Ilustrasi/ sinarharapan.co

Dua aktivis senior gerakan difabel di Yogyakarta, Setia Adi Purwanta dan Nuning Suryatiningsih menceritakan kisah pengalaman mereka melakukan pendampingan terhadap kaum difable dari dulu hingga sekarang. Berjuang di “ruang perebutan kekuasaan struktural” dengan mengkritisi sejumlah undang-undang dan kebijakan terkait subalternitas kaum difable hingga blusukan ke desa-desa. Semuanya dilakukan karena sebuah keterpanggilan hidup.  Iya, keterpanggilan untuk menegakkan keadilan bagi sesamanya yang terpinggirkan oleh  proses-proses  politik dan ekonomi yang menindas. 

Memakai baju putih lengan panjang yang dilipat dan dipadu dengan setelan celana berwarna abu-abu, siang itu, Setia Adi Purwanta mempersilahkan kami masuk ke ruangan kantornya di ruangan Pusat Sumber Pendidikan Inklusif Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Bantul dengan ramah, seteleh sebelumnya kami mengetok beberapa kali pintu kantornya dan mengucap salam.

Setia tampak bersahaja, meski tidak kehilangan selera humornya. Di awal-awal pembicaraan, Setia berbicara ringan seperti bertemu dengan orang yang sudah dikenal sebelumnya. Padahal kami adalah orang baru dalam daftar koleganya, yang sudah pasti bejibun jumlahnya. Sehingga suasana pertemuan wawancara menjadi guyub, akrab, dan mengurangi kesungkanan.  

Ada ceria. Ada tawa yang lepas dari Setia, di awal wawancara siang itu …

Mula Perjuangan untuk Difable 

Berbeda dengan di waktu beberapa puluh tahun yang silam, di sekitar tahun 1980-an, tepatnya ketika Setia harus menerima nasib yang tak pernah dikehendaki dalam hidupnya: kecelakaan serius yang kemudian menyebabkan Setia menjadi tuna netra!  

Dunia bagi dirinya tiba-tiba menjadi “kiamat” dan gelap. Kenyataan itu benar-benar tak mudah diterima oleh Setia. Setia memberontak terhadap tuhan. Mengalami krisis diri berkepanjangan. Ceria hidup dan senyumnya hilang. Yang ada hanya keputusasaan yang besar. 

Waktu itu Setia masih umur 24 tahun. Masih muda dan gagah: baru menikah, baru punya momongan dan bekerja di sebuah rumah sakit di Surabaya. Ia tidak pernah menyangka kebahagiaannya itu akan luruh lenyap begitu cepat.  Kecelakaan yang menimpanya membuat semua keadaan Setia berubah. Benturan kepala yang cukup keras membuat mata Setia berdarah. Kondisi mata Setia sebelum kecelakaan dan mengalami benturan keras, memang rentan. Sehingga mata kiri Setia—dua jam setelah kecelakaan itu—mengalami kebutaan dan harus dioperasi. Tapi sayang, operasi yang dijalani Setia gagal. Mata kanan Setia ikut robek retinanya. Setia mengalami kebutaan permanen pada kedua matanya.

Sontak, jiwa Setia goncang. Bagi dirinya, ini tidak adil. Iya, Tuhan tengah berbuat tidak adil pada dirinya. Bagaimana dia menghadapi masa depannya; masa depan keluarga; masa depan rumah tangga yang dibangunnya? Selama dua tahun, Setia mencari dirinya. Ia bertanya-tanya dan menggugat tuhan. “Mengapa Tuhan membuat saya buta?” . 

Setia terus menggugat tuhan dengan kebingungan dan kekecewaannya yang dalam: “kenapa saya yang harus buta, kenapa tidak yang lain?”, “Apa salah saya selama ini?”. Setia merasa dia tidak lebih nakal dan kurang ajar dibandingkan teman-temannya yang lain. Kenapa harus dirinya yang diberikan ujian seberat ini oleh tuhan? Tuhan saat itu, bagi dirinya benar-benar tidak adil. Oleh sebab itu, Setia murka terhadap tuhan. Setia sampai pada kondisi yang benar-benar krisis. Ia meninggalkan semua bentuk ritual keagamaan. “Saya sampai nggak sholat. Saya sampai tidak percaya dengan kebenaran Tuhan,” kenang Setia.

