www.edisinews.com

TEMAN saya menganalogikan blusukan Jokowi dengan kalimat iqra (membaca). Katanya, pembacaan yang baik telah dan sering dilakukannya demi memperoleh pengetahuan atas penglihatan secara langsung. Dengan melihat langsung kehidupan masyarakat, mengetahui kebutuhan pembangunan di lokasi blusukan, Jokowi sedikitnya mencerna keinginan masyarakat yang telah dijumpainya. Berbekal itu pula ia melaksanakan aspirasi masyarakat, dengan catatan tidak seluruh aspirasi itu diakses. Bukan lantaran hendak ingkar dari ucapan/ janjinya melainkan ada skala prioritas sebagai oleh-oleh blusukan itu. Bisa jadi, aspirasi sejenis (serupa tapi tak sama) dikelompokkan, dipiliah lalu diwujudkan pada satu bentuk apresiasi terhadap aspirasi itu.

Jika masyarakat Jakarta khususnya masih ada yang berbeda pandang mengenai kegagalan blusukan Jokowi, kata teman saya di atas, berarti pemahamannya tentang iqra mesti dievaluasi. Tentu saja analogi itu mengundang tanggapan pro kontra. Ada yang berkata berlebihan lantaran sangat tidak mungkin membandingkan Jokowi dengan kanjeng Nabi Muhammad saw. Ada yang membenarkan analogi itu saat disampaikan di komunitas pro Jokowi. Dan ada pula yang tidak mengatakan apa pun terhadap analoginya berdasarkan kebebasan berserikat dan berpendapat di hadapan umum. Terlebih kebebasan bicara dalam demokrasi Indonesia terus berkembang, tumbuh dan subur menyirami sistem perpolitikan dan pemerintahan. Sikap abstain ini dilakukan sekadar untuk mengetahui sudut pandang orang lain terhadap suatu hal.

Mereka yang menolak analogi kawan saya berpegang pada prinsip bahwa Nabi Muhammad saw adalah insan kamil, orang yang paling mulia serta menjadi referensi umat Islam seluruh dunia. Dengan kata lain bila analogi di atas benar maka perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014 mendekati angka 80%, dan tidak akan ada hiruk pikuk pelaporan kubu Prabowo Hatta ke MK, maupun tuntutan atas kinerja KPU. Nabi yang terbebas dari dosa, konon menurut kelompok yang menolak keras analogi kawan saya, sangat jauh dengan Jokowi yang bukan lahir dari komunitas agama.

Di sisi lain, mereka yang menerima kirata (kira-kira nyata) kawan saya itu, menyandarkan pendapatnya untuk “memuliakan” Jokowi, menempatkan sebagai Satria Piningit yang mampu menjabarkan langkah yang ditempuh kanjeng Nabi. Meskipun tidak dikatakan sebagaimana khalwat Nabi di gua Hira, Jokowi telah merefleksikan perenungan yang baik sebelum blusukan. Begitu pula ia dinobatkan partai pengusungnya dengan menyematkan satu sifat Nabi tercinta, yakni amanat. Ini dapat dikompilasikan dengan kata al-amin yang melekat pada diri Sang Nabi.

Diskusi makin menarik ketika pihak yang tidak memihak kepada Jokowi maupun Prabowo memparkan bahwa penyematan kata amanat pada sosok Jokowi hanya sebatas langkah politik di wilayah abu-abu, hanya untuk mematut diri sehingga layak “dijual” kepada pemilih muslim Indonesia. Sederhana, Jujur, dan Amanat --tiga trade mark itu-- sebaiknya dipandang dalam satu kesatuan sistem niaga politik. Bukan melalui pendekatan agama Islam. Ironi apabila agama ditautkan menjadi bagian penting referensi politik. Prabowo Hatta yang  banyak diusung dan didukung parpol Islam, menjadi bias manakala parpol-parpol Islam itu memiliki kekuasaan di parlemen.

Sederhana, jujur, dan amanat tentu akan lebih bermakna lagi bila mampu dijabarkan dalam hidup keseharian. Akan lebih mengundang simpati dan keberpihakan yang jelas, hingga pada saatnya tiga kata yang disematkan secara politis itu bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menerima dan melaksanakan amanat rakyat sepertinya mengingatkan slogan Ampera, amanat penderitaan rakyat, yang brilian pada masa Orde Lama.

