www.youtube.com

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. '(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaanTuhan), "(QS Al-Araf 7:172).

Dalam al-Futuhat al-Makkiyah, Ibnu Arabi mengatakan ada 2 model  perjalanan manusia kembali ke “haribaan” Tuhan. Pertama, adalah perjalanan yang dilakukan secara sadar, dipersiapkan dan diperjuangkan oleh pelakunya. Itulah perjalanan ke Tanah Suci Haramain. Perjalanan napak tilas menjejaki tapak-tapak para Nabi dan Rasul. Sejak Adam sampai Muhammad. Kedua, perjalanan kembali yang terpaksa dilakukan, bukan pilihan bebas dan mau tidak mau harus melakukan dan menjalaninya. Semua makhluk: manusia, hewan dan tumbuhan akan merasakannya. Tidak ada hak menolak, menunda dan harus menerimanya. Itulah saat malaikat pencabut nyawa mendatangi dan menarik ruh kita. Kematian. Kedua perjalanan ini pada dasarnya sama-sama butuh bekal, persiapan dan kesiapan diri.

Dalam Islam, simbol-simbol kesadaran diri untuk kembali itu menjadi bagian dari ibadah-ibadah utama. Islam dimulai dari persaksian 2 kalimat syahdatain “AsyahaduallaIlahaIla Allah wa Asyahadu anna Muhammadan Rasulullah”. Kalimat suci ini menegaskan kembali persaksian yang kita lakukan di alam primordial. Saat itu kita berada di alam ruh. Terjadilah dialog dan pengakuan ruh kita bahwa Tuhanlah satu-satunya Dzat yang mutlak harus disembah, ditaati dan dipasrahi oleh semua makhluk. Pengakuan ini melekat dalam ruh, “motor” penggerak raga dan unsur penghidup jasmani makhluk. Persaksian kedua adalah tentang kerasulan Muhammad. Pembawa syariat pamungkas.

Shalat yang kita lakukan sehari-semalam merupakan gerak kembali menemui Tuhan kita. Bila Rasulullah menemui al-Khaliq melalui Isra’-Mi’raj, ibadah utama ini menjadi wahana “pertemuan” kita dengan-Nya. Itulah yang Rasul ajarkan dengan ucapannya: al-shalatumi’rajulmukminin”. Shalat merupakan proses Isra’nya seorang mukmin. Saat kita menegakkan shalat terjadilah proses mudik jiwa kita. Terjadilah dialog spiritual dan proses ”nge-charge” jiwa raga agar kita kembali bersih dari kotoran-kotoran jiwa. Lupa sang pencipta, cinta dunia, tenggelam dalam dosa, dan perbuatan maksiat lainnya. 

Bila kita berbicara Haji, rasanya inilah ibadah yang seluruh rangkaian manasik dan ritualnya memuat simbol-simbol proses mengingatkan kesadaran kembali itu. Pakaian Ihram, mengingatkan umat Islam bahwa hanya sehelai kain putih bersih itulah yang akan kita bawa dan kenakan saat kembali ke alam akhirat. Thawaf merupakan peristiwa jiwa-raga kita mengelilingi Ka’bah, simbol keberadaan Yang Maha Esa. Kita berputar, sebagaimana alam semesta juga berputar mengelilingi poros keberadaannya. Berputar pada inti kehidupan itu pernah dinikmati oleh Adam-Hawa, bapak-ibu moyang kita. Saat diturunkan ke bumi, keduanya rindu menyaksikan peristiwa spiritual para malaikat mengelilingi arsy Ilahi. Adam berdo’a agar Allah mengizinkan dan membuatkan simbol keberadaan diri-Nya. Permohonannya dikabulkan. Allah memintanya membangun replika arsy di bumi. Itulah Ka’bah.

Manasik Haji memuat peristiwa napaktilas perjalanan kemanusiaan. Di mulai dari Adam, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Musa, Daud, Sulaiman, Ya’kub, Yusuf, Isa Al-masih dan Muhammad Rasulullah. Mata rantai kenabian, kerasulan dan kemanusiaan. Keturunan Nabi Ibrahim melahirkan 3 agama. Yahudi, Nasrani dan Islam. Kita adalah keluarga besar keturunan Ibrahim. Seluruh Nabi dan agama awalnya mengajarkan tauhid. Keesaan Tuhan. Inilah titik-temu seruan agama yang esensial dan benar. Perjalanan waktulah yang menggeserkan dan melencengkan esensi seruan utama itu.