Tapi badai persoalan hidup selalu pasti berlalu. Krisis yang dialami Setia memang seperti sebuah lorong yang pekat, hitam dan gelap. Segelap kebutaan yang menimpa kedua matanya. Tapi sudah janji tuhan, bahwa akan selalu ada cahaya di ujung lorong sana. Bergulirnya waktu, pelan-pelan, krisis Setia mulai mereda.

Seorang teman karibnya dari Australia banyak memberikan masukan dan dukungan kepada Setia. Kepada Setia yang tengah krisis itu, teman Australinya meminta Setia untuk belajar menerima kenyataan meski sangat berat. “Coba deh kamu masuk ke sebuah realita, ke orientasi kawan-kawan tuna netra, ke lembaga ketunanetraan. Kemudian, kamu belajarlah di sekolah guru untuk itu,” ujar Setia sambil mengenang saran sahabatnya itu. 

Saat itu Setia tidak langsung mengiyakan saran sahabatnya. Dia masih penuh sangsi. Bagaimana mungkin orang buta jadi guru, pikirnya. Tapi akhirnya Setia mencoba juga. Setia masuk dan belajar di pendidikan SLB. Nah, pada saat praktik mengajar, Setia melihat banyak hal: kondisi anak-anak yang senasib dengannya, yang semakin meneguhkan bahwa ia tak sendirian; metode pengajaran dan tetek bengek pendidikan di SLB yang dianggapnya cukup bermasalah dalam konteks pendidikan untuk “membantu hidup” kaum difable. “Mau jadi apa anak-anak ini kalau begini,” batin Setia.

Semenjak itu, mulai ada setitik cahaya terang yang menerangi kembali jiwa dan mata hati Setia yang sebelumnya tertutup karena kekecewaannya yang dalam pada nasib. Setia merasa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat dengan kasat mata saat berada di jarak yang sangat dekat dengan teman-teman difable di SLB. Setia kemudian sadar dan mulai berterima kasih kepada tuhan. “Jadi kebutaan yang diberikan kepada saya justeru sebenarnya pembukaan mata saya,” ujar Setia.  

Jika di awal-awal krisis, Setia meminta kepada tuhan dua hal yaitu tuhan membuatnya bisa melihat kembali, dan kalau tidak bisa melihat lagi, lebih baik mati saja. Tapi tuhan menjawab doa Setia dengan jawaban yang berbeda serta jauh lebih baik dari yang Setia minta. Setia kemudian merasa sangat malu dan kerdil di hadapan tuhan. Akhirnya, Setia bisa ikhlas penuh menerima realitas kebutaan dirinya. “Kebutaan ini, saya terima sebagai instrumen yang diberikan kepada saya, untuk menjalankan kehidupan saya. Jadi saya tidak bisa menjalankan kehidupan saya ini tanpa kebutaan,” kata Setia tegar.

Pada titik itulah, Setia menentukan diri. Memasrahkan hidupnya untuk perjuangan bagi sesamanya: para kaum difable itu … 

***

Berbeda dengan Setia, rekan aktivisnya Nuning Suryatiningsih memiliki cerita awal yang berbeda mengapa memilih jalan hidup di perjuangan kaum difable. Nuning, begitu ia sering disapa, memang difable sejak lahir. Di hari yang berbeda, saat kami menemuinya di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Sleman, tempat ia bekerja, Nuning bercerita tentang “mula-mula” berlabuhnya di perjuangan kaum difable dengan penuh antusias dan keceriaan.     

Nuning mengaku sejak sekolah dari taman kanak-kanak (TK) hingga kuliah di perguruan tinggi memang belum pernah bersama-sama dengan teman-teman difable. “Karena sekolah saya selalu di umum gitu ya,” akunya.

