persidangan yang terhormat.

Dengan demikian tugas melakukan perubahan serta menggagas Indonesia ke depan merupakan kemestian dalam rangka membangun bangsa dan negara. Kita sebagai warga negara Indonesia harus mengedepankan kebersamaan, kemaslahatan, dan kedamaian –sehingga kepemimpinan atas nama rakyat Indonesia memastikan adanya sifat matahari sebagaimana tercantum dalam Hasta Brata.***

(rr)