www.anneahira.com

Ibn Khaldun, bapak ilmu sosiologi era peradaban emas Islam berujar: al-insan ibnu awaidihi. Manusia merupakan anak kebiasaanya. Kita adalah produk dari pembiasaan dan kebiasaan yang kita jalani. Akhlak anak-anak kita adalah hasil dari pembiasaan yang kita tenamkan dan patrikan dalam jiwanya. Sekolah yang menerapkan disiplin tinggi kepada peserta didik, kelak akan menghasilkan generasi muda yang penuh disiplin. Sekolah yang longgar disiplin,  alumninya juga akan rentan abai disiplin. Sudah tentu pembiasaan, acapkali tidak bisa menghindari pemaksaaan untuk mendisiplinkan. Pemaksaan acapkali bagian dari proses pendidikan. Dan pembiasaan sudah pasti bagian dari proses mendidik dan pendidikan.

Mari kita diskusikan apa yang biasa dan  tidak biasa dari kehidupan kita sehari-hari. Orang yang tidak biasa membaca sudah pasti susah dan berat lihat barisan kata dan kalimat dalam buku. Umat Islam, sekalipun sering dengar ayat pertama berbunyi ”iqra”, kenyataannya rendah tradisi membacanya. Membandingkan dengan negara-negara yang maju, tradisi membaca (reading habit)nya rendah. Jepang, Amerika dan Eropa diberitakan sebagai negara-negara dengan tradisi membaca yang tinggi. Saya pernah mendengar kiai Quraish Shihab menegaskan, membaca merupakan tangga peradaban agung. Hanya dengan membaca seseorang naik wawasan dan ilmunya. Derajat seseorang bergerak ke atas seiring dengan tradisi membacanya.

Sewaktu masih mengajar di SMU Madania Boarding School Parung Bogor saya pernah menggelar gerakan membaca rutin selama beberapa tahun lewat Program Festival Membaca Buku Ilmiah (FMBI) untuk siswa-siswi SMP-SMA se-Jabodetabek. Tradisi membaca ini belum akrab dalam masyarakat kita. Belakangan kita melihat upaya membangkitkan tradisi membaca ini kerab dilakukan oleh lembaga-lembaga Islam bekerjasama dengan para penerbit. Misalnya ada program Book Fair secara rutin. Terlibat dalam acara ini Gramedia, Mizan, Gema Insani Pers dan penerbit yang lain. Sekolah-sekolah menggelar bookday dan lomba-lomba membaca.  

Biasa tidak antri. Ini salah satu kebiasan buruk masyakarat kita. Bila bisa untuk beli apapun kita berupaya nyerobot.  Di depan loket kita susah antri. Ke dokter pun kita berupaya nyalip. Padahal sudah ada yang sudah duluan tiba. Antri sembako lebih fatal. Ribut dan semrawut. Kita tidak biasa antri dan sabar dalam barisan. Saat antri daging kurban pun kita susah menanti giliran. Saat mau bayar tol pun saling serobot. Betapa susahnya kita antri dan berdiri sesuai giliran. Para politisi kita susah untuk antri sesuai perolehan suara. Tak heran jual beli suara terjadi dalam Pemilu yang kita lakukan. Tidak biasa dan dibiasakan sejak balita.

Banyak tradisi-tradisi negatif yang kita lakukan karena kita tidak dibiasakan dan membiasakan diri. Biasa merokok sembarangan. Di angkutan umum, penuh sesak penumpang, ada saja yang merokok. Tidak biasa disiplin. Biasa potong kompas terjadi dalam proses pengurusan di birokrasi kita. Bila bisa disogok untuk mempercepat mengapa mesti antri? Itu ungkapan saat berhadapan dengan birokrasi. Betapa susahnya bila kita tidak biasa dan membiasakan diri. Tidak dibiasakan shalat sejak kecil, akan sangat susah anak-anak kita untuk beribadah. Biasa tidak ngaji sejak kecil akan susah ngaji saat besar dan dewasa. Biasa tidak memberi dan dermawan kepada yang lapar dan melarat akan sangat susah untuk berbagi. Memberi dan berdermawan itu pembiasaan. Biasa membantu akan selalu menikmati bahagianya berbagi kepada sesama. Butuh pembiasaan. Biasa tidak sabar, serba instan dan budaya pop, akan membentuk tradisi buruk  massal. Itu yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Sekian lama bangsa ini mudah korup. Tidak aneh bila dilabel sebagai bangsa korup. Korupsi sudah dianggap budaya. Menyedihkan.  