Baru di sekitar tahun 1990-an, Nuning dekat dengan teman-teman difabilitas dan mulai concern di persoalan perjuangan hak-hak mereka dalam relasinya dengan negara. Pada waktu itu, Nuning mendapat tawaran bekerja untuk disabilitas di Solo. Nama lembaganya Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM). Lembaga ini, kata Nuning, sebenarnya milik Yayasan Penyandang Cacat (YPAC) tapi sudah menjadi badan otonom. Dalam arti, sudah mandiri, punya founding sendiri, punya wilayah sendiri. Dan bentuk kegiataannya juga berbeda. Kalau YPAC rehabilitasinya ada di panti, PPRBM rehabilitasinya ada di masyarakat. 

Namun, Nuning belum tegas memutuskan menerima tawaran itu. Antara iya dan tidak. Masih menggantung. Karena Nuning sudah bekerja di salah satu lembaga penelitian di Universitas Gadjah Mada yang concern pada masalah pedesaan. Yang menjadi pertimbangan lain Nuning, ia juga mesti ke Solo. Itu yang membuatnya berat. Tapi akhirnya, Nuning memutuskan untuk mengambil tawaran itu dan menetap di Solo.

Setelah bergabung dengan PPRBM, Nuning masuk ke desa-desa untuk kegiatan pemberdayaan sebagaimana orientasi lembaganya. Pada waktu itu, kata Nuning, ada lima kabupaten yang ia dampingi. Semuanya di Jawa Tengah. Bekerja dengan masuk ke desa-desa pelosok (diantaranya di Banyumas, Boyolali, Klaten dan Karanganyar), Nuning melihat banyak sekali penyandang difabilitas yang belum tersentuh sama sekali. Nuning melihat realitas dan persoalan difabilitas dari jarak yang sangat dekat.    

“Disitulah saya mulai tergugah, karena dengan kondisi saya yang seperti ini ternyata saya sangat dibutuhkan disana,” kenangnya.

Nuning melihat banyak masyarakat yang tidak tahu harus diapakan anak-anak mereka yang difable. Ada yang digeletakkan begitu saja di rumah. Kalau anak-anak mereka bisa jalan kesana-kesini sudah dibiarkan begitu saja. Mereka tidak tahu bagaimana memperlakukan anak-anak difable dengan baik. Itu yang membuat Nuning tersentuh dan memutuskan untuk bersama-sama mereka. Apalagi perhatian pemerintah, kata Nuning,  belum sampai kesana. 

“Sehingga saya mempunyai keinginan berat, saya harus bersama mereka. Kalau bukan saya siapa lagi yang akan membantu mereka,” bulat Nuning, mengulang keputusannya beberapa tahun silam.

Pandangan Mereka dan Perjuangan Yang Belum Selesai

Di ruangan kantornya yang tak terlalu lebar, Setia merefleksikan dengan luas persoalan-persoalan difable dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang filosofis. “Pertama sekali, adalah bagaimana kita mesti memahami masalah-masalah prinsip, masalah-masalah pokok. Mengapa difable itu miskin, mengapa difable itu harus dibantu, difable itu harus didampingi, harus diperjuangkan?,” terang Setia. 

Menurut Setia, itu semua karena ada ketidakadilan terhadap kaum difable. Terjadi pelanggaran hak asasi, yang berupa tidak diberikannya, tidak dilindunginya, dan tidak dihormatinya hak-hak difable oleh yang memiliki kekuataan: Negara!

Negara, kata Setia, masih memiliki paradigma dan cara pandang yang psikopatik terhadap kaum difable. Negara memandang para difable tidak memiliki kontribusi terhadap negara, terhadap pembangunan nasional yang dicanangkan. Hal itu bisa dilihat dari hasil pembangunan yang hanya dilihat dari sudut materi, dari sudut kapital, dari sudut modal.   

