www.solopos.com

SYARAT kelayakan perguruan tinggi salah satunya ditentukan oleh luas lahan kampus. Kampus terpadu menjadi keharusan lantaran dengan menyatunya seluruh fakultas maka seluruh aktivitas akademis berlangsung di lokasi yang sama. Manakala kampus telah menyediakan ruang aktivitas pada sebuah lokasi ketika itulah gambaran tentang kebesaran kampus terwujud. Masyarakat tidak lagi mengenal istilah Kampus I, Kampus II, Kampus III dan seterusnya.

Lahan alias tanah menjadi begitu menentukan. Artinya bila sebuah kampus tidak/ belum memiliki lahan seluas minimal 60 ha maka ia belum dapat dikatakan sebagai kampus yang representatif. Persoalannya adalah banyak kampus yang berlokasi di wilayah perkotaan. Lahan kota yang kurang luas, terutama adanya aturan kampus negeri harus memiliki lahan minimal 60 ha, berdampak langsung pada kebutuhan mendesak agar manajemen kampus mampu memiliki lahan sebagaimana ditetapkan.

Kampus dengan luas lahan kurang dari 60 ha akhirnya dianggap tidak mampu mengembangkan pendidikan. Padahal bisa jadi ia terbentur masalah lahan lantaran keberadaan (lokasi) kampus utama di wilayah padat pemukiman sehingga untuk memperluas area terkendala masalah pembebasan tanah yang cukup pelik. Baik menyangkut harga tanah, maupun keengganan masyarakat sekitar menjual tanahnya kepada manajemen kampus mengingat lokasinya yang berada di kota/ dekat dengan keramaian (kegiatan ekonomi dan sebagainya).

Melihat fenomena di atas maka di beberapa kota kita sering menjumpai penamaan kampus yang sama di beberapa lokasi berbeda. Untuk memudahkan maka ia dinamakan Kampus I, Kampus II, Kampus III dan seterusnya. Bagi kampus swasta penamaan tersebut tidak menjadi persoalan, sedangkan untuk kampus negeri, ada aturan memiliki luas lahan (minimal) 60 ha sehingga seluruh aktivitas akademis dapat dilaksanakan di satu tempat. Kampus terpadu/ terintegrasi menjadi model yang dikembangkan dengan merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/ 2000 Tentang Pedoman Pendirian Pendirian Perguruan Tinggi, Pasal 6 tentang Studi kelayakan pada butir (g) yang mencakup: Tanah yang dimiliki/ dikuasai untuk pembangunan kampus.

Peran pemerintah daerah sudah pasti sangat diperlukan bagi terealisasinya kepemilikan lahan kampus negeri. Sebagaimana diketahui kemajuan pendidikan signifikan dengan perkembangan daerah, dan dengan demikian peran pemda setempat dalam menunjang keberadaan kampus negeri yang representatif merupakan sesuatu yang tak terbantahkan. Pemerintah daerah Kabupaten Sumedang misalnya yang membebaskan ratusan hektar lahan di Jatinangor bagi Universitas Padjadjaran sekitar tahun 1980 menjadi contoh menarik keterkaitan pemda dengan pendidikan tinggi. Area kampus Unpad di Jalan Dipati Ukur Bandung sudah tidak mampu menampung seluruh aktivitas akademis sehingga perlu pengembangan di sebuah tempat yang terpadu. Alhasil Jatinangor mengalami percepatan serta pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat setelah Unpad menempati kampus di wilayah itu. Bahkan beberapa universitas swasta “menyusul” Unpad mendirikan bangunan di wilayah Jatinangor. Demikian pula pemerintah daerah Bengkulu yang telah menghibahkan sekitar 67 ha tanah kepada IAIN bagi pengembangan pendidikan.

Kabarnya kampus Universitas Swadaya Gunungjati (Unswagati) Cirebon terkendala masalah pembebasan tanah. Akibatnya rencana peralihan/ pergantian status Unswagati menjadi Universitas negeri mengalami hambatan. Terkait “kegagalan” Unswagati dalam pemenuhuan kebutuhan tanah ini, bisa dilihat dari berbagai kemungkinan. Mungkin karena proses pembebasan tanah yang rumit, memakan waktu, dan melibatkan banyak pihak dan institusi. Mungkin karena ketersediaan dana yang  tidak cukup atau proses pencairannya yang dibatasi waktu dan prosedur yang tidak mendukung. Atau bisa jadi pula karena dihambat oleh kepentingan-kepentingan lain yang seolah-olah baik, misalnya mengutamakan “kebersihan”, menegakkan hak masyarakat pemilik tanah, atau keselamatan lingkungan dan seterusnya.