Beberapa tahun berlalu Stephen R.Covey berupaya menawarkan inspirasi lewat buku 7 Kebiasan Efektif (Seven Habits fo Effective People). Dia menawarkan kebiasaan: jadilah pro-aktif. Bukan reaktif. Ia mendorong kita untuk berpikir tentang tujuan akhir, berpikir win-win solution, prioritaskan yang utama, menyiapkan diri untuk apapun dan bersinergi. Inilah mutiara yang mesti kita biasakan dalam kehidupan. Tentu tidak mudah melakukan itu tanpa ada perubahan paradigma. ”Bila ingin merubah buah rubahlah akarnya” katanya. Nampaknya ini yang dipahami oleh Joko Widodo. Dia berupaya menggerakan revoluasi mental. Alih-alih menangkap inspirasi dan esensi tawarannya, jsutru banyak yang sinis dan memnfitnahnya. Dia berupaya menawarkan apa yang sudah digagas oleh pribadi-pribadi agung sebelumnya. Baik oleh para Nabi sampai Rasulullah Muhammad, Mahatma Gandhi, Soekarno dan lainnya. Padahal inti tawarannya adalah perubahan paradigma. Sebagian dari kita justru mempermasalahkan sumbernya dibanding mendiskusikan esensinya. Sibuk menggunjingkan dibanding menangkap akan positifnya. Bangsa yang menyedihkan.

Bulan Ramadhan pada esensinya sebuah inspirasi. Inspirasi untuk mengubah kebiasaan sehari-hari. Biasa makan 3 kali atau lebih menjadi makan2 kali. Biasa tidak menahan emosi, selama Ramadhan pasti akan terkendali. Biasa bermesraan dengan istri siang malam menjadi malam hari saja. Biasa tidak rajin shalat biasa akan rajin ibadah. Puasa pada intinya mengubah kebiasaan menjadi kebiasaan yang positif. Sama persis saudara-saudara kita yang terbiasa bangun shubuh. Mereka akan sangat terasa menyesal bila kita terlambat bangun. Saudara-saudara kita yang biasa shalat malam (qiyam al-layl), terasa menyesal bila terlewat meski semalam.Inilah yang seharusnya kita resapi dan nikmati dari puasa.  

Puasa sesungguhnya wahana pembelajaran yang sangat efektif. Kita belajar membebaskan diri dari kebiasaan kita sehari-hari. Karena tubuh kita butuh makan, kita umumnya ter-biasa makan besar tiga kali sehari. Itu diluar makanan-makanan ringan atau kecil. Puasa merupakan media pendidikan bagi diri kita. Allah memberikan manusia jalan spiritual pembebasan diri dari belenggu-belenggu diri. Tidak jujur, sering culas, suka bohong, senang berkhianat dan tidak setia. Dengan puasa kita dibelokkan untuk bebas dari kebiasaan buruk dan hina. Kita bisa bayangkan, yang terbiasa menipu rakyat akan terasa susah untuk menjadi wakil-wakil rakyat yang lurus dan jujur.

Bagi yang terbiasa jual-beli pasal dan hukum, akan tersiksa untuk menegakkan keadilan. Mari masuki puasa ini sebagai inspirasi merubah hal negatif menjadi kebiasaan positif. Mari kita nikmati ibadah agung ini dengan menyelami tebaran mutiara inspirasi yang ditawarkan untuk menjadi solusi bagi problem-problem keseharian, kebangsaan dan kemanusiaan kita.

 

(rr)