“Jadi para difable ini tidak memiliki kontribusi dalam proses akumulasi modal yang dimiliki para pemilik modal. Sebab negara pun sekarang dikuasai oleh para pemilik modal. Begitu. Sehingga negara menjadi kepanjangan tangan dari para pemilik modal,” ujarnya. 

Negara lanjut Setia, meyakini bahwa kemajuan itu kapital. Sehingga manusia pun dimaknai dan diposisikan sebagai entitas untuk mendatangkan kapital yang sebesar-besarnya. “Maka, negara menggunakan human capital, human resources, human invesment… Tapi Negara tidak pernah mengakui, atau tidak pernah menggunakan istilah human being,” pungkas Kepala Pusat Sumber Pendidikan Inklusif DIY itu. 

Hal tersebut, bagi Setia, merupakan kata kunci yang semakin menunjukkan bahwa relasi antara negara dengan warga negaranya itu adalah relasi pasar. Dalam konteks pasar, siapa yang memberikan kontribusi kepada pasar yang besar, dia akan mendapatkan keuntungan yang besar, dan mendapatkan hak yang besar juga.  Kaum difable, yang dianggap tidak memiliki kontribusi yang besar sebagai instrumen akumulasi modal tidak mendapat apa-apa. Sekalipun mendapat bagian, itu hanya sekedar “sedekah” dan “santunan”. “Pola ini, sekarang benar-benar sangat kuat,” kritik Setia.

Setia menolak dogma yang mengatakan bahwa negara akan sejahtera apabila tiga pilar bernama negara, civil society dan korporasi bisa berinteraksi dengan serasi dan selaras satu sama lain. Gagasan ini, kata Setia hanyalah desain intelektual yang dilakukan PBB untuk menjinakkan negara, mengingat PBB sendiri adalah instrumen internasional pemilik modal. Maka oleh sebab itu, kata Setia, Soekarno dulu pernah memilih keluar dari PBB. “Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, relasi utama negara adalah negara dengan warga negara, tidak ada korporasi,” pungkas Setia. 

Karena melihat persoalan besar itu, perjuangan gerakan difable harus dilakukan pertama-tama untuk merubah paradigma. Setia menilai, sampai sekarang negara belum sama sekali mengubah paradigma tersebut secara sungguh-sungguh.

Sejak tahun 1991 bersama rekan-rekannya di Driya Manunggal (salah satu gerakan difable di Yogyakarta) dan sejumlah tokoh gerakan (seperti Mansour Fakih, Hartono Nadjamuddin, Dimyati, Sutomo dan yang lain) Setia sudah gencar melakukan agenda advokasi. Mengkritisi sejumlah undang-undang dan kebijakan yang dianggap tidak memihak kaum difable. Mereka bersama-sama membuat counter draft untuk terwujudnya kebijakan-kebijakan augenic.  

Perjuangan Setia dan kawan-kawannya di “ruang perebutan struktural” dalam proses penentuan kebijakan bagi kaum difabel di Senayan terekam dalam buku “Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan: Kisah-kisah Advokasi Indonesia” (Insist, 2002) dalam subjudul “Membongkar Belenggu: Kisah Advokasi Difable dalam Mewujudkan Aksesibilitas Fasilitas Umum untuk Sesama”.

Meski pada akhirnya, menurut Setia, kawan-kawannya kecewa. Sebabnya, para pengambil kebijakan memang memakai draf tandingan yang dibuat teman-teman aktivis gerakan difable dari Jogja. Tapi kemudian ditambahi “ekor-ekor” yang tak ada dalam draf tandingan tersebut. 

“Banyak diberi ekor-ekor, jadi pasal berekor, ayat berekor, muncul ayat-ayat siluman yang muncul di luar diskusi dengan kita,” jelas Setia yang sejak 2001 menjadi ketua Driya Manunggal menggantikan ketua pertama Driya Manunggal, Sukaharto yang meninggal.

Peraturan perundangan tentang kaum difable, kata Setia, hanya dibuat sekedar lipstik agar negara telah dianggap melindungi kaum difable. Padahal faktanya, justru peraturan perundangannya meretriksi, bahkan mungkin menghindari dari pemenuhan hak asasi.  

