www.merdeka.com

DEKLARASI “kemenangan” Jokowi - JK di Tugu Proklamasi, Rabu 9 Juli 2014, lalu diteruskan di Bundaran HI Jakarta menjadi pemicu kubu Prabowo – Hatta melakukan hal serupa. Dalam pidato yang dibacakan Jokowi dan disaksikan ribuan pendukungnya itu, Jokowi mengungkapkan rasa terima kasih kepada Prabowo-Hatta atas apresiasinya sepanjang mekanisme pilpres. Ia pun mengatakan kurang lebih demikian, “Bapak Prabowo-Hatta adalah patriot. Di mana pun kedudukan bapak berada akan memberi arti penting bagi bangsa dan negara Indonesia”.

Deklarasi semu itu merupakan kepanjangan atas pidato kemenangan Jokowi-JK yang disampaikan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Deklarasi yang seolah-seolah benar itu dilakukan ketika proses penghitungan suara belum selesai dilakukan di TPS. Data rujukan yang memenangkan Jokowi-JK didapat dari quick count. Entah mengapa deklarasi itu disampaikan dan dipublikasikan (justru) ketika penghitungan suara belum dilakukan di TPS mana pun.

Tidak lama setelah itu, kubu Prabowo-Hatta melakukan hal serupa yang diliput langsung oleh TV One. Konon “deklarasi” itu dilakukan untuk meyakinkan publik bahwa Prabowo-Hatta memenangkan pilpres. Beberapa entry data dari real count menyatakan bahwa Prabowio-Hatta adalah pemenang pilpres 2014. Dalam orasi tanpa teks, Prabowo Subianto agak emosional hingga  mimik mukanya memperlihatkan amarah dan gerakan tangannya bergetar. Prabowo menyerahkan perolehan suara pilpres itu kepada KPU.

Akan tetapi Prabowo mengingatkan bahwa ia tidak mau dicurangi. Begitu pun katanya, ia tidak akan gentar menghadapi apa pun jikalau dicurangi. “Kita tidak gentar”, kata Prabowo. Dari layar televisi tampak beberapa politisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih sujud syukur karena yakin pemenang pilpres adalah Prabowo-Hatta.

Pada hari yang sama, rakyat Indonesia yang baru saja melaksanakan hajat demokrasi lima tahunan itu (sejak 1998) bingung atas dua deklarasi semu yang dilakukan oleh kedua pasang capres. Tayangan perolehan suara di televisi pun berbeda angka dan prosentaseya, tergantung kepada capres mana televisi itu memihak. Pun tergantung dari lembaga survei yang sejak jauh hari memihak kepada salah satu capres/cawapres. Hingga Kamis 10 Juli 2014, media cetak elektronik masih memaparkan berita kesimpangsiuran perolehan suara pilpres.

Kamis pagi 10 Juli 2014, di halte samping Pasar Grosir Cililitan (PGC) Jakarta Selatan, saat menunggu keberangkatan angkot 58 wana merah kuning saya mendengar beberapa orang sopir membicarakan kesimpangsiuran perolehan suara pilpres 2014. Mereka saling menyampaikan keheranannya atas berita di koran dan televisi yang membingungkan. Saya yakin di banyak tempat se-Indonesia berlangsung hal yang sama.

Pembicaraan itu tentu saja melukai demokrasi. Kendati ada yang berpendapat bahwa pilpres kali ini lebih dinamis serta lebih memperlihatkan kekuatan media dan pemodal dalam pesta politik. Bagi saya ketidaktepatan menempatkan sesuatu secara proporsional menunjukkan adanya ketidakmampuan dan ketidaksiapan untuk menerima kenyataan yang bakal terjadi.

Di balik itu bisa saja muncul dugaan mengenai tidak siapnya kedua pasangan capres/ cawapres untuk kalah. Keduanya merasa menang semua. Keduanya telah tersihir masuk ke dalam impian menjadi orang nomor satu di Indonesia serta menerapkan strategi membangun Indonesia dari Istana Negara. Keduanya terobesi menjadi pemimpin pilihan rakyat. Asumsi lain yang mengemuka paska deklarasi semu keduanya ialah tentang akan adanya ketidakpercayaan atas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah penghitungan surat suara secara manual pada Senin 22 Juli 2014. Ada salah satu  pihak yang merasa dicurangi, serta merasa diperlakukan tidak adil.  

Berangkat dari rasa yang disakiti itulah pihak yang terkalahkan tidak mau menandatangi berita acara penetapan pemenangan itu nanti. Otomatis potensi konflik horisontal bisa saja terjadi. Pihak yang terkalahkan atas penetapan KPU itu akhirnya melakukan perlawanan, melaporkan ke Mahkamah Konstitusi dan melakukan serangkaian demonstrasi massa.

Jika asumsi kedua terjadi, lantas kapan negeri ini akan dibangun? Jika asumsi kedua itu mengemuka, lalu untuk apa rakyat Indonesia di dalam dan luar negeri menyuarakan pilihan politiknya pada Rabu 9 Juli pekan ini.

Dalam kondisi memanas ini, KPU seharusnya siap menjadi garda terdepan untuk menyampaikan hal yang semestinya dilakukan lembaga penyelenggaran pemilihan umum di Indonesia itu. Sikap diam KPU semakin memperjelas bahwa lembaga itu tidak siap melaksanakan tugasnya secara proporsional dan profesional. Mestinya KPU menggelar jumpa pers, meluruskan kesimpangsiuran perolehan data pilpres dan menegaskan bahwa hanya KPU yang berhak mengumumkan pemenang. Bukan kubu kedua calon presiden.

Rabu 9 Juli 2014 malam hari, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono terlihat di televisi dan menyampaikan pesan atas deklarasi semu kedua capres. Namun sayang sekali, pidato itu tidak menyelipkan pesan secara langsung kepada rakyat untuk tidak mempercayai hasil penghitungan suara pilpres atas dasar penghitungan cepat lembaga survey kedua belah pihak. Presiden SBY pun tidak menegur kedua capres atas deklarasi yang membingungkan itu.

Lagi-lagi Presiden SBY tidak tegas. Padahal kemunculan kemarin di televisi itu merupakan kesempatan beliau untuk mendinginkan suasana. Untuk meminta kepada seluruh rakyat Indonesia agar tidak terprovokasi dan tidak terpengaruh oleh ajakan untuk mempercayai bahwa tanggal 9 Juli 2014 telah ada capres yang memenangkan pilpres 2014. Sebagai presiden mestinya SBY mampu meredam riak demokrasi ini.

Pilpres sebagai pesta politik yang penting bagi nasib Indonesia (minimal) lima tahun ke depan seharusnya menjadikan kita kian bijak untuk menerapkan demokrasi dengan mendahulukan etika berpolitik. Wallahu `alam bi shawab.***

(rr)