Blusukan Jokowi oleh kawan yang lain dimaknakan sebagai jalan lepas tanggung jawab. Beberapa bulan ke belakang, Basuki Tjahja Purnama memperlihatkan tumpukan berkas pekerjaan yang belum ditandatangani Jokowi akibat keasikan blusukan. 

Pendekatan Budaya

Tak ada habisnya menilai Jokowi. Begitu pula tak ada habisnya menilai Prabowo. Keduanya menjadi man of the year dengan porsi pemberitaan terbanyak di media apa pun. Keduanya telah menguras perhatian yang begitu maksimal sehingga boleh dikata: Tiada hari tanpa Jokowi dan Prabowo. Bahkan sesaat menjelang penetapan MK atas gugatan kubu Prabowo, pemberitaan mengenai keduanya semakin menguat. Serempak, beragam isu pun merebak.

Menilai Jokowi dan menempatkannya pada kedudukan mulia, sah saja. Tidak ada yang melarang. Dan tidak ada pula yang akan dirugikan. Akan tetapi apabila penempatan itu berangkat dari pendekatan langkah Nabi Muhammad saw, saya yakin mengundang bibit pertentangan. Minimal mengundang ketidaksetujuan berbasis amarah.

Namun demikian pendekatan yang dilakukan dengan mematut dan mencatut seolah-olah telah menjabarkan ajaran Islam melalui lokalitas dan kearifan budaya, telah menjadi tradisi berpikir masyarakat muslim Indonesia. Artinya boleh jadi, pemimin yang didambakan harus “fasih” menerapkan ajaran Islam melalui pendekatan budaya setempat. Sejarah penyebaran Islam di Indonesia telah memperlihatkan hal tersebut dengan sangat gamblang. Terutama pada masa kewalian di Jawa, khususnya.

Lantas bagaimana kita menilai dan menimbang Jokowi? Ini pertanyaan penting yang kerap diajukan masyarakat. Jawaban atas pertanyaan itu bisa didapat dari lembaga survey dan media pendukung Jokowi, dan lembaga bentukan yang bertugas mempersiapkan Jokowi sebagai presiden terpilih. Bagi masyarakat kecil, pemilu dan pilpres kali ini menarik perhatian. Bukan semata-mata karena bebas bicara dan berpendapat tentang para jago yang masuk ke arena politik. Masyarakat kecil pun menilai demokrasi Indonesia sedang tumbuh dan berkembang. Masih adanya kekurangan dan kecurangan pada pileg dan pilpres, agaknya bisa diantisipasi jikalau dipandang sebagai kerikil tajam yang terentas dan terputus.

Pada obrolan dengan masyarakat kecil yang turut serta mengkritisi Pilpres 2014, diam-diam terselip keinginan agar Indonesia tidak terus dikategorikan pada deretan Negara Gagal, sebagaimana diurai Daron Acemoglu (ekonom MIT) dan James A. Robinson (pakar pemerintahan Harvard University). Buku ini diterbitkan oleh Crown Business, New York, 2012, setebal 529 halaman. Buku itu berjudul: Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty.

Pinjam ulasan kompasiana, tesis utama para penulis berinjak pada “suatu negara gagal disebabkan kelembagaan ekonomi ekstratif yang memberikan insentif yang dibutuhkan bagi tiap orang untuk menjamin, berkarya, dan melakukan inovasi.” Kelembagaan ekonomi ekstratif ini dijalankan oleh segelintir elit yang menguras sumber daya negara untuk kepentingan sendiri, dan hanya menyisakan sedikit hasil untuk kepentingan rakyat. Selanjutnya, kelembagaan politik ekstratif mendukung eksisnya kebijakan ekonomi itu dengan meneguhkan kekuasaan absolut para elit.

Mereka menilai Jokowi dengan harapan dan kerinduan adanya pembuktian akurat dan terstruktur tentang makna Revolusi Mental. Semoga Revolusi Mental ala Jokowi bukan sejenis trade mark kampanye kemarin lalu.***

(rr)