Setia misalnya mencontohkan Undang-Undang No Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Di dalamnya, dikatakan bahwa setip penyandang cacat berhak atas pendidikan di semua satuan jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Tapi kata Setia, ada ekornya, yaitu “sesuai dengan derajat kecacatannya”.

Pertanyaannya, siapa yang berhak menetapkan derajat kecacatan? Kalau tidak ada lembaga yang berhak menetapkan, semua sekolah akan mengatakan “kecacatanmu tidak sesuai untuk menjadi siswa atau mahasiswa disini”. Kritik Setia.   

Senada dengan Setia, Nuning juga memberikan kritik terhadap pemerintah soal kebijakan untuk kaum difable. “Pemerintah kalau bikin kebijakan enggak pernah diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan disabilitas. Mereka membuat, membuat aja. Tapi enggak pernah diimplementasikan. Karena mereka enggak merasakan. Nah kita yang merasakan, seharusnya jika pemerintah buat kebijakan kita dibawalah. Kita diajak ngobrol,” pinta Nuning yang juga menjadi Ketua Center for Improving Qualified Activity in The Life of People with Disabilities (CIQAL). 

Hanya saja, lain dengan Setia yang concern di “perjuangan struktural” dengan menjadikan proses penentuan kebijakan sebagai ruang perebutan kekuasaan, Nuning lebih bergiat di lapangan, belusukan mendampingi langsung kaum difable di desa-desa pelosok. Banyak hal yang dilakukan Nuning, memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu Keluarga Bencana tentang pencegahan kecacatan; memenuhi dan mengupayakan kebutuhan-kebutuhan (termasuk alat bantu dan terapi) teman-teman difable.

“Saya memberikan motivasi pada keluarga-keluarga itu bahwa anak seperti ini (difable) adalah anugerah tuhan. Ada kelebihan di balik anak itu yang ibu-bapak tidak tahu. Kalau ibu-bapak ibu meninggal, siapa yang akan memfasilitasi? Akankah hanya hanya didiamkan begitu saja? Justru mumpung bapak ibu masih ada, tolong bantu anak ini untuk bisa beraktifitas ke luar dengan cara apapun,” ujar Nuning, mengenang ucapannya ketika memberikan penyuluhan dulu.

Itulah sedikit rekaman perjuangan  Setia dan Nuning untuk kaum difable di tahun-tahun 1990-an. Sebuah perjuangan ke atas dan ke bawah, perjuangan struktural dan kultural. Tapi muaranya sama: membantu mereka yang dilemahkan oleh proses-proses politik dan ekonomi yang tak adil. 

***
Tapi perjuangan belum selesai. Mereka berdua masih merawat perjuangan untuk sesamanya. Setia dan Nuning kini masih concern dengan masalah-masalah difable meski dengan strategi dan pendekatan tertentu yang relatif beda dengan sebelumnya. Jika Nuning memperjuangkan teman-teman difable lewat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sleman. Setia fokus di bidang pendidikan, meski tetap menyasar soal peraturan perundang-undangan.  

“Akhir-akhir ini memang banyak bergerak untuk persoalan-persoalan pendidikan,” ujar Setia.

Menurut Setia, pendidikan merupakan lingkup yang tak banyak diurus oleh gerakan difable karena tak ada foundingnya. Founding tidak mau lagi membantu pendidikan karena di dalam undang-undang dasar kita 20% anggaran negara dialokasikan untuk pendidikan.  

Sehingga yang menjadi persoalan dan pekerjaan rumah, kata Setia, bagaimana yang 20% itu digunakan untuk sebagaimana mestinya dan untuk pembangunan hak pendidikan teman-teman difable. “Kita main di wilayah itu,” lanjut Setia.

Setia mencontohkan dirinya menjadi tim penyusun peraturan daerah, dan kemudian menyusun peraturan gubernur. “Ada yang menyusun draf peraturan daerah, kita serahkan yang benar, kita tandingkan,” pungkasnya.  