Simbol kesadaran kembali yang secara sadar kita ucapkan adalah “innalillahiwainnailaihirajiun”. Kita ucapkan saat mendengar dan mengiringi sanak keluarga, kerabat dan sahabat kita wafat. Apapun agama dan kepercayaan dalam hati, kita pasti kembali ke pangkuan Ilahi. Teman-teman saya di ICRP akrab dengan ungkapan Rest in Peace (RIP). Sebuah kesadaran bahwa kita pun persis sama dengan yang wafat. Kita bukan milik kita. Pencipta dan pemilik kita adalah Allah. Tuhanlah pemilik manusia dan alam semesta. Masing-masing kita memiliki batas edar usia. Kuota hidup kita berbatas. Tidak ada yang abadi. Bila ajal tiba, tidak seorang pun mampu menolak, minta tunda,  apalagi minta perpanjangan masa hidup. Pasti dan harus kembali. Pertanyaan utama kita adalah apakah bekal kita sudah memadai dan sudah siapkah kita?

Sebentar lagi bulan suci Ramadhan akan berlalu. Idul Fitri, pamungkas perjalanan penyucian jiwa ini akan kita masuki. Kita mudik dalam rangka menikmati tanah-tumpah kelahiran kita atau bumi orang tua kita lahir. Di sanalah kita menemui atau silaturrahmi dengan orang tua, sanak keluarga dan kerabat kita. Kampung yang kita tuju semakna dengan “kampung” akhirat dimana kita pernah berkumpul dan pasti akan berkumpul kembali dalam rentang waktu tertentu. 

Kita memiliki dua (2) peristiwa mudik besar dalam tradisi keislaman di Indonesia. Saat Idul Adha dan Idul Fitri. Kita bersetuju bahwa dua peristiwa ini pada dasarnya bukan semata-mata peristiwa sosial-keagamaan-budaya. Ada makna lebih mendalam. Sebuah peristiwa spiritual besar berlangsung. Semarak dan penuh kenikmatan spiritual. Jutaan orang menikmatinya. Diperjuangkan dengan jiwa-raga. Harus punya bekal dan persiapan. Mudik itu esensinya merupakan gerak–jiwa raga ke kampung halaman akhirat. Jiwa pun menikmatinya. Ia rindu mudik ke asalnya. Alam abadi di sisi Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim.

Bahkan, saat mudik kekampung halaman kita masing-masing, ada juga yang langsung benar-benar mudik ke keharibaan Ilahi. Wafat dalam perjalanan karena kecelakaan lalu lintas. Bisa diterima bila ada yang mengatakan bahwa mudik biasa kita lakukan merupakan ritual kematian. Apalagi memang karena disiplin lalu lintas kita bermasalah. Tidak terlalu memperhatikan keselamatan kita sendiri, apalagi keselamatan orang lain. Ego ini harusnya pupus dengan gemblengan puasa Ramadhan. Bila juga tidak tumbuh empati dan simpati dengan kehidupan dan nasib sesama, orang miskin, kaum tertindas, bisa-bisa puasa yang kita jalani memang tidak lebih dari sekadar peristiwa memindah waktu pesta makan. Puasa yang hanya menggeser jam pelaksanaan kerakusan dan ketamakan kita kepada kenikmatan selera dari 3 kali menjadi 2 kali. Tak lebih sekadar menunda hedonisme terpendam.

Karena itu, dalam momentum persiapan mudik ini, dengan sadar, mari kita juga memasukkan kesadaran mudik ke kampung akhirat. Kampung abadi yang pasti kita akan masuki. Bila mudik  di alam duniawi butuh bekal dan persiapan, mudik ke kampung akhirat pun tidak kalah pentingnya. Butuh persiapan dan bekal. Bagaimana cara dan apa bekalnya?

Mari kita jalani dan maknai kalimat suci: innashalatiwanuzukiwamahyayawamamatilillahi rabbi al-alamin”. Seluruh gerak hidup, kerja, aktifivitas, usaha atau bisnis dan profesi yang kita jalani sesuaikan dengan ketentuan Ilahi. Takwa yang sering kita dengar adalah sebuah proses hidup yang dilandasi kesadaran bahwa kita bergerak bersama,  diawasi dan pasti akan mempertanggung-jawabkannya kelak di alam akhirat kepada Sang Ilahi. Bekalnya adalah pengabdian kepada Sang Ilahi melalui amal dan karya-karya yang baik, maslahat, mendamaikan dan mengharmoniskan manusia dan kemanusiaan. Itulah bekal abadi untuk mudik ke haribaan Ilahi.


(rr)