Ilustrasi/ uniknya.com

SUARA anak-anak mengaji di surau selepas shalat Tarawih mulai surut. Setidaknya di pemukiman rakyat yang saya tempati di Kota Cirebon. Sejak awal Ramadhan 1435 H, microphone di surau dan mesjid menjadi rebutan anak-anak melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bertadarus, kadang guyon jikalau salah baca, dan guyon mereka terdengar ke rumah-rumah karena terpancar melalui pengeras suara.

Sesaat mendengar suara anak-anak mengaji, bertadarus serta “memamerkan” kepandaiannya mengaji, ada sentuhan nikmat yang menegakkan bulu roma. Betapa bahagianya orang tua mereka, yang memiliki anak-anak yang berkenan melepas waktunya bertadarus. Duduk melingkar, seorang membaca kitab suci Qur`an sementara yang lain menyimak bacaannya –sehingga bila ada kekeliruan yang lain membenarkan/ meluruskan.

Suasana surau dan mesjid yang marak oleh tadarus anak-anak itu seketika senyap. Teringat baju baru, celana baru, angpau dari sanak kerabat, atau benda lain yang dijanjikan bakal diterima apabila tidak batal puasa sebulan penuh. Teringat hal-hal tersebut, anak-anak mulai menyurutkan diri dari tadarus. Suara cedal dan parau relatif menghilang dari surau.

Senyapnya rumah ibadah dari tadarus anak-anak bukan terindikasi oleh sepinya Jakarta pada Selasa 22 Juli 2014. Beberapa jalan utama tampak lengang, pengendara bisa ngebut di jalan yang biasa macet, sebagaimana dilansir banyak media. Sepinya Jakarta semula ditengarai sebagai antisipasi penolakan hasil hitung manual KPU menyoal pilpres yang penuh hiruk pikuk dan dinamika demokrasi (walau kadang melukai demokrasi). Warga ibu kota bersiap untuk tidak berada di jalan yang biasa dijadikan lokasi demo. Terlebih lagi, isu akan adanya pengerahan massa sempat terpublish beberapa saat lalu.

Cirebon tak terpengaruh Jakarta. Warga tetap beraktivitas dan aktivitas ekonomi tetap berjalan. Dengan kata lain Cirebon tidak sunyi sebagaimana sebagaian wilayah Jakarta. Akan tetapi ketika acara breaking news televisi swasta menayangkan penolakan capres Prabowo Subianto yang merasa dicurangi oleh seluruh Indonesia Raya, lantas menyatakan mundur dari proses pilpres –sontak muncul berbagai asumsi. Hingga kini boleh jadi pemberitaan ini masih menguat dan merajai media.

Namun begitulah adanya. Surau dan mesjid yang mulai senyap dari tadarus anak-anak karena lebaran sebentar lagi. Lebaran yang cukup heboh oleh proses pilpres Indonesia 2014 menandakan bahwa kaum muslim Indonesia memang harus menerima kenyataan bahwa pada bulan suci Ramadhan tahun ini telah terjadi peristiwa besar yang akan menentukan arah bangsa dan negara ke depan. Setidaknya lima tahun ke depan, akan hadir presiden baru, dengan semangat baru menyongsong era perdagangan bebas 2015. Tantangan yang tidak kecil. Tantangan untuk berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain sebagaimana telah berlangsung selama ini. Tetapi tahun 2015 tantangan itu telah ditetapkan/ disepakati secara bersama sehingga proses pertumbuhan ekonomi bangsa akan menjadi titik acuan penting agar tetap tegak berhadapan dengan kekuatan kapital mana pun.

Dapat dibayangkan ketika masyarakat Indonesia terbangun dari tidur malam, di hadapan mata tertulis: Bank Filipina dan beberapa perusahaan asing yang bebas beroperasi di Indonesia. Meskipun ada kabar menyenangkan (http://investasi.kontan.co.id/news/hadapi-mea-kesiapan-emiten-diuji), namun kita tetap harus mempersiapkan diri agar tidak kalah saing. Pada 2015 mendatang, kesepakatan Masyakarat Ekonomi ASEAN atau pasar bebas ASEAN mulai berlaku. Jika ingin tetap bisa bersaing, Indonesia harus berbenah. Sebab, daya saing beberapa sektor industri utama kita masih kalah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Sebagai bangsa, kita harus tetap optimis. Itu semua kita sepakati. Sebagai bangsa yang terbiasa menjadi sasaran pasar empuk produk luar negeri, Indonesia 2015 dihadapkan pada persoalan global yang akan memperjelas posisi di pergaulan internasional. Kelak bukan lagi kekuatan spiritual yang menyemangati mekanisme ekonomi perdagangan bebas. Akan tetapi kekuatan finansial, kiat-kiat ekonomi, postulat finansial, strategi pemasaran yang (sangat mungkin) bersaing secara tidak sehat serta saling menjatuhkan.

Kendati demikian, di balik itu semua ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Nusantara merupakan bangsa besar yang terbiasa bertransaksi niaga dengan India, Indo China, China, Arab dan Persia ratusan tahun lampau. Kepiawaian berdagang masyarakat Nusantara pada masa kerajaan Hindu, Budha, dan Islam itu semoga menjadi bekal untuk dapat bersaing pada 2015 mendatang.

Melihat fenomena tersebut, kiranya meski bangsa asing yang bebas beroperasi niaga di Indonesia agak menegasi spiritualitas keagamaan, kiranya Indonesia tetap mengacu pada semangat spiritual. Sejarah perniagaan Nusantara berabad lalu terinspirasi oleh spritualitas keagamaan. Berbagai anjuran dan ajaran keagamaan yang telah ada di bumi Nusantara merupakan berkah yang harus disyukuri. Berkah itu antara lain, ajaran tentang sportifitas dalam hal perniagaan/ perdagangan.

MENJELANG Lebaran 1435 Hijriyah, ada baiknya kita berupaya gigih agar semangat keagamaan tidak pernah hilang dari kegiatan bisnis yang kadang meminggirkan kaidah keagamaan. Dengan demikian, kerinduan akan terdengarnya suara anak-anak bertadarus Qur`an di surau dan mesjid, diharapkan bisa terbukti dalam pengejawantahan cara berniaga yang sehat serta berpedoman pada kaidah agama. Artinya spiritualitas keagamaan tetap membingkai aktivitas bisnis.

Lebaran, pilpres, perdagangan bebas, serta seabrek moment penting yang tak pernah lepas dari kehidupan kita pada akhirnya adalah suatu rangkaian yang mesti. Rangkaian yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Indonesia yang lebih baik.

Pertanyaannya kemudian, mampukah Revolusi Mental yang dijanjikan Joko Widodo mengantasipasi arus global di bidang perekonomian itu?***

(rr)