Sementara Nuning lewat KPUD, memperjuangkan hak-hak difable dalam Pemilu, tidak hanya hak kepesertaan melainkan juga alat-alat bantu yang mempermudah teman-teman difable dalam pencoblosan. Selain itu, Nuning juga membantu memperjuangkan anggaran yang berpihak kepada kaum difable melalui lobying kepada anggota-anggota dewan di daerah. Maklum, di KPUD Sleman, Nuning menjabat sebagai Ketua Divisi Pencalonan, sehingga kenal dan cukup dekat dengan para calon anggota dewan.

“Saat mereka jadi anggota dewan, saya lakukan lobying. Lobying bukan untuk saya, tapi untuk teman-teman. Misalnya, gimana alokasi anggaran untuk difabilitas. Saya yang selalu sampaikan, karena mereka sudah merasa kenal dengan saya,” ujar Nuning.

Advokasi Ke Depan: Harus Kenyang dan Pakai Hati 

Ujung dari kegiatan gerakan-gerakan difable memang seharusnya adalah advokasi. Sebab advokasi merupakan elemen penting dari praksis perjuangan. Tapi bagaimana advokasi yang ideal? Atau mungkin lebih gamblang, bagaimana advokasi tetap berjalan di tengah-tengah gempuran pragmatisme gerakan yang merebak seperti sekarang? Bagaimana nafas advokasi tetap hidup di dalam diri subjek-subjek gerakan, yang sudah banyak mulai tergoda bekerja di NGO-NGO dan untuk semata-mata bekerja mencari uang?

Setia dan Nuning memberikan sedikit pandangan mereka. Menurutnya, yang penting dilakukan gerakan sekarang adalah gerakan ekonomi. Dalam arti, membangun “kemandirian ekonomi” gerakan. Tidak boleh lagi bergantung sepenuhnya pada founding. Sebab dana founding, sudah digiring ke Indonesia Timur untuk proses pengembangan ekonomi disana. Sehingga, gerakan difable harus tetap kreatif untuk mencari uang sendiri untuk menghidupi kegiatan-kegiatan mereka, termasuk kegiatan advokasi.  

“Kalau mau berjuang, ya kita harus kenyang. Kita harus self standing dengan kekuatan pangan kita. Jadi kita mesti mengubah strategi kita melalui strategi penguatan pangan. Sehingga bisa up together,” kata Setia.  

Kedua, gerakan difable harus tetap membangun aliansi/koaliasi dengan yang lain. Misalnya, lembaga bantuan hukum, organisasi perempuan dan anak dan serta yang lainnya. Sehingga advokasi yang dilakukan semakin tajam, kuat dan kokoh. “Munculnya penguatan-penguatan gerakan-gerakan difable itu ketika mereka mampu beraliansi dengan kawan-kawan yang lain,” ujar Setia. 

Sementara yang terakhir, bekerja dengan hati. Konsep pendampingan yang baik itu tidak ada, yang terpenting bekerja dengan hati. “Kita bekerja dengan hati saja-lah. Bekerja dengan hati. Dan kita serahkan semuanya pada yang Kuasa bahwa kita melakukan ini sebagai ibadah. Jangan mengharapkan sesuatu dengan sesama. Harapan itu hanya kepada Allah sajalah,” terang Nuning.

Meski Nuning tetap sepakat, jika bicara dalam konteks gerakan, beberapa konsep dan pendekatan tentang advokasi itu tetap penting diperhatikan. Tetapi dalam level individual, yang terpenting itu, menurutnya, bekerja dengan hati. Bekerja dengan hati mengindarkan diri dari sikap hipokrisi yang potensial merusak prinsip dan orientasi gerakan. *** 

 

*Laporan berita mendalam ini pernah dimuat dalam Majalah Pleidoi Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII Yogyakarta, dimuat kembali dalam laman Beningpost.com untuk kepentingan pendidikan.

(rr)