Padahal di situ disembunyikan misalnya ketidakpedulian terhadap pendidikan atau kepentingan-kepentingan instan yang lain, seperti ekonomi, jabatan dan sebagainya. Yang demikian itu perlu diwaspadai, karena Unswagati bukan hanya lembaga pendidikan yang berisi kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, tetapi di dalamnya ada aktivitas regenerasi bangsa, nilai-nilai ekonomi, bahkan kekuasaan dan jabatan.

Meski bisa saja ada problem-problem lain di luar tanah, akan tetapi kampus terpadu yang mampu menampung semua fakultas sehingga aktivitas akademis dapat berlangsung di satu lokasi merupakan sebuah tuntutan. AdanyaKampus I, Kampus II, danKampus III Unswagati Cirebon ditambah dengan keinginan peralihan status menjadi Universitas negeri –mau tidak mau akan menoleh ke masalah lahan puluhan hektar.

IAIN Syekh Nurjati

Di Wilayah Cirebon, selain Unswagati, dan Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), terdapat IAIN Syekh Nurjati. Melihat perkembangan beberapa IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), maka seharusnya IAIN Syekh Nurjati Cirebon dapat berkembang menjadi UIN, seperti UIN Malang, UIN Yogya, UIN Jakarta dan lainnya. Dengan menjadi UIN akan dimungkinkan pengembangan fakultas dan program studi “umum”, seperti Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, Fakultas Psikologi dan lainnya, sesuai perkenaan dari Kementrian Dikbud atau yang disebut wider mandate . Dengan demikian akan terbuka akses yang lebihl uas bagi masyarakat Cirebon untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Civitas akademika IAIN Syekh Nurjati Cirebon seharusnya memiliki gagasan untuk menuju UIN, berdasarkan alasan sejarah, geografi, fungsi, masa depan dan nilai-nilai straregis lainnya. Akan tetapi seberapa besar pun gagasan yang ada, tidak akancukup hanya ditopang oleh penataan akademik, peningkatan kinerja dan produktivitas ilmiah dosen, pengadaan sarana prasana yang lebih baik, atau optimalisasi IT.  Luas kampus yang dimiliki IAIN Syekh Nurjati hari ini yang hanya beberapa ribu meter niscaya tidak akan menampung keinginan besar itu.

Menurut hemat penulis siapa pun kaum muslim, baik selaku birokrat maupun masyarakat harus membantu pengembangan satu-satunya kampus negeri di Cirebon. Kemungkinannya amat terbuka luas, selain dengan pembelian –jika memilik idana, dapat digerakkan wakaf tanah dari para aghniya atau hibah dari pemerintah daerah seperti terjadi pada kampus-kampus di provinsi lain. Atau mungkin ditawarkan kepada pemda-pemda lain di wilayah Cirebon untuk “menggotong” IAIN Syekh Nurjati ke wilayahnya dengan menyediakan lahan yang cukup. Jika yang ini terjadi, bukan hanya keuntungan bagi IAIN untuk bermimpi menjadi UIN, sudah barang tentu efek dominonya akan dinikmati oleh pemda yang berani. Investasi yang strategis dengan modal yang murah. Atau jangan-jangan kalangan civitas akademika IAIN sendiri yang tidak punya mimpi untuk menjadi UIN dengan kampus yang besardan pendidikan terpadu.

Menyimak persoalan perluasan lahan kampus negeri bagi perkembangan dan pertumbuhan pendidikan nasional, seharusnyalah merangsang upaya yang optimal untuk memperoleh hasil yang maksimal. Peranserta seluruh eksponen masyarakat (kaum muslim khususnya yang terpanggil untuk memajukan daerahnya), kaum akademisi dan cendekia yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan tinggi, termasuk birokrat –sudah saatnya dibuktikan.

Pertanyaannya kemudian, kapankah tiba waktunya untuk secara bersama-sama memajukan pendidikan tinggi di Cirebon, sesuai bunyi Preambule UUD 45: mencerdaskan kehidupan bangsa?***

(rr)